Entah Sampai Kapan



Angin berhembus lembut. Seakan membisiki syair-syair merdu. Udara pagi itu seolah melantunkan nada-nada penuh cinta. Sepasang burung gereja nampak memadu kisah di dahan pohon tak jauh disana. Ah, betapa romantisnya mereka. Dedaunan melambai-lambai bersorak sorai menyambut mentari yang perlahan mulai beranjak dari peraduan. Rumput masih lembab oleh embun yang turun sepanjang malam. Sisa-sisa kesegaran tasbih pagi masih sangat terasa oleh segenap panca indra. Pagi yang menyejukkan. Tasbih alam menggema memuliakan Tuhan mereka.
Cahaya matahari mulai mengintip dari balik bukit. Langit pun tersenyum menyambut datangnya hari. Semakin lama semakin banyak burung camar bermain di angkasa dengan riangnya. Celoteh mereka sampai ke telinga. Satu burung seperti bermain kejar-kejaran dengan burung yang lainnya. Meliuk-liukan tubuh mereka seakan berlomba unjuk kebolehan siapa yang paling hebat dan profesional mengudara. Mengepakkan sayap tanpa lelah. Begitulah cara mereka bersyukur.
Sosok lelaki bersarung kotak-kotak dan mengenakan kaos salah satu tim sepak bola benua biru itu tak ingin kalah oleh makhluk lain. Dalam hati ia menggumamkan tasbih dan tahmid, subhana Allah walhamdulillah, Subhana Allah walhamdulillah. Betapa indah ciptaan Tuhan. Sebagus apapun karya dari tangan maestro pelukis terhebat dunia rasanya tak mampu menginterpretasikan dengan sempurna keindahan pagi ini hatta dengan kuas terbaik. Fnisaayyi alaa irobbikuma tukazziban. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak kau dustai ?
“ Alif!! ” sebuah suara mengagetkan lelaki bersarung itu. Ia menoleh ke asal suara.
“ Eh, Nisa. ” serunya sedikit kikuk.
Wanita berjilbab ungu yang tadi memanggil namanya itu berdiri di samping Alif. Kini mereka sejajar. Sama-sama memandang ke arah bukit. Menyaksikan keindahan sunrise yang mulai melukis langit. Angin sepoi masih berhembus meniup sekujur tubuh.
“ Kamu gak kedinginan, nis ? ”
“ Gak. Ini sejuk loh. Beda sama di kota ” Wanita itu menggeleng. Menyedekapkan kedua tangan di depan dada.
“ Yakin ? jangan sampai kamu hipotermia disini terus mati. Kita kan belum sempet selfie di ujung bukit sana ” Alif tersenyum. Jarinya menunjuk kejauhan.
“ Tenang saja, aku kuat kok. Lagian aku suka suasana kayak gini. Sejuk, sejauh mata memandang hanya hamparan kehijauan  yang terlihat. Gak ada suara bising knalpot kendaraan, apalagi keangkuhan kaum hedonis. Sunyi. Sepi alam desa. Aku suka. ” Nisa tersenyum memandang sekelilingnya.
Alif menatap Nisa tanpa diketahui olehnya. Wajah gadis berjilbab ungu itu mulai diterpa sinar mentari pagi. Kulitnya yang putih bersih seperti mengucapkan ahlan wa sahlan pada cahaya matahari pagi. Di hadapan sunrise Nisa semakin anggun dalam pandangan Alif. Hatinya berdesir hebat. Seandainya..
“ Hei ! Jangan ngelamun ! ” Nisa membuyarkan lamunan Alif. Ia tertawa dan menunduk.
“Pagi-pagi udah ngelamun. Kalau kamu kesurupan terus syetannya betah dalam tubuhmu gimana kita mau selfie di ujung bukit sana? ” Lanjut Nisa.
“ Tenang ! Syetan takut sama aku ” Alif tertawa. Nisa pun tertawa lalu menunduk.
“ Makasih ya nis, kamu udah bersedia aku ajak berlibur ke desa yang sederhana ini ” kata Alif seraya menatap jauh ke depan.
“ Aku yang harus bilang makasih sama kamu, Lif. Makasih udah ngajakin aku liburan. Tempat ini benar-benar nyaman. ”
Dua anak manusia itu terlibat perbincangan hangat ditengah dinginnya pagi mencengkram tubuh. Sesekali mereka tertawa, tersenyum, kadang juga salah satu dari mereka cemberut karena dibully. Ada getaran halus merasuk dalam tubuh Alif setiap kali berdekatan dengan sahabatnya itu. Getaran yang tak ia rasakan kala berinteraksi dengan wanita lain. Ia tak tahu apakah itu cinta atau bukan. Tapi ia bisa pastikan bahwa ia menyukai Nisa. Ya, menyukai sahabatnya sendiri. Menyukai dalam diam.
“ Anggap saja ini hadiahku atas wisudamu ” kata Alif. Kini mereka berjalan beriringan membelakangi bukit. Nisa tersenyum mendengar penuturan Alif. Namun Alif tak bisa melihatnya karena wanita itu menunduk.
“ Maaf gak sempat hadir waktu kamu wisuda, aku ada kegiatan yang gak bisa ditinggal di kampus ” lanjut Alif
laa musykilah, ana afham1
Mereka terus melangkah menapaki jalan tanah khas pedesaan. Pagi itu aktifitas penduduk desa pun mulai menggeliat. Mereka berpapasan dengan beberapa petani yang membawa cangkul dan peralatan lainnya. Caping di kepala menambah kegagahan. Meskipun mereka tak seganteng artis-artis ibu kota. Namun di hadapan malaikat Allah bisa jadi mereka lebih mulia dari orang-orang yang setiap hari mengisi layar kaca. Allah tidak memandang fisik, status sosial, apalagi kelas ekonomi. Melainkan hati dan perangai. Percuma kaya raya kalau hati kotor. Tak ada gunanya harta melimpah namun perangai lebih busuk dari sampah.
Alif mengajak Nisa untuk istirahat sejenak di sebuah gazebo di pinggir jalan yang bersebelahan dengan sawah. Sebenarnya rumah sepupu Alif tempat mereka tinggal selama berlibur di Desa ini tidak terlalu jauh. Tinggal melanjutkan perjalanan selama 5 menit mereka akan sampai. Namun pagi itu mereka putuskan untuk istirahat sejenak. Menikmati geliat hidup orang-orang desa. Juga alamnya.
Sebagai orang kota, hamparan sawah, pegunungan, juga bukit menjadi barang tabu bagi Nisa. Padahal Nisa sangat menyukai spot-spot yang hijau macam pegunungan atau bukit. Alif tahu sekali hal itu karenanya ia mengajak Nisa berlibur selama sehari di desa tempat sepupunya tinggal. Desa itu terletak di kaki gunung. Meski begitu, sinyal Handphone tidak perlu dikhawatirkan. Beberapa provider telah mendirikan tower-tower yang tidak jauh dari sana.
Mereka duduk saling berhadapan dengan jarak 2 meter. Barisan bebek yang tengah dibimbing oleh pengembalanya menuju sawah menarik perhatian mereka. Lihatlah, bebek yang tak belajar PPKn saja bisa hidup tertib, kenapa manusia masih banyak yang tidak bisa ? akankah bebek lebih baik dari manusia ? Hari gini gak  bisa antri ? Malu sama bebek.
“ gimana rencana kamu selanjutnya ? melanjutkan S2, mencari pekerjaan atau menikah? ” tanya Alif.
“ aku belum tahu, tapi aku ingin melanjutkan S2 kalau dapat beasiswa, semoga ada rezeki ”
“ aamiin. Yang penting kamu berusaha, nis. Semangat ! ” Alif menatap Nisa penuh keyakinan
“ Insya Allah, Lif. Kamu juga semangat ! kapan wisuda ? ”
“ Kalau gak ada perubahan, kemungkinan 2 bulan lagi, nis ”
“ Cie yang bentar lagi jadi sarjana, selamat ya. ”
4 tahun yang lalu adalah awal perjumpaan Alif dan Nisa. Mereka sama-sama menjadi mahasiswa baru di perguruan tinggi yang sama. Awalnya mereka hanya teman biasa. Namun lambat laun, dalam hati Alif muncul perasaan yang tak biasa. Ia memandang Nisa berbeda dengan wanita lainnya. Ada kebahagian yang ia rasakan tatkala dekat dengan Nisa. Sayup-sayup getaran bahagia itu terus menyusup ke dalam hatinya. Namun ia tetap berusaha meredam perasaan itu. Nasihat sang ibu yang membuatnya begitu. Disaat kamu menyukai seorang wanita, jangan langsung mengungkapkan atau mengincarnya, siapa tahu itu hanya suka biasa, jangan permainkan perasaan wanita dengan suka sesaat. Tapi bisakah rasa suka selama 4 tahun yang tak kunjung pudar ini disebut suka sesaat ?.
Iya, sejak 4 tahun yang lalu pula ia mulai jujur pada dirinya sendiri. Ia menyukai Nisa. Menyukainya tanpa sepengetahuan orang lain. Selama 4 tahun memendam rasa itu juga, Alif benar-benar merasakan kecamuk bathin yang begitu kompleks. Tatkala bahagia ia akan bersorak sorai dalam hati. Namun tak jarang ia kerap cemburu dalam diam saat Nisa dekat dengan lelaki lain. Ia tahu sekali perjuangan membohongi diri. Tersenyum saat hati terluka. Betapa munafik dirinya dan tidak ada yang mengetahuinya sama sekali.
Meskipun setahun semenjak menjadi mahasiswa baru Nisa memutuskan pindah ke Universitas lain. Rasa suka dalam diri Alif untuk Nisa sama sekali tak sirna. Alif tak pernah sengaja memupuknya agar tumbuh subur. Namun semuanya terasa begitu alami. Mengalir bagai air di sungai Nil. Alif hanya bisa terus bersabar dan menahan diri. Menyukai dalam diam. Mengagumi dalam sepi.
“ Nis, aku mau tanya boleh ? aku Cuma mau tahu tapi kamu harus jawab jujur, kita kan sahabat ! ”
“ Iya, Insya Allah. Mau tanya apa ? ” Nisa menatap Alif penasaran
“ Ehm,..” Alif kebingungan merangkai kata. Nisa dengan sabar menanti apa yang akan sahabatnya itu tanyakan.
 “ kamu, kamu pernah suka gak sama seseorang? ”
“ Eh ” Nisa gelagapan mendengar pertanyaan yang sama sekali tak disangkanya.
“ Iya, Kamu pernah suka sama cowok gak ? ” Alif mengulangi pertanyaannya. Kali ini dengan nada lebih mantap, suaranya tidak bergetar lagi.
“ Hm, kok tanya gitu? ” Nisa menyelidik.
“ Gak apa-apa. Aku Cuma mau tahu ”
“ Ehm, Iya, pernah ” jawab Nisa diiringi pipinya yang memerah.
Alif berusaha menampakkan senyum diwajahnya. Padahal hatinya terisak-isak. Ia sudah biasa seperti itu. Namun kali ini yang ia rasakan lebih ekstrem lagi. Kecewa dalam diam. Dalam hati ia terus berisitgfar dan beristigfar.  Ia kini harus menerima kenyataan. Orang yang ia cintai dalam diam yang selama ini ia kenal belum pernah memiliki hubungan dengan siapapun ternyata menyimpan rasa untuk seseorang. Oh Tuhan, inikah rasanya saat asa bertepuk sebelah tangan?.
“ Ciee, aku boleh tahu siapa orangnya? ” tanya Alif lagi. Nisa sama sekali tidak tahu dibalik cie tersebut ada api cemburu yang tengah tersulut. Nisa menggeleng dua kali lalu membuang pandangan ke arah lain. Ia tersenyum penuh rahasia.
Seandainya dia tahu aku menyukainya dari dulu. Seandainya ia tahu betapa sering aku cemburu dibuatnya. Seandainya dia mengetahui aku kerap bangga dibuatnya. Seandainya ia tahu betapa kecewanya aku hari ini. seandainya ia tahu, tahu semuanya. Ya Allah, sabarkan aku. Jangan sampai perasaanku ini membutakanku. Ampuni jika apa yang kurasakan ini termasuk menzholimi diri. Kuatkan ya rabb. Lirih Alif dalam hati.
Di sudut hati yang lain. Di hati gadis berjilbab ungu itu tengah membuncah semai-semai bunga cinta. Pipinya merah merona menambah keindahan wajah. Namun hatinya terasa jauh lebih indah. Dan hanya ia yang tahu kenapa keindahan itu masuk menghangatkan jiwanya di pagi yang dingin. Seandainya kamu tahu, kamulah orangnya, Alif. Lirih Nisa dalam hati. Tentu Alif tak bisa mendengarnya.
Sepasang kupu-kupu hinggap di salah satu bunga yang tengah mekar. Sayap-sayapnya indah berwarna-warni. Mereka meminum saripati dengan penuh kesyukuran. Lalu terbang kembali meninggalkan dua anak manusia yang saling memendam rasa dalam diam itu. Memendam entah sampai kapan.

Jogjakarta 10 Februari 2016
23:05 WIB

Komentar

Postingan Populer