Pamer Perasaan
Pagi ini kuawali dengan
tawa merekah. Saat pertama kali menatap timeline facebook. Adalah sosok Ratna
Kumala. Gak kenal sih, tapi setahuku dia satu almamater dengan beberapa
sahabatku yang lain. Seperti Diana, Ewi’, Dek Zhofi. Mereka adalah barisan alumni
MA. Muallimat NW Pancor. Salah satu madrasah khusus wanita paling kece se-antero
Lombok Timur. Belum pernah bersua, hanya sebatas mengintip beranda di dunia
maya.
Belakangan ia kerap
nge-post kebersamaan dengan “kesayangan” barunya. Bukan sosok pacar berwujud
manusia. Tapi hewan peliharaan. Tidak juga kucing atau kelinci laiknya
kebanyakan peliharaan manusia pada umumnya. Tapi turtle, kura-kura.
Entah sisi imut apa yang ia lihat pada kura-kura tersebut. kura-kura mungil
yang mungkin tengah belajar merangkak. Lebih tepatnya bayi kura-kura.
Apa yang membuatku tertawa
? di bawah ini saya copas status mbak Ratna Kumala :
Banyak orang bilang: "Sosmed isinya kura-kura mulu"
Aku: "Mending kura-kura daripada galau mulu"
Hehe :*
Aku: "Mending kura-kura daripada galau mulu"
Hehe :*
Aku tarik satu hipotesa
awal. Sahabat Facebook saya ini telah jatuh cinta pada kura-kura. Tengah
dirundung bahagia mengisi kebersamaan setiap hari. Aku rasa itu normal saja,
toh banyak juga kan yang hobi memelihara hewan-hewan tertentu. Kucing, kelinci,
hamster, kecoak terbang, dan lain-lain. Aku kepikiran, kenapa gak pelihara
semut aja yah ? atau nyamuk ?
Paling tidak, saat
seseorang mencintai hewan peliharaan, mereka tidak akan dikecewakan oleh yang
ia cintai tersebut. Gak ada ceritanya kura-kura mengkhianati majikan
dengan selingkuh di balik layar. Atau berpaling ke majikan yang lain. Kura-kura
terus berjalan sembari menengok kepada majikannya dengan tatapan benci, aku
udah bosen sama kamu, kamu gak pernah ngertiin aku, biarkan aku pergi, lo gue
,, end. Imposibble kan kura-kura gitu ? kura-kura alay -_-.
Beda kalau jatuh cinta
sama manusia. Potensi utk dikecewakan ataupun mengecewakan selalu ada. Ditinggalkan
atau meninggalkan. Menyakiti atau tersakiti. Pun juga bahagia dan
membahagiakan, merasa nyaman dan memberi kenyamanan. Manusia bisa melakukannya.
Itulah keistimewaan mereka.
Saya sependapat dengan
sahabat facebookku itu. Lebih baik media sosial diisi dengan kura-kura daripada
bergalau-galau ria. Sayangnya, 60 % postingan di facebook atau media sosial
lain bersubstansi kegalauan. Ada yang galau ditinggal pacar. Galau karena
dikhianati kawan sendiri. Ada pula yang galau kelamaan jomblo. Dan beberapa
bulan terakhir saya intip ada yang galau karena ditinggal suami merantau jadi
TKI.
Lantas, apakah galau itu
haram, king izzu ? tidak ! Saya gak pernah ngomong begitu. Hidup sudah
memiliki pola sejak pertama kali ia tercipta. Di awal cerita, nabi Adam dan
Siti Hawa menikmati kebahagian di surga. Sampai akhirnya mereka tertipu daya
dan diusir. Tidak hanya diusir, mereka juga dipisahkan di bumi antah berantah
yang tak bertuan. Dipisahkan puluhan ribu kilo meter. Bayangkan betapa galaunya
nabi Adam kala itu ? belum ada jaringan telepon apalagi media sosial, pun juga
teknologi GPS dan google maps untuk melacak keberadaan belahan jiwanya.
Bertahun-tahun mereka
terpisah hingga akhirnya berjumpa di jabal ramah. Saat itulah kegalauan yang
menumpuk musnah dengan kebahagian pertemuan yang telah lama didamba. Mereka larut
dalam bahagia. Hidup sudah memiliki pola. Ada sedih, ada bahagia. Hanya
perputaran masa saja. Sangat manusiawi seseorang bersedih dan bahagia. Itu pemberian
dari Allah untuk makhluk terbaik.
Namun, mungkin, yang
kurang tepat adalah ketika kegalauan engkau umbar-umbar, dek. Hingga
semua orang tahu apa yang kamu galaukan. Sampai semua orang tahu bahwa kamu
sedang tersakiti. Bisa jadi kamu ingin orang lain merasakan apa yang kamu
rasakan. Berharap mereka memberi perhatian, dukungan, ataupun suport. Menanti
simpati dari penduduk facebook. Bisa jadi seperti itu ?
Ketahuilah, dek. Jika
engkau seperti itu bukan simpati yang kau peroleh. Tapi antipati. Penduduk
dunia kian hari kian cerdas, begitupun penduduk dunia maya. Mana mungkin
orang-orang akan bersimpati pada engkau yang rutin mengeluh ? menyalahkan
keadaan, mengumbar sakit hati, menampakkan kekecewaan pada semua orang ? kalau
pun ada paling-paling simpati yang berujung modus. Ada udang di balik batu.
Bukan simpati yang tulus.
Apa sih untungnya pamer
perasaan di media sosial ? apa lagi pamer kegalauan ? tidak ada sama sekali.
Malah bisa jadi merugikan. Dalam hidup tidak semua hal harus kita ceritakan
pada orang lain. Ada hal-hal yang cukup kita dan segelintar orang yang kita
percaya yang mengetahui. Tidak perlu sampai satu negara. Ada hal-hal yang bisa
di-share ada pula yang sebaiknya dirahasiakan.
Lantas bagaimana dengan
orang-orang yang update makanan di restoran, mobil baru, atau berada di
suatu tempat terkenal ? tergantung niat, dek. Kalau niatnya sombong
jelas salah besar. Gak ada dalil yang melegalkan kesombongan. Hanya
Allah yang berhak sombong. Kita mah Cuma makhluk yang tercipta dari tanah. Gak
pantas rasanya bersikap bagai langit yang menjulang.
Tapi, jika niat update
itu bertujuan menampakkan kenikmatan Allah yang ia dapatkan, itu baru
tepat. Saya yakin mbak Ratna Kumala nge-post kura-kura bukan berniat sombong.
Namun begitulah cara dia bersyukur. Allah memberikan amanah kura-kura kepadanya
dan dengan itu ia bisa bahagia. Ia bisa berbagi kepada sesama makhluk. Ia bisa
belajar menyayangi makhluk ciptaan Allah selain manusia. Syukur-syukur
postingan mbak Ratna bisa menginspirasi, itu bisa jadi amal jariyah tak bertepi
untuknya. Bahagia itu sederhana, melihat kura-kuranya sehat saja it’s enough
for her.
Kemarin, kak Yas juga
nge-post fotonya di kampung endersor. Kampung yang kesohor karena trilogi
Laskar Pelangi. Lantas apakah kak Yas sombong dengan nge-post foto-foto
tersebut ? saya fikir tidak. sama seperti mbak Ratna, begitu juga cara kak Yas
bersyukur. Seolah-olah kak Yas berkata kepada kita, lihatlah, betapa Maha Kuasanya
Allah, saya yang hanya anak kampung, dari keluarga biasa-biasa saja, berkat
takdir dan ridho Allah bisa menapakkan kaki di tanah Eropa, man jadda wajada. Bisa
kah hal tersebut kita kategorikan sebagai bentuk kesombongan ? hanya
orang-orang yang berfikir dangkal dan kerap iri hati yang berfikir seperti itu.
Begitupun saya, beberapa
waktu lalu mem-posting beberapa momen di Gumul Kediri. Demi Tuhan penguasa
langit dan bumi. Kami tidak berniat sombong. Namun begitulah cara kami
bersyukur. Kalau bukan karena takdir, rizki, kesehatan, dan kesempatan yang
Allah berikan, kami gak mungkin bisa memijakkan kaki di Eropa KW itu. So
hunuzon, ya adek-adek.
Wa amma binni’mati
robbika fahaddist.
Potongan firman tersebut
cukup menjelaskan kepada kita bahwa menceritakan nikmat Allah adalah boleh
bahkan termasuk perintah. Dengan harapan semoga orang-orang yang kita ceritakan bisa
semakin meningkat keimanannya, menjadi terinspirasi dan terus berhusnuzon pada
Allah SWT. Bukan sebaliknya, men-judge orang lain sombong, jumawa, takabur,
hedonis, atau sejenisnya.
Namun, untuk urusan pamer
kegalauan, pamer kesedihan, pamer kekecewaan pada takdir, bisa kah itu dikategorikan
sebagai pamer kesyukuran ? sampai saat ini logika sederhana saya belum
menemukan pembenaran untuk hal itu. Untuk cari aman, sebelum nge-post sesuatu
di media sosial fikirkanlah dulu akibat dan kegunaannya. Kalau saya posting
kekecewaan ini manfaatnya apa ? apa saya akan jadi lebih baik setelah update
status semacam ini ? atau malah sebaliknya ?
Bagaimana tulisanmu,
begitulah pribadimu. Engkau yang kerap menulis keluhan di facebook bisa jadi
memang hobi mengeluh. Sedangkan engkau yang kerap menulis kesyukuran, semoga
benar-benar menjadi hamba-Nya yang pandai bersyukur. aamiinnn...
Hidup lah dengan mulia,
baik di dunia nyata atau pun maya. ‘Isy Karima...
Jogjakarta, 2
februari 2016
08:32 WIB
King_izzu
Komentar
Posting Komentar