Saat Cahaya Islam Tertutupi



Suatu ketika, Syaikh Muhammad Abduh, Ulama masyhur dari Mesir sekaligus salah seorang guru besar Universitas Al Azhar pergi berdakwah ke daratan Prancis. Beliau berdakwah dengan tulus dan ikhlas, menyampaikan risalah agung, ajaran luhur yang bernama Islam. Ajaran-ajaran dalam Islam yang notabene menjunjung tinggi kedamaian dan mencita-citakan keselamatan untuk semesta alam tak ayal membuat banyak penduduk pribumi di sana tertarik. Mereka pun bersyahadat tanpa paksaan kemudian menjadi murid setia Syaikh Muhammad Abduh.
Dibawah bimbingan beliau, para muallaf ini mulai mendalami Islam. Mengkaji  Al Qur’an. Memahami Hadist dan Sunnah. Mempelajari Fiqih dan sebagainya. Mereka sangat bersyukur mendapatkan hidayah dari Allah untuk menjadi pemeluk agama Islam. Agama yang mengajarkan kedamaian, kebaikan, dan kemanusian tiada tanding. Belum pernah rasanya mereka menjumpai agama yang ajarannya seluhur ajaran Islam.
Hingga tiba-tiba Syaikh Muhammad Abduh harus kembali ke Mesir karena suatu urusan yang teramat penting dan mendesak. Dengan berat hati, murid-murid yang berhasil beliau Islamkan itu melepas kepergian guru tercinta mereka. Linangan airmata mengiri langkah Syaikh Muhammad Abduh meninggalkan bumi Paris, Prancis. Mereka sedih melepas guru tercinta yang telah mengenalkan kepada mereka keagungan ajaran dan intisari dakwah Islam. Syaikh Muhammad Abduh kembali ke Mesir sekaligus kembali mengajar di Universitas Al Azhar, Kairo.
Hari terus berganti. Waktu berjalan tanpa henti. Semakin lama kerinduan di dada mereka kepada sang guru semakin membuncah. Mereka ingin berjumpa dengan Syaikh Muhammad Abduh. Mereka ingin kembali mendalami Islam dari seorang yang ‘alim. Mereka ingin meneguk kembali kemanisan dan kesegaran linangan ajaran Islam untuk menghilangkan dahaga yang tersimpan dalam hati mereka. Mereka rindu bersua dengan guru besar mereka, Syaikh Muhammad Abduh.
Sebagian diantara murid-murid Syaikh Muhammad Abduh pun nekat bertolak ke Mesir untuk mencari dan menemui sang guru. Mereka rela menempuh perjalanan berhari-hari di bawah terik matahari yang membakar. Melewati lautan Mediterania. Lelah yang mereka rasa tak bisa membendung asa untuk bersua dengan guru tercinta. Mereka terus berjalan menuju negeri seribu menara, negeri para nabi, negeri dengan penduduk mayoritas Islam, Mesir, tempat Syaikh Muhammad Abduh kini mengajar.
Dalam benak mereka, masyakarat Mesir adalah masyarakat yang menjunjung tinggi ajaran Islam. Mereka yakin Mesir jauh lebih bersih dan rapi dari Paris. Jika Paris yang bukan negara mayoritas Islam saja bisa begitu bersih dan rapinya apalagi Mesir. Pasti jauh lebih bersih dan rapi. Bukankah Islam mengajarkan attohuru satrul iman ? kebersihan itu sebagian dari iman. Penduduk negeri mayoritas Islam itu pasti mengamalkan hadist yang masyhur ini. Menjaga kebersihan fisik dan bathin dari hal-hal yang kotor.
Orang-orang disana pasti berprilaku baik dan sopan. Menjunjung tinggi ajaran Islam dalam bermuamalah. Disana pasti tidak ada orang miskin karena zakat selalu ditunaikan. Mereka pasti menghormati tetangga, tamu, bahkan saudara non muslim. Orang tua yang sudah sepuh pun pasti mereka muliakan. Kalau di Eropa saja yang mayoritas non muslim menyediakan fasilitas difabel di berbagai tempat umum apalagi di negeri yang mayoritas muslim ? jelas-jelas Islam mengajarkan untuk berbuat baik tanpa pamrih kepada siapapun.
Dalam benak mereka tersirat banyak dugaan postif sekaligus harapan. Iya, harapan bisa hidup di negeri yang penuh dengan nuansa Islam. Segala kemanisan Islam yang mereka dapati dari lisan Syaikh Muhammad Abduh pasti teraplikasi di Mesir dengan baik. Mendengar konsep ajaran Islam yang luhur saja sudah membuat mereka bahagia apalagi jika konsep itu benar-benar teraplikasi nyata. Mesir pasti seperti itu. Mesir tempat guru mereka lahir dan besar. Tempat yang telah menelurkan ribuan ulama. Negeri yang disana berdiri Universitas Al Azhar. Mesir, dambaan para murid Syaikh Muhammad Abduh.
Kapal yang mereka tumpangi tiba di pelabuhan Port Said, Mesir. Satu persatu penumpang turun, begitu pula dengan murid-murid Syaikh Muhammad Abduh. Betapa terkejutnya mereka tatkala menyaksikan semerawutnya pelabuhan di negeri itu. Orang-orang Mesir yang tidak bisa rapi, egois, juga kata-kata kasar yang sering terucap. Mereka mencoba menghibur diri, keadaan seperti itu masih bisa dimaklumi apalagi untuk sebuah pelabuhan di kota besar. Mereka pun melangkah menelusuri negeri mayoritas muslim itu.
Untuk kali kedua mereka terhenyak. Tak jauh di dekat masjid Al Azhar seorang pria berjubah nampak tengah buang air kecil sembari berdiri menghadap tembok. Mana ajaran Islam yang mereka dambakan ? bukankah ada adab-adab buang air kecil dalam Islam ? dimana adab-adab itu ? apakah mereka tidak tahu hadist bahwa kebersihan sebagian dari iman ? atau mereka tahu namun tidak mengamalkannya ? bukankah hal seperti itu semestinya diamalkan. Ajaran ada untuk diamalkan bukan sebagai pajangan apalagi bacaan semata.
Tak jauh dari situ seorang pengemis terlihat meminta-minta di pinggir jalan. Dalam hati mereka beristigfar. Bukankah Rasulullah SAW melarang ummatnya meminta-minta ? apakah orang-orang disini tidak pernah membayar zakat dan bersedeqah ? kenapa di negeri mayoritas muslim ajaran Islam tidak sepenuhnya dapat dijumpai ? dimana peradaban Islam yang begitu indah konsepnya itu ?
Mereka pun akhirnya menemukan kantor Syaikh Muhammad Abduh. Setelah berjumpa dengan sang guru mereka pun protes. “ Dimana ajaran Islam yang agung dan luhur itu ? kenapa Paris yang tidak mengenal peradaban Islam jauh lebih bersih dari Mesir yang seluruh penduduknya hafal hadist kebersihan sebagian dari iman ? apakah peradaban Islam hanya wacana ? manis sebatas kata namun bukan realita ? kami datang kemari berharap bertemu dengan saudara seakidah dan berbaur dalam bingkai peradaban Islam yang manis itu. Namun kenapa yang kami temukan justru sebaliknya ? orang kencing berdiri, pengemis meminta-minta dengan wajah tanpa dosa, orang yang tidak bisa tertib, kata-kata kasar yang sepertinya jadi budaya ? ”
Syaikh Muhammad Abduh berlinang air mata menerima protes dari murid-muridnya. Bukan sedih karena diprotes. Beliau sedih karena apa yang dikatakan oleh murid-muridnya itu adalah fakta. Umat Islam kini jauh dari ajaran agama mereka sendiri. Mereka memahami Al Qur’an bahkan menghafalnya luar kepala, mengetahui hadist, mampu membedakan yang haq dan bathil namun sulit mengamalkan. Ajaran yang mereka ketahui hanya menjadi pengetahuan yang mengendap dalam fikiran. Tidak berbuah prilaku agung dalam kehidupan.
Dengan nada bergetar Syaikh Muhammad Abduh melontarkan sebuah perkataan yang kemudian terkenal seantero dunia islam, al islam mahjubun bilmuslimin, Islam terhalangi oleh umat Islam sendiri. Cahaya Islam yang penuh cinta kasih, kedamaian, dan kebaikan hakiki tertutupi oleh prilaku buruk umat Islam sendiri. Sungguh bukan Islam yang salah, bukan Islam yang tidak sempurna. Namun perangai pemeluknyalah yang menutupi cahaya Islam itu sendiri.
Apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Abduh tersebut masih menjadi realita hingga sekarang. Lihatlah di Indonesia yang notabene 85 % penduduknya beragama Islam. Tidak sedikit koruptor yang memakan uang rakyat itu beragama Islam. Padahal mereka tahu mengambil harta yang bukan miliknya adalah haram, apalagi memakan harta negara untuk kepentingan masyarakat banyak.
Islam mengajarkan mendekati zina itu haram. Zina adalah perbuatan keji. Namun betapa banyak orang Islam yang justru melakukannya. Mereka beragama Islam namun tanpa rasa berdosa berpelukan dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Ciuman menjadi budaya. Free seks dilakoni tanpa rasa berdosa. Mereka tahu khamr haram namun malah menjual, membeli, juga meminumnya setiap malam. Untuk ranah yang lebih sederhana, kita tahu kebersihan itu sebagian dari iman namun mengapa kita masih saja buang sampah sembarangan ?
Jawaban dari itu semua adalah karena kita terlalu jauh meninggalkan Al Qur’an dan ajaran-ajarannya. Firman Allah banyak jadi hiasan di dinding-dinding rumah dan kantor. Namun sedikit yang mampu meresapi dalam bathin. Tentu kita berharap semoga ajaran Islam tidak hanya menjadi wacana. Dan harapan itu harus dieksekusi dengan langkah nyata. Langkah yang dimulai dari diri kita sendiri. Kembali ke al Qur’an. Kembali ke ajaran-ajaran Islam. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang mencegah cahaya Islam bersinar. Aamiin.
Hidup sekali hiduplah dengan mulia.
‘Isy Karima.

Jogjakarta 9 Februari 2016
17:51 WIB

Izzu

Komentar

Postingan Populer