Move On Syari'ah
Siang tadi saya menerima
satu “assalamu’alaikum” dan 4 ping. Menjawab salam hukumnya wajib. Segera
jemari mengetik jawaban yang telah diajarkan agama, “ wa’alaikumussalam ”.
terkirim. Dilayar huruf D berwarna biru tercetak jelas. Tab hitam itu saya
masukkan ke dalam tas. Sejurus kemudian mata dan fikiran kembali bergelut
dengan penjelasan dosen yang tengah menyampaikan sekelumit tentang penyuntingan
teks. Salah satu mata kuliah pilihan yang saya ambil sewaktu isi KRS.
Beberapa wajah terlihat
khusu’ mendengar penjelasan. Sesekali mereka menunduk seraya menggerakkan
jemari lentik menulis bait demi bait goresan di binder masing-masing. Hanya
point-point yang dianggap penting yang berhak masuk di binder tersebut. Begitu
gaya mahasiswa. Gak nulis semua. Sekedar yang penting-penting saja. Beda
dengan anak sekolahan. Semua ditulis. Sampai titik, koma, dan berbagai tanda
baca mendapat perhatian penuh.
Dosen berhijab dan
berabaya oren itu menerangkan kata sunting dalam KBBI memiliki arti indah atau
bunga. So, kegiatan menyunting artinya kegiatan memperindah. Proses
menjadikan sesuatu menjadi lebih indah.
“ Lalu apa bedanya
menyunting teks dan menyunting wanita? ” sang dosen melempar pertanyaan. Dengan
mantap saya mengacungkan tangan. Posisi duduk yang lumayan strategis membuat
saya mudah terjangkau oleh pengelihatan sang dosen. Paling belakang pojok
kanan. Tepat di belakang mbak mahasiswi bahasa Korea yang sedari minggu lalu
saya belum tahu namanya. Dari belakang ia terlihat cantik, dari samping
anggunnya lumayan, dari depan ? entahlah. Belum sempat curi-curi pandang. Ah,
kenapa bahas mbak-mbak itu ? kembali ke cerita !
“ Kalau menyunting wanita
kita butuh mahar, Bu. Tapi kalau menyunting teks kita butuh keterampilan ” ucap
saya lantang tanpa rasa berdosa.
Bener kan ? kalau mau
menyunting wanita selain kesiapan mental kita harus memiliki kesiapan finansial
juga. Buat modal mahar dan pernak-perniknya.
Jika melihat etimologi
“sunting” tentu terdapat kemiripan interpretasi kala kata tersebut digunakan
atau disandarkan pada wanita dan teks. Menyunting teks artinya memperindah teks
tersebut. Indah dari segi alur bahasa, diksi, isi, dan penyedap-penyedap dalam
tulisan tersebut. Gak ada satu editor pun di dunia yang menyunting teks
dengan tujuan memperburuk substansi teks tersebut. Itu namanya editor dolal.
Wa kullu dolalatin finnar. ( Nah loh, kok nyambung ke hadist fenomenal
ini yak ? :D )
Sedangkan menyunting
wanita. Atau lebih tepatnya
mempersunting wanita ( baca : melamar bin khitbah ) diartikan sebagai
upaya menjadikan wanita tersebut menjadi lebih indah. Indah bagi kita, bagi
dirinya, dan di mata agama. Ketika seorang yang kita sukai bersedia kita ajak
menikah tentu menjadi sebuah kebahagiaan bukan ? kalau gak percaya monggo
tanyakeun ke orang-orang yang sudah menikah. Mereka yang telah mereguk
indahnya samudera tasbih cinta tentu memiliki segudang pengalaman.
Begitu juga dengan
wanita. Bagi mereka bukti cinta terbesar adalah keberanian seorang pria
mengajak ke pelaminan. Bukan yang suka ngajak malam mingguan. Itulah bukti
cinta terbesar dan romantis dalam agama. Dengan menghalalkan wanita bagi kita,
itu juga berarti membuat ia dan diri kita sendiri jadi lebih mulia dalam agama.
Barang siapa yang menikah maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka
daripada itu, menikahlah, sempurnakan agamamu. Agar ibadah jadi lebih indah.
Mempersunting wanita
seolah menjadikannya bunga dalam kehidupan. Bunga itu indah. Jika merekah
jangankan menciumnya, melihatnya saja sudah membuat hati tergugah. Melihat dan
mencium bunga laiknya mawar, melati, atau anggrek akan memberikan rasa senang
dan nyaman bukan ? tapi tidak member tambahan pahala. Sebaliknya, jika melihat
atau mencium bunga berwujud wanita yang sudah kita halalkan lewat qobiltu
nikahaha.. dst pahala berlimpah mengalir bak air bah, tapi ini air bah
berkah. Indahnya menikah, saudara-saudara.
Sejurus kemudian kami
larut kembali dalam diskusi. Meski sebenarnya lebih banyak ceramah dari sang
dosen. Maklum ini pertemuan perdana untuk belajar. Minggu lalu kami hanya berjumpa
sekedar berkenalan dengan mata kuliah yang diberi nama penyuntingan teks
tersebut. Menyepakati kontrak belajar. mempelajari schedule dan tentunya
kriteria penilaian. Itu menjadi hal penting, karena kami tahu betapa sulitnya
mendapat nilai A di kampus sekaliber UGM ini. Semester kemarin jadi buktinya.
Di tengah perkuliahan,
saat sang dosen tuma’ninah dalam ceramahnya, saya mengeluarkan tab dari
tas. Paket data saya mode on – kan. Satu detik. Dua detik. Hening. Tiga
detik kemudian tab itu pun bergetar. Ada BBM masuk. masih dari orang yang sama.
“ brembe kabar bos ?
bau tiang endeng pendapat leq side ? ”
Seulas senyum mengembang
di wajah. Bukan karena bangga diminta pendapat. Tapi demi mengingat masa-masa
di Pondok dulu, dimana saya menjelma menjadi konsultan dadakan untuk
teman-teman dalam berbagai masalah. Utamanya dalam masalah motivasi belajar dan
percintaan. Jika mereka hendak mengirim surat cinta, tangan dan mata saya
selalu diberi kesempatan untuk membaca, mengoreksi, dan memperbaikinya terlebih
dahulu. Gratis. Saya sama sekali tidak memasang tarif untuk hal tersebut. Kata
yang kurang tepat saya ganti, yang kurap manis saya bikin lebih manis, yang
terlalu biasa saya tambahkan berbagai majas. Hasilnya ? maksud hati ingin
romantis malah di-judge gombal oleh barisan santriwati.
Siang itu, sahabat saya,
Zamroni Azhar, yang kini tengah menempuh studi farmasi di salah satu peguruan
tinggi swasta terkemuka di NTB bertanya satu hal pada saya melalui BBM,
“ Brembe entan te move
on, Guru ? ”
Awalnya saya fikir move
on dari wanita. Padahal saya sudah menuliskan 3 paragraf panjang lebar bagi
dia. Lengkap dengan petuah dari romo
kiyai Tere Liye. Sayang terjadi miss komunikasi. Move on yang dia maksudkan
adalah move on dari malas menuju rajin. Dari keburukan ke arah yang lebih baik.
Dari maksiat menjadi ibadah. Oalah. Saya menepuk jidat sambil geleng-geleng
kepala. Namun beberapa detik kemudian saya tersadar dan bersyukur.
Alhamdulillah, paling tidak sahabat saya yang satu ini memilki keinginan baik
untuk berhijrah. Move on.
Tanpa bermaksud menggurui
saya hanya memberikan dua kalimat kunci kepadanya. Pertama tentang hidayah.
Konsep hidayah yang sering disalah artikan oleh orang Islam. “ Eh, kamu kenapa
kok masih aja maksiat ? jarang solat ? kapan taubatnya ? ” , “ Sebenarnya aku
pengen taubat, tapi ya gimana lagi, belum dapat hidayah coy ” “ Kalau aku udah
dapat hidayah aku bakalan taubat kok ” “ Nunggu hidayah datang bro ”.
Memang benar hidayah itu
hak prerogatif Allah. Mutlak kehendak Allah. Namun bukan berarti kita hanya
duduk manis sembari menyeruput kopi untuk menanti datangnya hidayah.
Saudara-saudara, Hidayah itu bisa diusahakan. Caranya gimana ? gampang ! jangan
tunggu dapat hidayah terus beribadah, tapi teruslah beribadah niscaya engkau
akan mendapat hidayah. Gampang to ? banget ! tinggal kita nih mau apa gak beribadahnya.
Ibadah tidak hanya ibadah mahdah macam
sholat, puasa, zakat ya ? tapi termasuk pula ibadah sosial. Kesalehan sosial rek.
Kedua, perbanyak zikir (
kalimat ini terinsipirasi dari Ustad Arifin Ilham ). Dengan berzikir kita
mengingat Allah. Lagi di atas sepeda motor oteweh kampus isilah dengan
zikir. Insya Allah kala di lampu merah ada wanita berpakain seksi, zikir
tersebut yang akan menjaga pandangan kita. Memalingkan diri dan tidak terus melihat
ke arahnya. Jangankan memandang yang seksi. Mandang yang pake hijab atau abaya
panjang pun kita malu. ( jujur, ini pengalaman pribadi ). Insya Allah kalau
kita membiasakan dzikir, pelan-pelan hidup akan jadi lebih baik dan berkah. Biidznillah.
Saya tidak bermaksud
menggurui Roni. Sekali lagi saya hanya ingin menjadi sahabat sejati. Yaitu
mereka yang selalu mengingatkan saudara-saudaranya kepada Allah. Bukan malah
mengajak mereka melupakan dan mengacuhkan Allah. Naudzubillahi min dzalik. Semoga
saran Move on syari’ah yang saya berikan pada Roni bisa bermanfaat untuk dia,
saya , syukur-syukur orang lain juga.
Hiduplah dengan mulia
‘IsyKarima
Jogjakarta,
16 Februari 2016
22:03 WIB
Komentar
Posting Komentar