Menikahlah Dengan Suamiku ( 3 )



“ Jadi kamu cerai sama Fauzan ? ” Zara terbelalak.
Nita mengangguk. Menunduk. Zara masih dalam keterkejutannya. Bagaimana bisa mereka bercerai hanya dua bulan pasca menikah. Yang lebih ia tak sangka lagi bagaimana bisa Fauzan mengkhianati cinta Nita. Teman baiknya yang ia tahu memiliki kesetiaan tiada dua.
Orang tua mereka tahu perceraian itu. Namun Nita sadar diri, ia tak ingin membuat malu keluarga besarnya di Indonesia. Bermodal nekat ia minggat ke Prancis. Menumpang beberapa bulan di flat sepupunya sampai memperoleh pekerjaan. Pahit manis hidup seorang diri di Eropa telah ia rasakan. Bekerja dari satu tempat ke tempat lain. Ia juga menabung. Sampai akhirnya berhasil menyelesaikan studi master Ekonomi di salah satu universitas di Paris. Seoptimal mungkin ia menyibukkan diri agar bisa move on dari perihnya masa lalu.
“ Itu kejadian hampir 20 tahun lalu, tapi sewaktu menceritakannya kamu masih menitikkan air mata. Apakah kamu belum bisa melupakan Fauzan ? ” tanya Zara menyelidik dengan nada sesopan mungkin.
Nita menggeleng. Tidak. Bukan lelaki kurang ajar itu yang tidak bisa ia lupakan. Tapi sakit dan luka yang ia rasakan yang masih saja membekas dan mengungkung hidupnya sampai saat ini. Perihnya menjadi janda. Sekali lagi Nita menggeleng.
“ Tidak. aku sudah melupakannya. Hanya saja kenangan pahit itu masih terus membekas ” lirih Nita.
Zara memeluk sahabatnya itu. Pundaknya hangat oleh air mata kesedihan. Oh Tuhan. Kenapa Kau uji Nita seberat itu. Dia gadis baik. Ah, tapi bukankah semakin baik derajat manusia di sisi-Nya semakin berat pula ujian yang akan ia terima. Semoga Nita termasuk orang-orang yang sabar dalam menghadapi ujian-ujian hidup.
Apa yang menimpa Nita membuat Zara tersadar. Keinginan memiliki momongan telah membuatnya terlena untuk bersyukur. Benar memang. Dalam hidup kita lebih banyak memikirkan apa yang belum atau tidak kita miliki. Membuat kita abai dengan ribuan nikmat yang telah Allah titipkan.
Seperti yang Zara dapatkan. Kehidupan rumah tangga yang tentram. Harta berkecukupan. Keluarga yang harmonis. Dan tentunya suami yang setia. Tak pernah sedetik pun Ihsan mengkhianati cintanya. Meskipun ia tak bisa memberi keturunan, Ihsan masih setia dengan rasa dan sikap yang sama. Sejak awal mereka mengikrarkan janji suci hingga sekarang, 17 tahun lebih usia perkawinan mereka.
Pagi itu ditemani 2 teh hangat yang masih mengepul, Nita dan Zara larut dalam perbincangan panjang. Mereka lebih banyak bertukar cerita. Termasuk permasalahan pelik yang pernah dan sedang mereka hadapi. Pagi itu juga. Saat matahari semakin meninggi. Awan putih mulai berarak menyebar di teras langit. Ketika gerombolan burung gereja berceloteh riang. Hinggap di dahan pohon. Menggelayut dengan gagah. Lalu kembali terbang. Bermain dengan sahabat-sahabatnya. Zara menumpahkan gejolak bathin yang ia rasakan 2 tahun terakhir. Semuanya, tidak ada yang tersisa. Ia percaya pada Nita.
Nita mendengar dengan hati meleleh. Sebagai wanita ia tahu benar perasaan Zara. Meskipun belum pernah memiliki anak – pasca bercerai dengan Fauzan ia tak pernah menikah lagi – tapi ia paham betul kebahagiaan terbesar seorang wanita adalah menjadi ibu. Dan kebahagiaan itu yang seolah tak pernah mau datang menghampiri Zara. Padahal dokter mengatakan Zara dan Ihsan sehat-sehat saja.
“ Ihsan gak pernah menuntut atau protes, tapi aku tahu ia mendambakan kehadiran anak. Lelaki mana yang tidak ingin dikaruniai keturunan, Nit ? lelaki mana? ” suara Zara serak.
Nita menggenggam erat tangan lembut sahabatnya itu. Ia bisa merasakan kepiluan yang mendera Zara. Tekanan bathin. Bahkan bisa jadi, stres yang terkamuflase senyum paksaan beberapa tahun terakhir.
“ Ingin aku protes pada Allah. Apa yang kurang dari kami ? Kami tak pernah mengabaikan perintah-Nya. Bahkan setiap bulan puluhan juta kami infaqkan untuk masjid-masjid dan anak-anak yatim. Tapi kenapa Allah tak memperkenankan kami memiliki an... ”
“ Stt... kamu gak boleh ngomong gitu Za, gak boleh. Istigfar ! istigfar ! ” Nita memotong. Memeluknya dengan erat. Ingin ikut merasakan kegetiran yang telah lama mengungkung perasaan.
“ Ya Allah, Astagfirullahal’adzim ” lirih Zara. Suaranya tenggelem oleh isakan kesedihan.
Beberapa saat hening. Hanya derai airmata dan sesenggukan yang bicara.
“ Kamu tahu kenapa Allah mengujimu dengan cara seperti ini, Za? ” lirih Nita. Zara masih terisak. Meskipun mendengarkan pertanyaan Nita namun seluruh tenaga dan konsentrasinya tengah dijajah nelangsa.
“ Karena kamu kuat. Kamu mampu. Kamu wanita hebat. Allah tidak mungkin mengujimu jika kamu gak mampu. Begitupun aku. Aku tahu aku mampu menerima ujiannya dengan rumah tangga yang berantakan, makanya aku menerima semuanya dengan sabar dan berusaha lapang dada. Kamu tahu ? istri seorang nabi Ibrahim pun pernah diuji dengan hal serupa. Siti Sarah. Ia wanita hebat. Istri nabi yang ma’shum. Begitupun kamu. Kamu kuat, Za. Kamu kuat. Tetaplah bersabar dan jangan pernah berburuk sangka pada-Nya lagi ”
Zara mendengar dengan seksama nasihat Nita. Nasihat itu seumpama partikel mungil di udara yang merasuk lewat telinga. Menyusup melalui celah-celah kecil organ dalam tubuh. Terus mengambang hingga mendarat dengan mulus di hati Zara yang tengah berkecamuk. Menentramkan, membuat Zara lebih tenang dan sabar dari sebelumnya. Istigfar lirih terucap dari bibir tipisnya. Tidak pantas ia protes pada Allah yang telah memberinya banyak hal. Semoga Allah mengampuniku gumamnya dalam tangis.
“ Nita, aku boleh minta tolong padamu ? ”
“ Katakanlah, Za. Aku pasti bantu ”
“ Semoga ini tak memberatkanmu. Aku tulus memohon bantuanmu untuk hal ini. Aku yakin kamu bisa. Masalahnya kamu mau atau tidak
“ Jika aku bisa membantumu aku pasti bantu, Za. Kamu sahabat terbaikku ”
“ Iya, aku tahu itu. Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaikku selama ini, Nit ” Zara kembali merajuk dan memeluk Nita.
“ Jadi apa yang bisa aku bantu? ” tanya Nita menyelidik.
“ Ehm, aku mohon kesedianmu. Demi diriku. Orang yang kau anggap sahabat terbaik. Aku mohon.... Menikahlah dengan mas Ihsan !! ”
Nita terkejut bukan main. Ia sama sekali tak menyangka Zara akan memintanya melakukan itu. Menikah dengan suami sahabatnya sendiri ? menjadi istri kedua ? menjadi madu dari sahabatnya. Tidak mungkin. Ia tidak bisa. Ah, sebentar. Siapa tahu Zara hanya bercanda. Membuatnya terkejut lalu kemudian tertawa karena berhasil mengerjainya. Bukankah Zara selain baik juga terkenal jahil.
“ Kamu jangan becanda, Za. Itu gak lucu sama sekali. Katakanlah apa yang sebenarnya bisa aku bantu? ”
“ Aku gak becanda, Nit. Lihat aku. Lihat wajahku. Tatap mataku. Adakah wajah main-main dalam dirku? ” pinta Zara penuh arti.
Nita menunduk. Tak kuasa menahan kecamuk hati.
“ Tidak. tidak bisa, Za. Maafkan aku ” Nita menggeleng.
“ kenapa gak bisa ? kamu takut menyakiti aku ? sungguh aku tak sakit hati, Nit. Aku tulus memintamu melakukannya. Aku rela jika mas Ihsan menikahimu. Kita sudah kenal satu sama lain. Aku mempercayaimu. Aku rela Nit, aku rela ”
“ Aku gak mau menghancurkan persahabatan kita, Za, aku...”
“ Kata siapa persahabatan kita akan hancur ? kata siapa ? kamu tahu aku sudah mengizinkan mas Ihsan poligami. Andai diberikan pilihan, mas Ihsan menikahi kamu atau wanita lain aku lebih ikhlas ia menikahimu. Menikahi sahabat terbaikku. Persahabatan kita gak akan hancur ”
“ Atau kamu enggan menjadi istri kedua, Nit ? ”
“ Tidak. bukan begitu..”
“ Lantas ? ”
Nita terdiam seribu bahasa. Sekali lagi air mata yang bicara. Nita tahu Zara memintanya dengan ikhlas. Tapi apakah ia bisa. Apakah ia mampu. Sungguh kecamuk ini membuatnya gamang.
“ Kamu gak perlu jawab sekarang, Nit. Pikirkanlah. Tapi aku mohon, jangan kecewakan sahabatmu ini. kau tahu ? aku sangat bahagia menikah dengan mas Ihsan. Ia pria yang penuh cinta dan bijak. Ia akan belajar mencintaimu. Ia akan berusaha berlaku adil. Kami sudah sepakat sejak dua tahun yang lalu ”
“ Pikirkanlah, Nit. Maafkan aku jika ini memberatkanmu ” Kembali dua sahabat itu berpelukan. Dua kupu-kupu mengintip tidak jauh dari mereka sembari menggelayut di taman bunga. Berpindah dari satu bunga ke bunga lain. Sayapnya indah mengepak. Begitu anggun. Meliuk-liuk sempurna. Bermain-main di udara bebas. Menikmati kebahagiaannya sebagai ciptaan Tuhan. Saat Nita dan Zara masih berpelukan. Saat kupu-kupu yang indah itu masih khusu’ memeluk bunga. Dua ekor mata memperhatikan mereka. Mata itu sembab. Bulir-bulir mulai mengalir. Satu dua detik kemudian terjun bebas menitik mencium tanah. Merembes di serap perut bumi. Tangannya mengusap sendiri air matanya. Ya Allah, berikan hidayah-Mu kepada kami semua. Lirih Ihsan dalam hati.

Jogjakarta, 19 Februari 2016
17:58 WIB

Komentar

Postingan Populer