Raksasa Patah Hati
Alkisah, dahulu kala. Ada
seorang raksasa patah hati. Entah apa penyebabnya. Ia menangis meraung-raung.
Berlari ke tengah pemukiman penduduk. Menghantam apapun yang ia jumpa. Acuh dengan
sekitar. Tak peduli kesengsaraan yang diakibatkan oleh tindakan brutalnya.
Berhari-hari ia duduk
tanpa berhenti meronta. Sungguh raksasa yang malang. Penduduk pun ikut menaruh
iba padanya namun mereka tak sanggup berbuat apa-apa. Raksasa yang malang. Dan
parahnya lagi tidak ada yang mengetahui muasal mengapa raksasa itu sedih
berkepanjangan.
Hingga suatu hari, ibu
peri datang. Istananya di dasar laut ikut terganggu oleh raungan sang raksasa.
Ia harus berbuat sesuatu agar kerusakan tidak semakin menjalar. Raksasa ini
harus segera ditolong.
“ hai, raksasa ! kenapa
kau mengamuk seperti ini ? merusak alam sekitar ? membuat anak-anak ketakutan
dan orang-orang berlarian? bahkan kamu menyakiti dirimu sendiri. Kenapa ? ”
Sebagai jawaban raksasa
itu terus menangis sejadi-jadinya. Air mata itu kini sudah membentuk sebuah
danau di tengah daratan.
“ baiklah, raksasa. Aku
yakin dibalik kesedihanmu ada luka yang ternganga begitu besar. Kekecewaan yang
terpatri sangat dalam. Aku tahu dan mengerti apa yang kau rasakan. Masa lalu
yang menyakitkan. Kenangan yang menyiksa ”
Raksasa itu mengangguk
dan terus menangis.
“ aku datang hendak
membantumu, raksasa. Apakah kau ingin melupakan kenangan itu ? ”
Raksasa kembali
mengangguk. Ia sudah tidak tahan dengan kesedihan yang mendera. Ia ingin
melupakan rasa sakit hatinya. Apapun akan ia lakukan untuk bisa melupakannya.
Ibu peri pun mulai
merapal mantra. Mengayunkan tongkat sakti. Tongkat itu mengeluarkan cahaya.
Menerpa tubuh sang raksasa. Seketika ia berubah menjadi batu yang sangat besar.
Saking besarnya batu itu sampai membentuk pulau baru. Usai sudah kekecewan,
tangisan terhenti, kesedihan musnah seiring musnah pula sang raksasa malang.
Seluruh manusia tentu
memiliki kenangan buruk layaknya raksasa di atas. Entah berupa kekecewaan,
patah hati, kegagalan, kehilangan, pengkhianatan, dan lain-lain. Bahkan, dalam
kasus yang lebih ekstrem, kenangan buruk seperti itu bisa membuat orang
depresi. Akal sehatnya rusak. Ujung-ujungnya hanya menambah daftar orang gila
di RSJ.
Kalau boleh berargumen.
Penyakit psikis seperti itu justru lebih merugikan dibanding penyakit fisik
seperti jantung, maag, diabetes, dll. Penyakit fisik dapat ditangani dengan
peralatan medis dan obat-obat tertentu. Namun penyakit psikis tidak cukup
dengan peralatan medis dan obat semata. Mereka membutuhkan bimbingan psikiater.
Lingkungan yang kondusif serta waktu yang lama untuk proses penyembuhan.
Seyogyanya penyakit
psikis akan lebih banyak mendatangkan kerugian. Bayangkan jika di Indonesia 4
dari 10 orang menderita ganguan jiwa. Itu berarti Indonesia kehilangan 40 %
potensi ekonomi. Negara kehilangan 40 % produktivitas penduduk. Orang gila mana
bisa bekerja ? yang ada malah membuat orang lain bekerja untuknya. Hanya
menjadi penambah beban keuangan negara. Ekonomi bisa kacau balau karena
produktivitas masyarakat berkurang. Berbahaya bukan ?
Gawatnya, gangguan jiwa
banyak disebabkan oleh luka hati. Orang yang gagal dalam pemilihan umum, uang
habis buat kampanye, anak dan istri meninggalkan tanpa peduli, membuatnya
kecewa berkepanjangan. Pada akhirnya mulai tertawa sendiri. Efek kelamaan
stres.
Seorang yang jatuh cinta
begitu dalam pada pacarnya. Sampai rela menyerahkan mahkota paling berharga
yang ia miliki sebelum ijab sah di depan penghulu. Karena kebablasan atau lupa
pakai pengaman akhirnya janin tumbuh dalam rahim. Si pacar yang dimintai
tanggung jawab malah kabur tak berjejak. Jabang bayi di kandungan kini tak
memiliki ayah. Digugurkan salah, sedangkan kalau dibiarkan terus menurus hanya
akan menjadi aib bagi keluarga. Hati berkecamuk oleh kekecewaan dan pengkhianatan.
Nelangsa mengisi hari hingga akhirnya ia bunuh diri. Sungguh miris.
Dalam kondisi yang tidak
sekestrem di atas. Banyak orang yang kecewa karena cerita masa lalu. Bisa jadi
kecewa karena pengkhianatan sang kekasih yang sudah ia cintai begitu dalam.
ataupun kecewa akan keadaan yang seolah tak pernah bersahabat dengannya. Ia mau
A malah dapat B, ketika mau C malah dapat D. Hidup seakan tak pernah adil
untuknya. Mungkin juga kecewa karena karir studi atau pekerjaan. Kegagalan
masuk Universitas Impian. Penolakan oleh banyak perusahan.
Well, banyak hal yang
bisa membuat kita stres dan kecewa. Begitulah hidup. Orang bijak pernah
berkata, kalau masak memang harus ada garam, biar gak hambar. Dalam
hidup memang harus ada kekecewaan agar kita bisa merasakan nikmatnya
keberhasilan. Mesti ada kesedihan agar kita paham hakikat bahagia. Hidup tidak
berjalan monoton dan itulah yang membuat hidup terasa asyik. Allah Maha Asyik.
Begitu idiom yang sering diungkapkan salah seorang wartawan kawakan Radar
Lombok. Bayangkan jika hidup ini bahagia terus. Atau sedih terus. Gak seru
rek, kurang greget.
Ketika kecewa menampar
hati dengan kenangan pahit di masa lalu, banyak diantara kita ingin
melupakannya. Buka saja facebook, status ingin melupakan mantan bejibun di
sana. Dengarkan lagu-lagu band terkini, isinya pengen move on, lari dari
kenyataan, dan melupakan masa lalu. Pertanyaannya, bisa kah kita melupakan ?
Rek, “melupakan”, ini verb dalam
bahasa Inggris. Dalam bahasa arab istilahnya fi’il. Kata kerja. So,
ketika kita ingin melupakan berarti kita tengah berupaya melupakan apa yang
kita ingat. Secara tidak langsung dengan berusaha melupakan kita mensugesti
diri untuk terus mengingat apa yang hendak kita lupa. Karena itulah banyak yang
gagal melupakan. Bukannya lupa malah semakin teringat.
Masalahnya bukan
melupakan yang menjadi solusi terbaik. Bisa kah kita pastikan seandainya kita
berhasil melupakan kenangan masa lalu akan membuat hari kita jadi lebih baik ?
bisakah kita menjaminnya ? belum tentu. Mengutip quote bang Tere liye, bukan
melupakan yang menjadi perkara, tapi menerima. Terimalah apa yang terjadi di
masa lalumu dengan hati yang damai dan ketulusan. Peluk semua kenangan buruk
dengan keikhlasan. Tidak ada gunanya menggerutu, protes, apalagi mengeluh.
Ikhlaskan saja hati. Lapangkan dada. Syukuri yang terjadi. Berdamai dengan
keadaan. Niscaya engkau bisa bahagia.
So, yang sekarang lagi
berusaha “ melupakan ” cobalah berhenti berusaha dan berdamailah dengan
keadaan. Ketika anda mampu berdamai dengan keadaan, kecewa maupun lara yang
terasa akan mampu membuat anda tetap tersenyum dan ikhlas. Bahagia itu bukan
perkara apa yang terjadi, namun bahagia adalah menerima apa yang terjadi dengan
kedamaian hati. Ketika gagal namun hati mampu berdamai dengan kegagalan itu,
niscaya kita akan mensyukuri dan memeluk kegagalan tersebut dengan keikhlasan.
Indah sekali bukan ?
Bahagia itu kita yang
tentukan. Dan salah satu yang akan membuat hati bahagia adalah berdamai dengan
keadaan. Orang bijak pernah berkata, maafkan masa lalumu, syukuri masa
kinimu, dan tawakkalkan masa depanmu. Masa lalu gak bisa diubah,
hanya bisa diterima sebagai wadah pembelajaran hidup. Masa kini harus disyukuri
dengan menabung kebaikan demi kebaikan. Mengisinya dengan hal-hal yang membawa
manfaat. Dan masa depan akan tetap menjadi misteri. Tidak perlu ditakuti.
Tawakkalkan saja, Allah pasti berikan yang terbaik. Allah maha adil. Jika
sekarang kita mengupayakan masa depan yang baik, Allah pasti kasih. Bersabar,
istiqomah, dan tetap husnuzon pada Allah.
Hidup hanya sekali.
Jangan sampai usia yang diberi kita isi dengan banyak bersedih. Kita berhak
bahagia kok. Bahagia ada di hati kita. Damaikan hatimu, engkau akan bahagia.
‘IsyKarima... hiduplah
dengan mulia.
Jogjakarta, 1
Februari 2016
07:38 WIB
King_Izzu
Komentar
Posting Komentar