Buah Kesabaran ( 4 - Habis )



Suasana dalam peron itu lumayan sepi. Sebagian besar penumpang sudah turun di beberapa stasiun transit sebelumnya. Kini kereta melesat menuju rute terakhir. Sebuah kota di ujung timur pulau Jawa. Di luar gerimis menjuntai perlahan. Membuat kaca kereta basah dan lembab. Hamparan sawah membentang sejauh mata memandang. Hijau menyegarkan. Simbol kehidupan petani yang sederhana namun pada hakikatnya sangat berjasa.
Bayangkan seandainya seluruh petani di Indonesia, bahkan dunia, kompak mogok bercocok tanam. Mau makan apa kita ? khususnya negara-negara dengan makanan pokok dari hasil pertanian. Sayang pemerintah belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Masih banyak diantara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Para anggota dewan dan pimpinan acuh tak peduli. Mereka hanya akan peduli kala ada maunya. Ada gajah di balik batu. Batunya hilang gajahnya datang. Saat kepentingan telah terpenuhi mereka akan kembali asyik duduk di kursi panas sementara para petani terus berpanas-panas setiap hari demi menyambung hidup.
Kereta terus melaju. Untuk kesekian kalinya melewati persawahan. Kebun-kebun. Pepohonan yang seakan berlari saling mengejar. Atap rumah warga nampak kecoklatan dari dalam peron. Beberapa penumpang mulai berkemas. Menyeringai. Menenteng bawaan mereka. Ada juga yang menggeliat. Baru tersadar dari tidurnya. Seorang ibu dengan cekatan menggendong bayi mungilnya. Mendekap dengan penuh kehangatan. Seakan tak ingin anaknya kedinginan oleh AC peron  kelas ekonomi ini. Ihsan tersenyum melihatnya. Ibu itu pasti bahagia dikaruniai momongan. Akankah kami segera mendapat momongan juga ? bathin Ihsan. Matanya memandang jauh ke luar. Menerawang. Pikirannya melayang dibawa terbang oleh asbtraknya kecamuk pikiran.
Dari speaker petugas kereta telah mengumumkan beberapa menit lagi kereta akan tiba di stasiun tujuan. Stasiun terakhir yang menjadi rute kereta tersebut hari ini. Ihsan bersiap. Ia merogoh kantong baju. Mengecek Handphone dan dompet. Tas berisi beberapa perlengkapan sudah tergeletak di samping sepatu fantopelnya. Meski mampu membeli tiket pesawat terbang kelas bisnis, Ihsan lebih memilih menumpang kereta api kelas ekonomi. Baginya, kereta api adalah sarana transportasi paling asyik. Sejak di bangku kuliah ia senang menyaksikan kereta api melintas. Baginya bukan nongkrong di kafe atau sturbuck yang bikin seru. Cukup melewati malam sembari menikmati angkringan plus teh hangat di pinggir rel kereta api sudah membuatnya rileks. Sudah lama ia tak melakukannya. Bagaimana bisa ia nongkrong di pinggir rel kereta kalau setiap hari terus sibuk dengan urusan-urusan kantor. Untuk mengobati kerinduan akan momen itulah mengapa ia memilih menumpang kereta api.
Saat kereta telah berhenti dengan sempurna Ihsan turun menuju pintu stasiun. Berdiri tepat di samping mushola. Ah iya, dia belum sholat Zuhur dan asar. Saatnya men-jama’ takhir solat. Setelah mengambil air wudu’ dengan penuh ta’zhim, takbiratul ihram ia kumandangkan. Sejurus kemudian larut dalam kesyahduan beribadah. Malaikat di samping kanannya sibuk mencatat amal yang Ihsan lakukan.  Tersenyum. Aduhai, andai kalian bisa menyaksikannya, setiap kali berbuat baik berarti seulas senyum dari malaikat. Bahkan untuk beberapa kebaikan dan amal perbuatan malaikat tak hanya senyum namun juga memberi shalawat, mendoakan mereka, hamba-hamba terbaik. Para malaikat akan sangat antusias kala diberi titah mengawal hamba-hamba pilihan Allah. Menjaga mereka. Merahmatinya. Rahmat yang hanya akan dirasakan manisnya kelak di akhirat.
Usai sholat dan melantunkan do’a, Ihsan keluar dari mushola kecil itu. Beberapa saat kemudian Hpnya berdering. Ada pesan. Ia buka. Tertulis di layar smartphone mas Ihsan sudah dimana ? saya menunggu di depan. Dekat warung makan. ia balas SMS itu dengan mengatakan bahwa dirinya sudah tiba dan akan segera menuju ke tempat yang dimaksud. Ihsan pun melangkah setelah sebelumnya melafadzkan bismillah. Dalam derap langkahnya teruntai tawakkal tak terkira pada Sang Penguasa Semesta. Apa yang Dia kehendaki adalah takdir terbaik.
“ Mas Ihsan ya ? ” bahunya disentuh dari belakang. Ihsan balik badan.
“ Iya. Anda mas... mas..”
“ Perkenalkan, nama saya Bejo, mas ” lelaki yang lebih pendek dari Ihsan itu mengulurkan tangan
“ Ah, iya, mas Bejo, saya baru ingat ” Ihsan terkekeh. Menyambar uluran tangan Bejo.
“ Mari mas barangnya saya bawakan. Mobil saya parkir di dekat sini kok ”
Bejo melangkah di depan. Dari belakang Ihsan mengikuti. Beranjak malam aktifitas di stasiun itu masih ramai. Para penjual menjajakan barang dagangan. Segenap calon penumpang kereta termangu menunggu. Petugas tampak sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Seorang ibu-ibu berpakaian lusuh menggendong anaknya yang masih balita menghampiri. Tangannya menjulur menggengam toples kecil. Ihsan dan orang lain tentu tahu maksud ibu itu apa. Teori semiotik. Ah, walaupun ibu itu bisa jadi tidak pernah belajar semiotik namun ia mengaplikasikannya dengan baik. Itu kode meminta uang. Ah, lebih tepatnya mengemis.
Dari dalam dompet Ihsan menarik satu lembar Rp. 100.000 lalu meletakkannya dalam toples di tangan si ibu. Bukan main terkejutnya ibu itu. Ia langsung menunduk-nunduk di hadapan Ihsan. Berterima kasih meski bisa dikatakan agak anarkis.
“ Terima kasih banyak, Bapak. Terima kasih. Semoga Allah melancarkan urusan bapak. Memudahkan kesulitan. Memberkahi kehidupan bapak. Dan membahagiakan keluarga bapak ”
“ Amiinn ” Ihsan tersenyum lalu melangkah meninggalkan pengemis yang masih terharu mendapat uang sebanyak itu.
Bagi mereka yang memiliki harta berlimpah seratus ribu mungkin nominal yang kecil. Namun bagi mereka yang kurang beruntung, nominal itu teramat besar dan berharga. Ah, ketimpangan sosial di negeri ini sudah jadi hal biasa. Tapi bagi segelintir orang ketimpangan itu justru jadi keuntungan. Yups, ketimpangan sosial itu yang mereka jadikan senjata utama menjatuhan lawan politik, utamanya mereka yang incumbent. Alibi mendepak penguasa dan merebut kekuasaan. Maka jangan heran banyak yang jadi gelandangan di lumbung emas sendiri.
Mobil kijang kapsul itu melaju meninggalkan stasiun. Bejo mengemudikan dengan kecepatan sedang. Ihsan duduk di belakang. Menggeliatkan tubuh. Paling tidak jok mobil ini lebih luas dari kursi kereta api tadi.
“ Bagaimana perjalanannya, mas ? ” Bejo memecah keheningan
“ Alhamdulillah lancar mas, eh tapi ngomong-ngomong kok mas bisa tahu saya Ihsan? ”
“ La ini ” selorohnya seraya menunjukkan foto ukuran 3R. Itu fotonya.
“ Mbak Nita yang memberikan ”
Demi mendengar nama Nita, Ihsan termangu. Hari ini tepat 2 bulan pasca istrinya meminta kesediaan Nita menikah dengannya. Nita memang menolak namun demi melihat kesungguhan di raut wajah Zara, Nita pun akhirnya luluh. Mungkin jika ia menikah dengan Nita Zara akan tersakiti, namun Zara akan lebih sakit jika ia tidak menikah dengan Nita. Entah kenapa istrinya itu begitu antusias. Ah semoga bukan sesuatu yang buruk.
Astaga, ia belum mengabari Zara bahwa ia sudah sampai dengan selamat. Spontan Ihsan merogoh HP di kantongnya dan menghubungi nomor telpon Zara.  Istrinya tercinta.
***
Di  atas pendopo sebuah rumah yang lebih mirip villa. Beratap ilalang. Di kelilingi hamparan kolam ikan dan persawahan, Ihsan, Nita, dan seorang lelaki paruh baya duduk setelah menikmati santap pagi. Lelaki itu adalah mas Gusman, kakak tertua Nita. Orang tua mereka sudah tidak ada. Dan hari itu Ihsan datang untuk melamar Nita atas keinginan istrinya. Istrinya tidak bisa ikut karena sudah dua hari ini tidak enak badan. Walhasil, Ihsan pun datang sendiri. Beberapa saat kemudian mas Gusman angkat bicara.
“ Sungguh aku tak menyangka takdir akan menjadi seperti ini. tapi aku selalu yakin apa yang Allah kehendaki adalah yang terbaik untuk seluruh makhluk. Hatta daun yang gugur dari dahan, itu adalah hal terbaik untuk sang daun dan juga dahan itu sendiri ”
Ia menyeruput teh hangat yang masih mengepul. Ihsan mendengar dengan seksama. Nita lebih banyak menunduk. Sesekali melirik ke Ihsan. Lelaki, yang besar kemungkinan sebentar lagi akan menjadi suaminya. Kalau boleh jujur. Selama satu bulan terakhir Nita dan Ihsan berta’aruf. Benar kata Zara, Ihsan adalah sosok lelaki yang baik. Meski rasa sungkan pada Zara masih membayangi namun rasa syukur dan bahagia itu mulai tumbuh perlahan.
“ Aku percaya kamu orang baik. Nama besar sekaligus nama baikmu jadi pegangan. Kredibilitasmu sudah diketahui banyak orang. Namun aku juga tahu kamu mencintai istrimu, Zara, teman baik Nita. Tapi aku yakin kamu sampai disini. Duduk di hadapanku saat ini tidak mungkin jika engaku belum siap. Kamu dengan jujur berkata akan belajar mencintai Nita dan berlaku adil bagi kedua istrimu. Itu sudah cukup bagiku, sebagai kakak tertua dan perwakilan keluarga kami menghaturkan terima kasih. Selanjutnya, sesuai dengan syariat agama. Nita seratus persen berhak menentukan pilihannya ” Gusman melirik ke adiknya.
“ Baiklah, aku harus pergi sekarang. Kalian baik-baik disini. Bagaimana perkembangannya segera kabari aku, Assalamu’alaikum ” Gusman pamit pada Zara dan Nita.
Ihsan dan Nita melepas kepergian mas Gusman. Tubuh tambun itu terus melangkah menjauh. Mereka masih terdiam. 2 menit kemudian tubuh mas Gusman sudah hilang dari pandangan. Sekilas Ihsan menatap Nita. Si janda sahabat temannya. Besar kemungkinan akan menjadi istri keduanya sebentar lagi. Oi, tak pernah tersirat dalam benak Ihsan ia akan memiliki dua istri. Kalau saja keadaan tidak mendesak ia tak mungkin melakukannya.
Pagi itu juga mereka sepakat akan menikah. Akad nikah akan dilaksanakan di Jakarta. Sehabis menikah, Nita akan tinggal satu atap dengan Ihsan dan Zara. Awalnya Nita menolak, ia punya apartement. Ia bisa tinggal disana. Namun Zara yang memintanya. Rumah itu terlalu luas dan hanya diisi oleh Ihsan dan Zara berbelas-belas tahun terakhir. Sehabis ijab qabul tidak ada walimatul ‘ursy. Hanya syukuran yang melibatkan keluarga besar dan beberapa kolega terdekat mereka. Mereka juga sepakat jika nanti Nita memberikannya anak maka anak tersebut akan memanggil ummi ke Zara. Nita tidak protes sama sekali. Ia ikhlas dan rela. Sungguh ini suasana yang tak biasa. Zara yang rela dimadu dan Nita yang ikhlas dijadikan madu. Kadang-kadang Ihsan sering tersenyum sendiri. Memikirkan takdir yang ia hadapi. Ini berkah apa musibah. Sejurus kemudian ia tersadar, semua ini tidak pantas ditertawakan. Menikah itu perkara sakral. Ada tanggung jawab besar di dalamnya.
Saat semua terlihat 90 % sudah siap. Ihsan mendapat kabar mengejutkan dari ibu kota. Tidak. bukan Zara yang mengabarkan. Tapi dokter Ahmad. Dokter keluarga mereka. Yang biasa merawat dan mengkontrol kesehatan istrinya beberapa tahun terakhir. Zara tiba-tiba harus dibawa ke rumah sakit. Tubuhnya lemas, pusing di kepala sudah tak bisa ditahan lagi. Dan diagnosa dokter lah yang membuat semua jantung orang terasa copot. Zara positif hamil. Demi mendengar kabar itu Ihsan terkesiap. Begitupun Nita. Tak perlu menunda waktu Ihsan segera berkemas hendak kembali ke ibu kota. Malam itu juga ia naik pesawat. Nita mengantarkan Ihsan bersama mas Gusman. Lamat-lamat menatap Ihsan yang perlahan hilang dari pandangan.
Malam itu juga Nita tahu apa yang akan terjadi. Besar kemungkinan Ihsan tak jadi menikahinya. Apakah ia siap ? apa ia tak sakit hati? Apa ia tidak kecewa. Bagi Nita ini kekecewaan yang sama dengan bertahun-tahun lalu. Ia sudah biasa. Cukup menangis semalaman di kamar. Seorang diri. Untuk esok harinya terbangun dengan senyum seperti biasa. Kepahitan hidup sudah mendarah daging dalam jiwanya.
“ Ayo mas Gusman, kita pulang ” Nita berbalik.
Gusman mengikuti dari belakang. Matanya berkaca. Beruntung Nita tidak melihatnya. Ia tahu besar kemungkinan Ihsan tak jadi menikahi adiknya. Betapa malangnya dikau dek lirih Gusman
***

Benar apa yang mereka duga. Ihsan menolak melanjutkan proses. Meskipun Zara memaksa namun kali ini Ihsan lebih tegas dari biasanya. Dan bukankah tujuannya poligami untuk mendapat anak ? lantas kenapa harus poligami jika hujjah yang ia damba sebentar lagi akan ia dapatkan. Allah memang baik. Adalah benar janji-janji yang termaktub dalam kitab suci. Akan datang kabar gembira untuk orang-orang yang bersabar.
Ihsan sudah menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga besar Nita juga pada Nita sendiri. Mereka mengerti keputusan Ihsan. Apalagi Nita. Bahkan ia berjanji 2 hari lagi akan ke ibu kota menjenguk Zara.
Namun jangan kira ini endingnya yang buruk. Sungguh jika engkau mau lebih cermat menilai. Memandangnya dengan mata hati. Ini takdir yang sangat manis. Lihatlah betapa eloknya malaikat meniupkan ruh ke perut Zara. Menitipkan jabang bayi. Mereka tersenyum. Ihsan dan Zara sudah bersabar bertahun-tahun lamanya. Mereka tak pernah putus asa terhadap Allah. Dan kini, Allah sudah membuktikan janji-Nya. Dengan cara yang sangat mengejutkan. Namun tentu banyak hikmah dibaliknya.
Dan lihatlah. Malaikat yang mendampingi Nita kemanapun ia melangkah tengah sibuk mencatat. Kesabaran, lapang dada, dan keikhlasan menerima takdir telah membuat Nita mendapat derajat yang tinggi di sisi Tuhan. Setiap airmata keikhlasan yang jatuh bergulir tergantikan oleh catatan-catatan amal baik. Ia tak membenci siapapun. Ihsan, Zara, apalagi Allah. Sama sekali tidak. ia juga tahu, apa yang terjadi hari ini adalah yang terbaik untuk semua pihak. Malaikat masih tersenyum. Sejurus kemudian malaikat itu mendengar lirihan hati Nita
Ya Allah, aku ikhlas. Sungguh aku rela. Bahagiakan Ihsan dan Zara. Jaga bayi mereka. Lindungi mereka. Sungguh aku rela dengan semua takdir-Mu. Jika aku tak bisa menjadi bidadari bagi seorang hamba-Mu di dunia, izinkan aku menjadi bagian dari barisan bidadari surga.
Do’a dalam hati itu seketika melesak cepat ke atas. Jauh melebih kecepatan cahaya. Allah mendengar do’a Nita dan seketika itu juga jawaban dari do’a Nita ditetapkan. “ Iya ”. ia akan menjadi bidadari surga. Lihatlah, malaikat sudah bersiap hendak menjemput Nita. Tentunya dengan izin Tuhan mereka disertai takdir langit yang indah untuk sebuah akhir perjalanan bagi seorang hamba bernama Nita. Fabiayyi alaa irobbikuma tukazziban.

Jogjakarta, 20 Februari 2016
22:00 WIB

King_Izzu

Komentar

Postingan Populer