Air Mata Zara ( 1 )



Suara bising kendaraan yang memadati ruas jalan ibu kota terus membahana. Macet. Gerah. Panas. Sumpek. Semua jadi satu. Bis angkutan umum yang hobi ngetem sembarang tempat memaksa pengguna jalan lain bersabar dan berkali-kali mengelus dada. Para kenek dengan wajah tak berdosa berteriak kencang mencari penumpang. Sepi penumpang artinya sedikit uang. Sedikit uang tentu membuat langkah terasa berat untuk pulang. Anak istri mereka di rumah menanti makanan. Ah, ada benarnya kata kebanyakan orang. Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri.
Bagi mereka yang beruntung dan memiliki kemampuan, ibu kota menjadi ladang subur peningkatan kualitas diri. Tempat terbaik berkarir. Memperbaiki taraf ekonomi. Dan secara tidak langsung, menambah prestise. Ibu kota begitu kontras dengan dua pemandangan yang bertolak belakang. Mereka yang berjas rapi, berdasi mahal, sepatu fantopel bermerk. Menenteng tas berisi dokumen-dokumen penting kemana-mana. Dan ada mereka, yang berpakaian kumuh, bermandi keringat, terbakar sinar matahari, menenteng beban kemana pun melangkah. Ketimpangan sosial yang kian hari semakin dianggap lumrah.
Klakson kendaraan bersahutan bak orkestra. Ah, percuma saja. Macet ya tetap macet. Mau senyaring apapun klakson berorasi kendaraan-kendaraan ini tetap tidak bergeming. Mengular  sepanjang lima kilometer.  Ini memang jam sibuk. Waktu pulang kerja. Untuk kesekian kalinya klakson mobil mengudara di pengapnya langit ibu kota.
“ Astagfirullahal’adzim ” Lelaki dalam mobil itu mengelus dada. Sedikit terkejut dengan mobil di sampingnya yang membunyikan klakson tiba-tiba.
Ia raih botol air mineral. Meminumnya dua teguk. Kemudian meletakkan di jok kosong di samping. Lamat-lamat ia memandang ke depan. Tidak ada yang menarik. Hanya puluhan mobil menanti macet usai. Namun dalam pandangan itu ia berdoa, semoga keangkuhan dan ketidak sabaran pengguna jalan ibu kota ini tidak menjangkitinya saat ini, juga esok hari. Sampai ia mati.
Ponsel di kantong celananya berbunyi. Panggilan masuk. Terpampang di layar smartphone itu 12 digit nomor disertai nama “ my love ” disertai sebuah foto wanita berkerudung pink.  Lelaki itu tersenyum. Tanpa membuang waktu penggilan itu diterimanya.
“ Hallo, assalamu’alaikum, Abi udah pulang ? ” suara lembut begitu merdu. Membuncahkan rona bahagia di taman hati.
“ Wa’alaikumussalam, iya, Abi udah Otewe kok. Tapi masih macet. Sepertinya Abi pulang agak telat ”
“ Ya, Bi, gak apa-apa. Ummi tunggu di rumah. Abi hati-hati ya, jangan ngebut. Tetap dzikir. Oiya, hati sama matanya juga dijaga. Jangan lirik cabe-cabean di jalan ” suara itu sedikit menggoda.
“ Waduh, tapi kalau udah terlanjur ngeliat  gimana dong, Mi? ” lelaki itu tertawa kecil.
“ Ya udah, kalau terlanjur Abi tinggal tidur di sofa malam ini ” suara di seberang sana menimpali. Pura-pura jelous. Ihsan, nama lelaki itu, tahu benar perangai istrinya.
“ Yakin mau biarin Abi tidur di sofa? Ummi gak kesepian kah tidur sendirian? Malam ini malam Jum’at lo... ” Ihsan semakin menggoda istrinya.
“ Siapa suruh matanya nakal. Udah ah, Ummi mau lanjutin masak dulu. Take care ya, Bi. Aku menunggumu. Assalamu’alaikum ” suara itu merajuk.
“ Iya, Wa’alaikumussalam ”
TUUTTT...... Telepon ditutup.
Ihsan tersenyum. Suara lembut istrinya menjadi pelipur dahaga di tengah kemacetan sore itu. Dejavu. Ia seakan menyaksikan kembali momen-momen indah kala mereka pertama kali bertemu. Lalu menjadi teman baik. Digoda oleh teman-teman sepantaran di SMA. Hingga akhirnya Ihsan nekat melamar Zara, istrinya. Tanpa pacaran. Dengan polosnya kala itu Ihsan bilang, pacarannya kalau udah ijab qabul saja, biar barokah.
Lelaki itu masih tersenyum. Bahkan kini senyumnya makin mengembang. Pahit getir kehidupan rumah tangga telah mereka hadapi bersama. Saat bahagia dan kecerian menyapa mereka pun sujud syukur berdua. Saling menguatkan, mendukung, dan melengkapi satu sama lain. Zara dengan sabar dan setia mendampingi sang suami meniti karir dari nol. Hingga kini, saat Ihsan sudah memiliki 3 perusahaan besar di ibu kota, Zara masih setia di sampingnya. Bukan karena harta, melainkan cinta. Membuat iri orang lain melihat keharmonisan rumah tangga itu. Rumah tangga bahagia, begitu kata para tetangga.

***

“ Aku gak mungkin melakukan itu, Mi, gak mungkin! ” suara Ihsan tegas. Matanya mulai sembab.
“ Kenapa tidak, suamiku ? agama membolehkanmu untuk melakukannya. Aku pun rela, sungguh! ” ucap Zara bergetar. Satu dua bulir dari mata indahnya mulai mengalir.
“ Kau rela ? kau rela aku menikahi wanita lain ? itu maksudmu ? ” mata Ihsan melotot. Mukanya merah padam. Emosinya tersulut. Sudah lama dia tidak semarah ini.
Zara membisu. Menunduk. Hening satu detik. Dua detik. Sesenggukan. Isak tangis mulai terdengar. Tubuh wanita itu bergetar. Ihsan termangu. Nafasnya masih naik turun tak teratur. Menatap dengan mata sembab tubuh istrinya yang terguncang hebat dalam nestapa.
Ihsan menyadari kesalahannya. Kenapa sampai hati ia membentak istri yang selalu berlaku lembut dan sabar menghadapinya. Lihatlah, wajah yang tak bosan senyum di hadapannya itu kini tertunduk dalam. Emosinya pasti melukai hati Zara. Perbincangan ini tidak seharusnya ia tanggapi dengan emosi berlebih.
“ Maafkan aku, istriku. ” Ihsan mendekap Zara. Ia biarkan istrinya terisak dalam peluknya. Tubuh Zara bergetar hebat. Sesenggukan yang semakin menjadi. Air mata terus membanjiri. Sungguh, ia sangat mencintai Zara. Dan kini ia sangat menyesal telah membuat Zara menitikkan air mata. “ Ma’afkan aku, sayang ” Ihsan membelai ubun-ubun Zara. Mengecupnya. Lalu mendekap lebih erat lagi.
Beberapa menit kemudian Zara akhirnya bisa lebih tenang. Wanita yang telah 15 tahun lebih menemani Ihsan itu pun ikut meminta maaf pada suaminya. Mereka saling memaafkan. Sejurus kemudian Ihsan mengacungkan kelingkingnya. Ajakan berdamai. Dengan mata sembab Zara tersenyum lalu meraih kelingking suaminya dengan kelingkingnya pula. Satu detik. Dua detik. Hening. Dan akhirnya senyum itu merekah. Mereka berpelukan. Dengan lembut Ihsan berbisik di telinga Zara “ i love you, my cup of tea ”. seketika wajah Zara merah merona. Ah, Ihsan paling suka melihat istrinya tersipu seperti itu. Mengingatkannya pada masa bulan madu.

***
Ihsan dan Zara telah 15 tahun lebih mengarungi bahtera rumah tangga. Mereka bahagia. Mereka saling cinta. Nyaris tidak ada yang kurang. Masalah harta pun sudah lebih dari cukup. Begitupun perhatian dari sang suami. Meski sibuk mengurusi 3 perusahaan namun Zara merasa  selalu  dijadikan prioritas utama. Pernah Ihsan membatalkan meeting dengan rekan bisnisnya dari Qatar lantaran Zara masuk rumah sakit. Ia ingin mendampingi dan merawat istrinya. Padahal  itu bukan meeting biasa. Nilai investasi mencapai 20 triliyun pun melayang. Tapi Ihsan tak ambil pusing. Kesehatan istrinya adalah yang utama. Meski 6 bulan kemudian perusahaanya pun mendapat tender dengan nilai yang lebih fantastis. Rizki memang di tangan Allah.
Hanya satu yang kurang dalam kehidupan mereka. Kehadiran buah cinta yang meramaikan rumah dengan rengek dan tawanya. 15 tahun pernikahan, belum ada tanda-tanda mereka akan dikaruniai buah hati. Mereka pernah mencoba berobat ke banyak dokter. Begitu juga dengan pengobatan tradisional. Namun sampai detik ini hasilnya nihil.
Ihsan tidak terlalu mempermasalahkan. Ia teramat mencintai sang istri. Ia tahu perkara anak adalah amanah Tuhan. Mungkin Tuhan belum mempercayai mereka untuk mengemban amanah itu. Jadi buat apa dipaksakan ? meski terkadang ia pun sering melamun sendiri bagaimana bahagianya memiliki anak. Mendengar kisah rekan-rekan bisnisnya yang membanggakan anak masing-masing menimbulkan keinginan dalam hati. Namun tak pernah ia utarakan ke Zara. Ia tahu itu perkara sensitif.
Zara lah yang kerap kali mengutarakan keinginannya memiliki momongan. Ihsan kerap mendapati Zara terisak dalam sujudnya di tengah malam. Menengadahkan kepala seraya mengangkat tangan ke langit. Berdoa. Memohon dikaruniai buah hati. Itu juga yang membuat Zara beberapa kali masuk rumah sakit. Saran dokter tiap kali check up selalu sama, jangan banyak pikiran. Aduhai. Bagaimana ia tidak banyak fikiran. Tekanan bathin yang ia rasa seolah menyita seluruh pikiran dan perasaan. Hingga akhirnya ia mengambil satu keputusan yang cukup berani. Keputusan yang diambil setelah berbulan-bulan ia fikirkan dan istikharoh-kan. Mengizinkan suaminya berpoligami. Menikahi wanita lain yang sehat dan bisa memberikan keturunan untuk suaminya. Tentu itu keputusan yang tak mudah. Namun daripada mengadopsi anak, ia lebih rela mendapat anak dari darah daging suaminya meski bukan dari rahimnya.
Bukan aku tak mencintai suamiku. Bukan aku tak ingin bahagia dengannya. Namun aku tahu ia mendamba. Mendamba kehadiran anak. Yang akan melengkapi kebahagiaannya. Aku tahu agama membolehkan. Dan Tuhan menjanjikan kedudukan yang tinggi bagi wanita yang merelakan. Jika aku tak bisa jadi istri yang sempurna di dunia, semoga aku bisa menjadi bidadari surga kelak.
Angin mendesau bersiap menyambut fajar. Embun mulai urung turun membasahi. Namun barisan malaikat masih setia di langit dunia melaksanakan titah Tuhan mereka. Menyambut orang-orang yang menghidupkan malam. Mengisi kelamnya malam dengan ibadah. Mengharap rahmat dan magfirah. Mendengarkan do’a mereka serta mendo’akan mereka kembali. Andai kau bisa menyaksikannya, di setiap sepertiga malam terakhir langit penuh sesak oleh parade malaikat. Mereka datang bukan untuk menyombongkan diri. Namun bersiap menjadi perantara antara hamba dengan Tuhannya.
Lantunan do’a Zara di pagi itu menguntai indah ke langit. Malaikat menerimanya dengan senyum sumringah. Sejurus kemudian menjulang tinggi. Menuju ‘arsy. Membawanya ke hadapan Tuhan. Malam itu juga do’a Zara dikabulkan. Jangan heran. Tuhan memang Maha Baik. Kau tak perlu ragukan itu. Namun Dia jua  Maha Asyik. Do’a itu dikabulkan tapi dengan cara yang dirahasiakan. Sebentar lagi keluarga itu akan dikarunia momongan. Hanya saja kita tak tahu, momongan dari rahim siapa. Zara sudah menginjak usia 40 lebih. Semakin hari fisiknya semakin melemah. Mungkin Tuhan akan berikan mereka anak dengan cara yang lain. Mereka tinggal bersabar saja.
Zara terisak untuk kesekian kalinya....
Jogjakarta, 17 Februari 2016
22:22 WIB
King izzu

Komentar

Postingan Populer