Hidup Antara Astagfirullah Dan Alhamdulillah
Tidak sengaja, di timeline
facebook saya ada sebuah status milik kawan kala masih di pondok, Zamroni
Azhar, keponakan dari guru kimia kami, Ustad Faizul Bayani, M.Pd. sahabat saya
yang satu ini adalah sosok yang begitu mengutamakan kebersamaan, lebih-lebih
dengan para sahabatnya. Kalau ada acara kumpul-kumpul dia gak pernah
absen sama sekali. Selalu berada di garis terdepan. Statusnya cukup membuat
saya manggut-manggut. Ada ilmu yang tersirat di balik status tersebut.
Begini bunyi status Roni
:
Hidup itu Antara
Astagfirullah dan Alhamdulillah ^_^
Kalau diinterpretasikan
secara leterlek kita akan mendapati satu hipotesa bahwa dalam hidup, terkadang kita
mengucapkan asgtafirullah, kadang juga melantunkan alhamdulillah. Saat
keinginan menjadi nyata, mendapat nilai bagus dari guru atau dosen, naik
jabatan, meraih prestasi di bidang akademik, atau bisa jadi, kala cinta
diterima oleh si dia, kemungkinan besar lisan akan bergetar mengucapkan alhamdulillah.
Namun dewasa ini syukur di lisan dirasa kurang sempurna tanpa syukur di
media sosial. True stroy bukan ?
Lalu saat keinginan hanya
tinggal asa. Ekspektasi tak sesuai realita. Kekecewaan mendera. Dihampiri rasa
bersalah dan putus asa. Kita sering tanpa sadar mengucapkan astagfirullahal ‘adzim.
Padahal istigfar lebih tepat digunakan untuk meminta ampunan, bukan kala
mendapat ujian atau musibah. Dan jujur saja, saya menduga kosakata “astaga”
dalam bahasa Indonesia diadopsi dari kalimat astagfirullahaldzim dalam bahasa
arab. Sekali lagi ini hanya dugaan sementara.
Akan tetapi, pada
hakikatnya, apa yang digoreskan Roni dalam statusnya adalah benar. Hidup antara
astagfirullah dan alhamdulillah. Ucapan astagfirullah tatkala meminta ampunan. Artinya
dalam hidup sudah pasti kita melakukan perbuatan dosa baik disadari ataupun
tidak. Sedangkan ungkapan alhamdulillah berorientasi pada kesyukuran atas
nikmat yang Tuhan berikan. Artinya, Tuhan lah yang memiliki andil begitu besar
terhadap apa yang kita peroleh dalam hidup yang sementara ini. Sederhananya,
hidup itu memohon ampunan dan menjaga kesyukuran.
Kenapa Allah
memerintahkan kita beristigfar ? bahkan Nabi Muhammad SAW menganjurkan
beristigfar minimal 100 kali dalam sehari ? sebuah jawaban logis saya dapatkan
dari TGB. Dr. KH. M. Zainul Majdi MA, ro’is am dewan tanfidizyah PBNW. Allah memerintahkan
kita berisigfar karena Allah tahu kita tidak akan bisa mengamalkan semua
kebaikan-kebaikan yang kita ketahui.
Kita tahu tahajjud itu
perkara mulia, tapi sudahkah kita konsisten melakukannya ? membaca al-qur’an
itu berpahala namun kenapa kita lebih betah membaca status dan berita?. Kita paham
sedekah itu amal jariyah, namun kenapa kita masih ikhlas membelanjakan Rp.
100.000 untuk keperluan dunia daripada memasukkannya ke kotak amal ? kita pun
tahu belajar itu ibadah tapi kenapa masih sering malas-malasan ? kita juga tahu
berbakti pada orang tua tak ternilai kemuliannya namun mengapa banyak yang
lebih tunduk pada perintah pacar yang notabene anak orang ?
Bohong itu tidak baik
tapi kenapa kita masih kerap melakukannya ? zina itu haram tapi kenapa kita
seolah biasa menghadapinya ? marah itu tercela namun sayang kita sering marah
pada hal-hal yang seharusnya kita sikapi dengan sabar, bukan ? taubat itu baik
namun kita masih saja menunda-nunda melakukannya. Istigfar Allah perintahkan
sebagai washilah pengugur dosa akibat ketidak bisaan kita melakukan semua
kebaikan yang kita ketahui dan ketidak mampuan menjauhi semua keburukan yang
kita tahu juga. Betapa ruginya orang yang jarang beristigfar sedangkan dosanya
kian hari kian menggunung. Semoga kita tidak termasuk orang yang merugi itu.
Sedangkan lafadz syukur
sudah sepatutnya kita untaikan dalam setiap hembusan nafas yang Allah berikan. Tapi
sayangnya, keangkuhan yang ada pada diri terkadang membuat hati jadi bebal
untuk mensyukuri pemberian Tuhan. Harus diakui kita lebih banyak menuntut
daripada menerima. Dikasih 1 minta 2, diberi 2 request 3. Sungguh jika
mengikuti hawa nafsu dan ambisi manusia tidak akan ada habisnya.
Salah satu cara kita
untuk menjaga kesyukuran adalah dengan melihat ke bawah. Di saat kita bisa
sekolah atau kuliah dengan fasilitas yang memadai, di waktu yang bersamaan pula
ada saudara kita yang tak tahu rimbanya tidak bisa bersekolah. Entah karena
faktor ekonomi ataupun tidak mendapatkan hidayah akan pentingnya ilmu
pengetahuan. Tatkala di meja makan terhidang makanan lezat meski pun sederhana,
ketahuilah, banyak saudara kita di kolong jembatan sana tengah memegang perut
menahan lapar karena tidak ada makanan.
Tengoklah ke bawah agar
engkau bisa bersyukur. Jangan liat mereka yang selalu bisa makan di restoran mewah
dan mahal. Kemana-mana pakai mobil. Mau itu ini tinggal minta sama orang tua.
pengen beli sesuatu tinggal tarik tunai di ATM. Sungguh jika kita melihat
mereka dari sisi materi kita tidak akan merasa cukup. Namun jika kita memandang
dari segi yang lain bisa jadi kita akan bersyukur. Bersyukur diberi kehidupan
yang sederhana. Paling tidak dengan hidup sederhana, hisab harta kita di padang
Mahsyar kelak tidak akan sebanyak mereka yang gemar menumpuk harta namun enggan
bersedekah.
Apa yang engkau miliki
saat ini adalah amanah dari Allah SWT yang kelak akan dimintai pertanggung
jawaban. Bagi saya pribadi, uang kiriman bulanan dari orang tua adalah amanah dari
Allah melalui perantara beliau. Saya memang akan bertanggung jawab pada kedua
orang tua namun kelak pertanggung jawaban yang lebih dahsyat akan Allah tuntut
di akhirat. Karena itu, sebisa mungkin saya berusaha menggunakan uang bulanan
untuk kebutuhan dan kepentingan belajar. saya berharap kelak saat Allah
memintai pertanggung jawaban, dengan mantap saya bisa menjawab sekian rupiah
saya gunakan untuk makan agar cukup tenaga untuk belajar, sekian rupiah saya
pakai untuk membeli buku-buku dan kitab-kitab. Sekian rupiah saya pakai untuk
refreshing dengan niat menyegarkan fikiran kala penat belajar. insya Allah
dengan menata niat yang baik dalam setiap derap langkah akan membuahkan
kebaikan demi kebaikan. Begitu cara saya belajar bersyukur.
Bukan kah Allah
menjanjikan dalam Al qur’an jika kita bersyukur Allah akan tambahkan
karunia-Nya, sedangkan kalau kita kufur, azab Allah amat pedih menanti dengan
setia. Lihatlah Qarun, Fir’aun, dan banyak tokoh jahat lainnya yang enggan
bersyukur. Mereka tenggelam bersama kekufuran yang mereka anut. Sebagai mukmin
yang baik kita wajib meyakininya. Meyakini bukan hanya sekelabat dalam hati
namun juga berwujud aksi nyata.
Selama ini kita
mengetahui ada 3 cara bersyukur. Bersyukur dengan lisan, hati, dan perbuatan. Dengan
lisan, kesyukuran dapat dipantulkan melalui kalimat-kalimat hasanah yang
terlontar. Ucapan Alhamdulillah membasahi bibir dan berusaha menjaga lisan agar
tidak mengeluarkan umpatan-umpatan tercela. Bersyukur dengan hati dilakukan
dengan selalu merasa cukup dengan pemberian Allah. Meredam hawa nafsu dan
ambisi pribadi. Serta meningkatkan kepedulian sosial terhadap sesama. Adapun bersyukur
dengan perbuatan diwujudkan dengan kesalehan sosial. Dalam setiap harta kita,
Allah titipkan hak untuk anak-anak yatim piatu, janda-janda tua, kaum dhuafa,
dan mereka yang kurang beruntung. Camkanlah, apa yang ada dalam dompetmu, ATM
mu dan investasi-investasimu semata-mata milik Allah. Jangan pernah merasa
memiliki, namun jadikanlah dirimu sebagai orang yang dititipi dengan penuh
tanggung jawab. Semoga kita terlindungi dari sifat takabbur, bakhil, riya, dan
sifat mazmumah lainnya. Aamiiinn.
Adapaun kesyukuran
melalui media sosial hanya efek budaya saja. Tergantung niat dari yang
bersangkutan. Apa motif mem-posting kesyukuran tersebut. kalau niatnya supaya
diklaim sebagai orang yang bersyukur tentu termasuk kategori riya’, namun jika
niatnya ingin menginspirasi, insya Allah terselip manfaat di dalamnya.
Hidup antara
astagfirullah dan alhamdulillah. Hidup itu akan indah jika diisi dengan dua hal
; meminta ampunan dan menjaga kesyukuran. Hidup sekali, hiduplah dengan mulia. ‘Isy
Karima !!!
Jogjakarta, 7
Februari 2016
10:26 WIB
Komentar
Posting Komentar