Seribu Kata



24 Januari 2016 lalu, sehari sekembali dari Pare. Tepat di usia ke 20 Abi, sahabat saya yang kuliah di UIN Malang. Saya mengikuti acara bedah buku Tere Liye “ Pulang ” di SMA Muhammadiyah 2 Jogjakarta. Acara tersebut saya ketahui dari fanpage resmi bang Darwis Tere Liye ( DTL ) di facebook. Awalnya saya gak tahu letak SMA tersebut dimana. Usut punya usut ternyata SMA itu merupakan almamater salah seorang sahabat saya di kampus, Syahnaz.
“ Ntar perginya bareng aku aja, zu ” ujar Syahnaz.
Sejak beberapa waktu terakhir saya seakan menemukan kembali hobi lama. Membaca Novel. Bukan hanya membaca. Tapi mengoleksi. Saya ingin punya satu rak khusus yang isinya novel semua. Bagi saya, Novel adalah teman terbaik. Pelipur lara, sumber inspirasi. Bahan belajar, dan wadah menginvestasikan ilmu. Lebih baik uang saya habis untuk beli buku daripada beli baju. Itu prinsip yang saya pegang teguh selama ini. bukan sok idealis, tapi berusaha memiliki idealisme yang baik.
Sudah lama saya mendengar tentang Tere liye. Sosok penulis misterius yang telah melahirkan puluhan karya. Misterius karena tidak ada satupun pembaca yang mengetahui sosoknya. Mereka hanya bisa menerka, mungkin, Tere liye adalah sosok wanita yang memiliki kesaktian kata dan jago meramu kalimat demi kalimat. Sosok feminim yang begitu apik menguntai ungkapan dalam tulisan. Entah ia sudah menikah atau masih membujang. Ribuan pembaca hanya bisa menduga dan terus menduga.
Selain itu, dalam setiap buku Tere liye, tidak ada satupun bagian yang menggambarkan dan menguraikan tentang penulisnya. Tak seperti buku-buku pada umumnya. Semakin menambah kemisteriusan sosok Tere liye. Namun ini bisa jadi trik pemasaran sekaligus ciri khas yang tengah dibentuk oleh sang penulis. Tak pelak pembaca kian hari kian penasaran akan sosoknya.
Baru beberapa tahun belakangan Tere liye membuka diri. Sayang ia bukan wanita melainkan pria tulen. Puluhan ribu orang menepuk dahi sendiri. Dugaan mereka meleset. Sosok kurus dengan postur tubuh menengah ke bawah. Berkulit putih. Jambang tercukur rapi. Mata agak sipit namun pupilnya besar. Menyiratkan kurang tidur. Mungkin, hampir setiap hari menatap layar laptop.
Sesampai di lokasi acara saya bertemu dengan Diana. Kami memang sudah janjian. Dialah yang saya mintai tolong untuk membeli tiket acara ini. Saya dan Diana sudah kenal lama. Kurang lebih sejak 2008. Kenal di facebook. wajahnya hampir tiap hari muncul di beranda. Kala itu ia lumayan eksis. Sekarang sih udah gak.
Perkenalan saya dengan Diana tidak lepas dari seorang sahabatnya yang notabene pernah hampir saya dapatkan di masa lalu. Namun PDKT jarak jauh yang saya lakukan seolah membentur tembok buntu. Dua kali nembak, dua kali ditolak. Kecewa ? iya, tapi yang lebih parah adalah rasa malunya, rek. Sesekali saya dan Diana berbincang lewat facebook meski dengan kuantitas yang sangat jarang. Siapa sangka, pertemuan pertama kami akan berlangsung di Jogja, bukan Lombok. Kami sesama anak rantau, sama-sama dari Lombok. Sama-sama pernah belajar di Pancor, sama-sama mahasiswa, dan masih banyak kesamaan yang lain.
Banyak pelajaran dan kesan yang saya dapati selama acara bedah buku. Meski masih letih namun semangat bertemu dengan idola mampu menghapusnya.
Bang Tere mengawali bedah bukunya dengan menguraikan klasifikasi genre novel-novel tere liye. Secara umum dapat dibagi menjadi 4 genre. Pertama, genre anak-anak dan keluarga. Seperti serial anak-anak Mama, juga moga bunda disayang Allah, dll. Selanjutnya novel romans, tentu banyak sekali karya tere liye yang berbicara tentang romans. Rembulan tenggelam di wajahmu dan daun yang jatuh tidak pernah membenci angin contohnya. Genre yang ketiga adalah Fantasi. Sudah baca Novel Bumi dan Bulan ? itu novel fantasi. insyaAllah 2016 ini Novel Matahari akan segera terbit. Dan genre yang ke empat adalah sosial politik. Negeri para bedebah, negeri di ujung tanduk, itu diantara novel bergenre sosial politik tutur bang Tere.
“ dari survei yang saya lakukan di facebook, banyak diantara pembaca Tere liye membutuhkan novel dengan genre-genre baru. Kalian tentu gak mau kan kalau novel tere liye begitu-begitu saja, mau apa gak ? ”
Satu aula menggeleng semua.
“ karena itu saya mulai mencoba menciptakan genre-genre baru dalam novel-novel Tere liye. Ada yang pernah baca novel rindu ? ”
Saya mengacungkan jari. Diikuti sebagian besar peserta.
“ wah, ternyata lebih banyak yang sudah baca Rindu, ya wes kita bedah rindu saja bagaimana ? ” seisi aula tertawa.
“ Rindu adalah salah satu genre baru yang saya buat. Genre sejarah. Novel tersebut berbicara tentang masa lalu to ?  pun juga dengan Novel Pulang yang sekarang di genggaman kalian, itu adalah genre baru. Pulang bergenre action. Tidak menutup kemungkinan, esok saya akan terus membuat novel dengan genre baru. Bisa jadi saya buat Novel horor. Kemudian pembaca akan berkata, bang Tere, saya sudah baca novel horor bang Tere, nangis saya bacanya, kok gak ada serem-seremnya ? ini horornya dimana ? ”
Selanjutnya bang Tere memberi tips-tips tentang kepenulisan. Ada tiga hal yang harus diperhatikan ketika menulis. So what, panggung cerita, dan penyedap. So what adalah komponen cerita yang diletakkan di awal sebagai elaborasi memasuki inti cerita. Membuat so what usahakan semenarik mungkin, sehingga orang akan tertarik dan penasaran untuk membaca kelanjutan cerita. Dalam novel pulang, bang Tere memilih so what tentang babi hutan di pedalaman Sumatra. Itu yang menjadi cikal bakal sang pelaku utama dijuluki babi hutan.
Adapun panggung cerita adalah sentral dari keseluruhan cerita. Novel pulang panggung ceritanya adalah shadow economy. Ekonomi bayangan. Dimana ekonomi dunia dikendalikan oleh orang-orang di balik layar. Nah, setelah menentukan panggung cerita barulah Novel mulai di kemas dengan penyedap-penyedap cerita. Bisa dari sisi romans, humor, ataupun selingan-selingan lain yang kiranya mendukung so what dan panggung cerita yang telah ditentukan.
Bang Tere menambahkan, dalam menulis kita harus punya minimal 3 motivasi. Menemani dan menghibur, menginspirasi, dan bermanfaat. “ Saya pun begitu. Saya menulis dengan harapan semoga setelah membaca novel saya, orang-orang akan menutup novel tersebut dan berujar, ah, saya merasa ditemani dengan novel ini, saya merasa terhibur setelah membacanya. Syukur-syukur ada yang bilang wah, novel ini memberi saya inspirasi, saya harus lebih semangat dan optimis menjalani hidup. Dan yang paling tinggi tingkatannya adalah bermanfaat, syukur-syukur pembaca akan berkata alhamdulillah, dalam novel ini saya mendapat banyak sekali manfaat ” bang Tere menatap peserta lamat-lamat.
“ kalian boleh menulis biar jadi kaya, gak ada yang larang. Memang benar penulis sekarang kaya kaya kok. Bang andre Hirata, dari novel laskar pelangi, sudah dicetak 6 juta eksplempar. Per buku royaltinya Rp. 5.000. dari satu buku beliau sudah dapat 30 M. Belum lagi novel-novel yang lainnya. Tapi jangan coba-coba tanya berapa royalti Tere liye ya, saya gak akan jawab ” kami tertawa.
“ boleh kalian menulis biar jadi kaya, tapi ketika kalian sudah kaya, kalian pasti akan berhenti menulis ” lanjut Bang Tere
“ kenapa ? karena kalian sudah mendapatkan apa yang kalian mau. Beda kalau niatnya ingin berbagi dan bermanfaat. Kita tidak akan pernah berhenti menulis "
“ Menulis itu perkara memberi. Memberikan hiburan, motivasi, dan kebaikan kepada pembaca ”
“ Tere liye yang sekarang terbentuk dari tumpukan kegagalan. Tulisan saya yang pertama dimuat di Kompas adalah tulisan ke-16 yang saya kirim. 15 tulisan sebelumnya di tolak. Jangan tanyakan gimana rasanya ditolak penerbit, saya gak mau mengingat luka lama ” bang tere tertawa
“ dek, semua penulis pernah mengalami penolakan oleh penerbit, dan itu adalah hal biasa. Jadi, Kalau sekali ditolak lantas kalian menyerah itu berarti kalian menyerah di garis start. Baru permulaan. Belum apa-apa ”
“ bagi kalian yang ingin menulis dan mencintai dunia kepenulisan. Dengarkan nasihat saya baik-baik ” bang Tere menatap penuh arti
“ perbaiki niat ” bang Tere menunjuk dadanya sendiri penuh khidmat. Kami mengerti.
“ mulai sekarang, rutinkan diri menulis minimal 1.000 kata per hari selama 180 hari non stop. Kalau terhenti di tengah-tengah ulang lagi dari awal. 1.000 kata, gak boleh kurang ”
“ setelah genap 180 hari, kemudian kalian baca tulisan di hari pertama, kalian pasti tertawa, loh, kok tulisan saya gini ya, haha, kemudian baca tulisan di hari kedua puluh, oalah, tulisan saya mulai ada peningkatan. Baca tulisan yang ke 90 , wah, bagus juga tulisan saya, cocok masuk koran ini mah, begitu seterusnya
“ jika kalian konsisten dengan itu, lihatlah perubahan terhadap kepenulisan kalian, percaya sama kata-kata saya ” ucapnya penuh keyakinan.

Jogjakarta, 31 Januari 2016
22:59 WIB

Komentar

Postingan Populer