Sebuah Tanda Tanya ( 2 )



Dengan berat hati Ihsan menyanggupi keinginan Zara agar ia berpoligami. Demi melihat wajah istrinya memelas saat terbaring di Rumah Sakit semalam, ia tak kuasa menolak permintaan itu. Demi kelangsungan hidup mereka. Demi kebahagian yang telah lama didamba. Ia akan penuhi permintaan Zara.
Ihsan mulai bertanya kepada beberapa ustadz dan kiyai tentang poligami. Seorang kiyai yang ia temui di Bandung berujar, Salah satu tujuan menikah adalah memperoleh keturunan. Jika itu menjadi hujjahmu, maka menikahlah lagi. Tapi ingat ! syarat utama engkau berpoligami adalah berlaku adil untuk istri-istrimu. Tidak berat sebelah. Meski sulit tapi itu harus kau lakukan. Kalau tidak maka bersiaplah menanggung akibatnya di dunia, lebih-lebih di akhirat. Ini bukan ancaman, nak. Tapi peringatan. Peringatan sekaligus pemahaman sebelum engkau melakukannya. Jaga niatmu. Semoga Allah memberikanmu hidayah-Nya.
Bagaimana ia bisa berlaku adil ? Ia tak yakin mampu mencintai wanita lain selain istrinya. Zara adalah wanita kedua yang teramat ia cintai setelah bundanya. Baginya, membahagiakan Zara berarti ibadah. Ia merasa sempurna menjadi laki-laki. Namun benar kata keluarga besar dan beberapa koleganya, termasuk Zara sendiri. Ia harus memiliki keturunan. Bukan semata agar ada yang meneruskan silsilah keluarga. Tapi semoga dengan hadirnya anak yang soleh dan solehah, kelak ia akan mendapat curahan rahmat meski sudah tak kuasa bernafas lagi. Bukankah doa anak yang soleh adalah amal jariyah yang tidak akan terputus ? sama seperti sodaqoh yang ikhlas dan ilmu yang bermanfaat.
Ia mulai berikhtiar mencari wanita yang bersedia dijadikan istri kedua. Tentu melalui orang-orang terdekat yang ia percayai. Zara pun ikut membantu. Malah ia lebih semangat dari Ihsan. Namun Ihsan tahu, Zara seperti itu demi kebahagian keluarga mereka. Zara mulai menghubungi satu persatu sahabatnya yang sudah bercerai ataupun belum menikah.  Ya, ada 2 sahabatnya yang belum juga menikah. Satu adik kelasnya sewaktu SMP dan satunya lagi rekan sepantarannya saat jadi mahasiswa dulu. Sayang kedua-duanya menolak meski Zara sudah memelas meminta.
 “ Aku gak mungkin menjadi madumu, Za. Aku gak tega. Meskipun kamu yang meminta, aku gak mau merenggut kebahagianmu ” begitu ungkap salah seorang dari mereka dengan berderai air mata saat Zara menemuinya langsung.
Waktu terus bergulir. Hari demi hari datang silih berganti. Bulan demi bulan beranjak pergi. Tak terasa hampir 2 tahun usaha mereka mencari wanita yang bersedia dimadu tak membuahkan hasil. Zara pun sudah tak intens mencarikan calon untuk suaminya. Bagaimana tidak ? seluruh kolega sudah ia hubungi. Tak ada yang tersisa. Dan semuanya menolak. Ihsan tak henti-hentinya membesarkan hati sang istri.
“ Bersabarlah, sayang. Allah gak mungkin zholim kepada kita. Tawakkal ! tetap husnuzhon. Insya Allah ini yang terbaik untuk kita. Aku bahagia denganmu. Aku mencintai kekuranganmu. Aku harap semua beban pikiranmu tidak menjadi penghalang untuk kebahagiaan kita ” Lirih Ihsan sembari mendekap Zara yang berdiri tegak menantang angin laut. Memandangi sunset yang siap redup di ufuk barat. Siluet indah mulai tercetak. Horizon kemerahan melukis langit. Satu dua bintang mulai menggelayut. Bersinar terang. Menghias langit sore. Di sebelah selatan bulan sabit yang masih redup sudah tergantung cantik. Alam mengamini do’a pasangan suami istri itu.

***
Tidak ada yang tahu apa yang akan akan terjadi esok hari, dua hari lagi, atau berpuluh-puluh tahun ke depan. Bahkan satu detik yang akan datang tidak ada yang tahu. Dunia dan isinya adalah tanda kekuasaan Allah sekaligus rahasia penuh misteri bagi seluruh makhluk. Tugas mereka bukan lari dari takdir langit. Apalagi menggerutu menghujat ketetapan. Cukup dengan sabar dan syukur semua rahasia itu akan menjadi indah pada waktunya.
Begitu pula dengan Ihsan dan Zara. Mereka sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan sahabat lama mereka. Nita. Bagi Zara sendiri, momen itu bagaikan durian runtuh. Tak Cuma runtuh, duriannya malah ambruk dan semua buahnya matang. Satu pun tak ada yang busuk. Sudah lama ia kehilangan kontak dengan Nita, sahabat getolnya semasa kuliah. Pun juga dengan Ihsan. Nita adalah adik tingkat sekaligus mak comblangnya dulu. Berkatnya lah ia mengenal Zara. Kerap kali diam-diam Nita menceritakan banyak hal tentang Zara kepada Ihsan. Sungguh Nita punya andil besar dalam hubungan Ihsan dan Zara.
Malam itu juga mereka makan malam bersama. Di bibir pantai. Deburan ombak menemani datangnya hidangan yang sudah dipesan. Dua porsi gurame sambel madu dan kepiting rebus balado. Aromanya menggoda selera. Hidangan itu masih hangat. Bahkan uapnya yang masih mengepul menerpa wajah ceria mereka. Sejenak Zara dan Ihsan bisa melupakan beban pikiran mereka 2 tahun terakhir ini.
“ Kamu sibuk apa sekarang, Ta? ” tanya Zara.
Gak sibuk apa-apa, Za. Cuma ngurusin butik ”
“ Wah, kapan-kapan aku main ke butikmu ya, kalau teman yang beli kudu dapat diskon lah ” Zara menyenggol lengan Ihsan lalu mengedipkan mata. Memberi kode. Ihsan mengangguk tersenyum.
“ Silahkan, dengan senang hati, Za. Tapi diskonnya gak banyak ya. Bisa-bisa kamu borong semua barangku dengan harga murah. Bangkrut aku ! ”
Tiga sahabat itu tertawa. Sejauh mata memandang lampu dari kapal-kapal nelayan di tengah laut terlihat bergoyang diatas ombang-ambing laut. Bintang kian lama kian menjamur. Membentuk rasi mereka masing-masing. Berserakan di angkasa. Semilir angin malam semakin lembut menyelimuti kebersamaan. Tiga porsi makanan di meja telah habis disantap. Ihsan yang terlalu kenyang pamit hendak ke toilet. Nampaknya ia akan lama.
“ Kamu liburan kesini kok sendirian ? Fauzan mana? ” tanya Zara memecah keheningan.
Seketika Nita terdiam. Rona wajahnya berubah. Memandang Zara lamat-lamat. Lalu menunduk. Zara bingung mengapa sahabatnya itu tiba-tiba jadi dingin begitu.
“ Ta, apa aku salah bicara ?, ma’afkan aku ya ” tangan Zara menyentuh bahu Nita. Ia masih terdiam. Meraih tisu dalam tas jinjing. Menyeka bulir airmata yang merembes tak tertahankan. Zara semakin serba salah.
Gak apa-apa kok, Za ” Ucap Nita menyeringai.
“ Apa yang terjadi Nit ? kenapa kamu menangis ? ceritakanlah pada sahabatmu ini. bukankah kita sedari dulu selalu berbagi cerita  “ kata Zara penuh pinta. Nita tersenyum.
“ Iya. Aku pasti ceritakan, tapi gak sekarang. Bukankah kamu masih punya waktu 6 hari lagi disini ? aku juga masih akan menghabiskan waktu lama di tempat yang indah ini. Aku pasti cerita, tapi tidak malam ini ” balas Nita dengan mata sembab. Nada bicaranya sedikit bergetar. Seperti sedang menahan beban yang teramat berat. Entahlah beban apa. Sungguh membuat Zara penasaran. Kenapa Nita menangis dan berubah sikap kala ia menyebut Fauzan ? bukankah Fauzan adalah suaminya. Bahkan ia menjadi pagar ayu kala mereka menikah. Sebulan berselang Fauzan membawa Nita terbang ke Mesir. Fauzan hendak melanjutkan masternya di salah satu universitas Islam terkemuka di sana. Dan sejak itulah mereka tidak pernah bertukar kabar kembali. Lost contact.
Seyogyanya Zara adalah tipe wanita yang gak bisa penasaran. Ia selalu ingin tahu. Tak kan berhenti merajuk sampai mendapatkan apa yang ia damba. Namun kali ini urusannya beda. Sebagai sesama wanita ia paham betul apa yang tengah Nita rasakan meski belum tahu detailnya seperti apa. Nita hanya butuh waktu untuk menyiapkan mental menceritakan itu semua. Cerita yang mungkin teramat pahit dan getir untuk gadis secantik Nita. Ia harus sabar sampai Nita mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Angin malam mendesau lebih nakal. Membawa sensasi dingin mengitari dua sahabat itu. Memaksa mereka merajuk. Bibir pantai masih asyik berciuman dengan air laut. Menyisikan buih-buih indah. Menatap penuh tanda tanya. Mengiringi rasa penasaran Zara yang kian membuncah. Malam itu, tanda tanya besar terpatri dalam benak.

Jogjakarta, 18 Februari 2016
20:56 WIB

King izzu

Komentar

Postingan Populer