Agar Nafsu Tidak Menjajah



Beberapa hari terakhir saya laiknya ibu-ibu lagi ngidam akut. Bukan buah mangga, naga, apalagi buah cinta yang menjadi objek yang di-ngidam-kan. Melainkan novel terbaru Kang Abik, lanjutan novel beliau yang rilis 2004 lalu. Ayat Ayat Cinta 2. Novel dengan tebal 600 halaman lebih itu dihargakan Rp. 95.000. alhamdulillah setelah menyisihkan selembar dua ribuan – terkadang 2 lembar 2 ribuan – per hari, saya akhirnya bisa membelinya. Untungnya ada diskon. Tahaddust binni’mah.
Bagi saya, membaca karya Kang Abik laksana mendayung samudera hikmah dengan bahtera yang begitu indah. Seperti membaca buku agama secara tidak langsung. Juga terselip pengetahuan tentang sejarah, fiqih, bahkan ekonomi. Saya akui, novel ini berbobot dan patut untuk dibaca penikmat novel. Novel Pembangun Jiwa yang menjadi landmark karya-karya Kang Abik nampaknya tidak berlebihan. Jiwa anda akan tergugah dengan nasihat, quote dari para ulama, parenting dan tentunya, episode demi episode yang menjadi menu utama di dalamnya. Lanjutan kisah Fahri, pemuda Indonesia yang berkecimpung di dunia Internasional. Sangat menginspirasi.
Jiwa ini bagai dicambuk dengan tamparan keras namun mendidik kala membaca kalimat demi kalimat yang Kang Abik tulis. Betapa kita yang mengaku muslim, bahkan kerap bangga dengan ke-islam-an yang ada di KTP dan Kartu Keluarga masih jauh dari ajaran-ajaran agama yang luhur. Mungkin teori-teori agama kita tahu dan pahami dengan baik, namun pengaplikasian dalam kehidupan pribadi maupun sosial yang sangat sulit untuk dilakukan.
Salah satu petikan yang menampar jiwa ini adalah petuah dari Syaikh Utsman, guru talaqqi Fahri di Mesir yang ia ingat kembali, “ sekali nafsu itu kau manjakan, maka nafsu itu akan semakin kurang ajar dan tidak tahu diri ! jangan pernah berdamai dengan nafsu! Sekali kau berdamai, maka nafsu itu akan menginjak harga dirimu dan menjajahmu! Jangan beri kehormatan sedikit pun pada nafsumu. Perlakukan dia sebagai makhluk hina, pengkhianatan yang tidak boleh diberi ampun ”
Saat membaca petikan nasihat ini hingga akhir, percaya atau tidak, saya menutup mata, mendekatkan novel tersebut ke wajah, seakan ingin menutupi diri karena malu lalu beristigfar berkali-kali. Betapa sering diri ini terjajah oleh nafsu, entah nafsu amarah, kebencian, rasa malas, egoisme dan masih banyak lagi. Ampuni hamba, ya rabbi, ampunilah lirih hati.
Kawan-kawan. Kita semua tahu bahwa musuh terbesar kita bukanlah saingan dalam hidup, bukan pula syetan yang tak bosan menggoda, melainkan diri kita sendiri. Hawa nafsu kita sendiri. Semua kita tahu hal itu. Namun kenapa masih banyak yang kalah oleh hawa nafsunya sendiri, termasuk saya, anda, dan kebanyakan orang ?
Syaikh Utsman berujar, sekali hawa nafsu itu kau manjakan, maka nafsu itu akan semakin kurang ajar. Memanjakan hawa nafsu berarti menuruti apa yang ia inginkan. Orang tua yang memanjakan anak-anaknya akan selalu berusaha menuruti apa keinginan buah hati mereka. Meski terkadang yang mereka inginkan tidak ada gunanya sama sekali. Kita sudah maklum bahwa anak-anak yang kerap dimanjakan oleh keluarga mereka akan sulit menjadi sosok yang mandiri. Karena sedari kecil mereka terbiasa menggantungkan keinginan kepada orang lain, dan terbiasa terima enaknya saja. Mau itu, langsung dapat, mau ini, langsung punya. Serba mudah. Sehingga apabila barisan anak-anak manja itu disuruh untuk mandiri niscaya mereka akan kesulitan. Ia tidak akan menjadi tangguh karena tidak pernah ditempa oleh kerasnya hidup.
Begitupun hawa nafsu, jika kita memanjakannya dengan mengeksekusi apa yang ia sugestikan maka ia akan terus-menerus menjajah tiada henti. Sebagai contoh sederhana, saya ingin membiasakan diri belajar setiap malam selama dua jam. Namun sebelumnya saya tidak pernah melakukannya. Tentu di awal-awal akan terasa begitu berat. Baru 15 menit waktu berjalan rasa bosan pun menggoda. Kalau bosan sudah menyapa yang tadinya segar bugar seketika berubah menjadi ngantuk berat bagai diberi obat tidur dosis tinggi. Ketika rasa bosan itu saya turuti apa yang akan terjadi ? saya akan menutup buku sembari mencari pembenaran ah, lagi gak mood belajar, percuma kan belajar kalau gak ada gairah,gak ada yang masuk ke otak, ntar aja kalau mood udah balik baru saya belajar lagi. Belajar pun gak jadi karena menuruti hawa nafsu berupa kebosanan yang melanda. Di malam selanjutnya saya pasti akan melakukan hal serupa, bahkan bisa jadi lebih parah lagi.
Ada juga orang yang hendak menghafal al qur’an. Di hari pertama pasca mendeklarasikan semangatnya menghafal ia akan berusaha sekuat tenaga. Namun lambat laun rasa jenuh mulai mendera. Istiqomah muraja’ah pun tercoreng. Rasa bosan itu wajar, pilihan ada di tangan kita, apakah kita akan memanjakan rasa bosan itu atau melawannya ?
Nafsu menjajah kita bukan tanpa sebab. Kitalah penyebab utamanya. Karena kita membiarkan diri, hati, dan fisik mengeksekusi sugesti yang diberikan oleh hawa nafsu sendiri. Ibarat sepak bola, bagai kiper yang memberi bola secara Cuma-Cuma kepada striker lawan dalam kotak finalti.
Hal yang saya rasa patut untuk kita pertanyakan juga adalah, kok bisa kita dengan mudah memanjakan hawa nafsu tanpa sadar ? bismillah, semoga jawaban saya mengandung kebenaran. Yang membuat kita membiarkan nafsu menjajah hati dan perbuatan adalah kerapuhan iman. Iman lagi lemah saat nafsu melanda. Lah, masalahnya, nafsu itu kan gak kenal tempat dan waktu untuk me-request permintaan buruknya ? benar sekali, maka kita harus berusaha memegang teguh keimanan dimanapun dan kapanpun.
Tapi, mas, iman itu kan fluktuatif, kadang naik, kadang turun, kita manusia biasa, jadi wajar lah kalau iman kadang-kadang lemah. Hati-hati, sepintas statmen ini mengandung kebenaran. Tapi kritis lah sahabat, apa ada ayat atau dalil yang melegalkan kerapuhan iman ? tidak ada. Memang benar iman kita kadang naik kadang turun, itu kata nabi dalam sebuah hadits. Namun nabi bersabda demikian bukan bertujuan agar umatnya selo saat iman mereka rapuh kemudian bergumam, ah, ntar juga iman saya naik kok. Bukan itu tujuan nabi. Di hadist lain terdapat banyak sekali perintah untuk mempertahankan dan menjaga keimanan. So, berusaha menjaga keimanan, bahkan meningkatkan keimanan mutlak harus dilakukan kapan dan dimana saja. Nabi bersabda demikian bisa jadi bertejuan agar umat beliau dapat mengantisipasi diri saat merasakan keimanan dalam hatinya tengah menurun.
Di sela-sela menunggu hujan reda di sebuah masjid saat masih di Pare. Saya pernah mendiskusikan hal ini dengan seorang sahabat, kebetulan ia alumni salah satu pondok paling terkenal di Indonesia. Saat itu saya melontarkan dalil, al iman yazid wa yanqus, keimanan itu bertambah dan berkuang. Ia mengangguk setuju sembari mengulangi dalil yang saya ucapkan tadi, na,am, al iman yazid wa yanqus. Yazidu bitto’ah wa yanqus bilma’shiyah, iya, benar, iman bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Mendengar kalimatnya seketika saya tersadar akan sebuah teori. Ada tentu pernah dengar quote yang mengatakan, jangan tunggu diri anda menjadi orang baik kemudian memberikan kebaikan, tapi berikan dan tebarkanlah kebaikan, niscaya anda akan jadi orang baik. Begitupun dengan keimanan, saudara-saudara, jangan tunggu iman naik kemudian beribadah, tapi beribadah lah  niscaya imanmu akan meningkat. Kalau iman sudah meningkat insya Allah, semoga kita cukup kuat dan tangguh untuk melawan hawa nafsu, membentengi diri agar tak terjajah olehnya.
Hidup sekali, hiduplah dengan mulia, ‘Isy Kariima ...

Jogjakarta, 4 Februari 2016
08:01 WIB

Komentar

  1. Menampakkan kehinaan diri adalah obat nafsu (TGKH M Zahid Syarief)

    BalasHapus
  2. afwan, bisa dijelaskan lebih lanjut ustad ? untuk pencerahan dan ilmu baru bagi kami.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer