Sebaik-Baik Rindu



Tujuh tahun lamanya saya pernah mondok, nyantren, nyantri. Entah apalagi julukan lainnya bagi pelajar di Pondok Pesantren. Dengan rincian enam tahun di Pondok Pesantren Hikmatusysyarief NW Salut dan satu tahun di Ma’had Darul Qur’an wal Hadist NW Pancor. Ada banyak kesan, cerita, pengalaman, suka duka, dan hal-hal tak terlupa lainnya. Semua kenangan itu telah memiliki tempat tersendiri di sudut hati. By the way tahu gak bahasa arabnya sudut apa ? ta kasih tahu kalau belum tahu, sudut itu bahasa arabnya zaawiyah. Seumpama anda hendak berkata di sudut kelas maka katakanlah fi zaawiyatil fasl. Eh kok jadi kayak kursus online bahasa arab ya ? :D. Ngapunten saudara-saudara. Saya mah gini. Sering kebawa suasana. Bahasa kekiniannya “baper”. Hujan turun saya baper. Liat sunrise baper. Denger lagu baper. Bahkan liat orang nafas pun saya baper. Teringat mantan yang juga bernafas. Ah syudah. Abaikeun.
Kedua almamater saya tersebut berada di Lombok. Pulau yang terkenal dengan julukan seribu masjid. Tidak berlebihan memang. If you visit lombok, and you want to look for mosque, exactly you will easy to find the mosque. Tidak sulit mencari rumah ibadah di Lombok. Bahkan dalam satu dusun kadang terdapat lebih dari satu masjid. Contohnya di kampung saya. Ada tiga masjid disana. Uniknya, dua diantara tiga masjid tersebut tak bernama. Mungkin punya nama tapi tidak diketahui khalayak ramai. Kami biasa menyebutnya “masjid utara” dan “masjid selatan”. Sesuai dengan posisinya. Satu di ujung utara perkampungan, satunya lagi di ujung selatan.
Raga saya kini tak lagi di Lombok. Fisik ini sejak berbulan-bulan yang lalu hijrah dari kampung halaman ke tanah rantauan. Bukan Malang yang notabene kota impian sedari dulu melainkan Jogja. Kota pilihan Tuhan. Kota terbaik untuk saya melanjutkan studi. Otomatis saya sudah tidak menjadi santri formal lagi. Label mahasiswa yang kini tersemat dalam diri. Gak ada seragam. Gak ada yang maksa buat belajar. Murni kesadaran pribadi yang menentukan apakah kalian akan menjadi mahasiswa sukses atau mahasiswa yang hanya menuh-menuhi toilet kampus dengan sisa-sisa metabolisme tubuh kalian.
Terkadang rutinitas kampus yang padat menyita waktu. Awalnya dulu saya mengira para mahasiswa hanya “sok sibuk”. Namun setelah saya menjalani sendiri saya benar-benar tahu bahwa mahasiswa memang harus sibuk. Entah oleh tugas kampus maupun job organisasi yang diikuti. Ketika penat datang menyapa sering kali saya merindukan masa-masa mondok. Waktu menjadi santri. Setiap hari pakai sarung. Dengar pengajian. Kadang dihukum karena nakal. Dan tentunya ngapa-ngapain berjama’ah terus sama teman-teman. Sekolah bareng, ngaji bareng, sampai mandi pun bareng. Namun alhamdulillah meski kerap mandi bareng tidak ada satupun diantara kami menjadi pelaku LGBT. Kami semua suka wanita. Bahkan pernah dua sahabat getol saya bersaing untuk mendapatkan satu wanita. Hasilnya ? mereka sama-sama kecewa. Tidak perlu mengheningkan cipta untuk hal semacam ini.
Namun bukan hanya kebersamaan semasa di Pondok yang saya rindukan. Melainkan suasana ngaji bersama Tuan Guru dan Asatiz kami yang baik hati. Semoga beliau semua selalu dalam lindungan dan ridho Allah, Amiinn ya robbal ‘alamin. Masih teringat jelas di awal-awal mondok kami diwajibkan menghafal matan jurumiyyah. Sebuah kitab kecil yang merupakan dasar utama ilmu Nahwu. Meski tak tahu maksudnya kami terus saja menghafal. Alhamdulilah seminggu sebelum naik kelas 2 MTs saya menamatkannya. Bukan prestasi yang patut dibanggakan. Karena ada yang berhasil menghafal hanya 3-6 bulan. Tapi masih lebih baik daripada mereka yang tidak tamat-tamat. Hehe. Kala itu kitab yang kami gunakan belajar masih kitab mendasar dan  ukurannya kecil.
Naik kelas 3 MTs kami mulai bersua dengan kitab-kitab yang lebih gede. Ada Syarah Dahlan yang notabene Syarh ( penjelasan ) dari matan jurumiyah. Masih membahas Nahwu juga. Kami juga sudah mulai belajar fiqih dengan kitab fathul qorib. Ah iya, saya teringat sebuah pertanyaan konyol yang pernah ditanyakan oleh seorang kawan kala belajar Fiqih dengan pembahasan bab haid dan nifas. Ini bab favorit bagi kebanyakan santri putra. Begitu pula dengan bab nikah.
“ Ustad, seandainya gak ada pembalut, bisa gak pake kambut ( serabut kelapa – bahasa sasak )? ” jelas-jelas ini pertanyaan nyeleneh. Ustad kami menyeringai menerima pertanyaan itu. Dengan mantap beliau menjawab
“ Tanya ibumu!! ”
Tawa pecah seantero kelas. Wajah kawan yang tadi bertanya itu pun memerah. Malu luar biasa. Tapi keesokan harinya ia seakan tak jera bertanya dengan pertanyaan nyeleneh bin gak perlu ditanyakan.
Saat duduk di tingkat Madrasah Aliyah kitab-kitab yang kami kaji mulai menebal. Aduhai, gagah sekali rasanya menenteng kitab-kitab tebal sembari melintas di hadapan santri wati bermukena putih. Berpapasan dengan posisi kepala mengheningkan cipta namun mata berusaha mencuri pandang. Bagi kami bukan celana jens yang bikin keren. Apalagi kaos T-Shirt bermerk. Cukup sarung, baju koko, kopiah beludru, plus kadang-kadang sorban melintang, kami sudah terlihat keren. Gaul, saudara-saudara. GAya ULama.
Diantara kitab-kitab tersebut ialah ; Tafsir Jalalain, Kawakib adduriyah, Ta’limul Muta’allim, Riyadussolihin, Fathul Qorib, dan lain-lain. Apalagi di MDQH NW Pancor. Disana tidak ada pelajaran Matematika, Fisika, Bahasa Inggris, dan sejenisnya. Kami hanya belajar agama tok. Tak ayal setiap hari mata bercumbu dengan tulisan arab gundul. Tak terlalu mempermasalahkan bisa baca atau tidak sing penting berkah. Itu prinsip kami.
Dan beberapa hari yang lalu kerinduan akan kitab-kitab itu semakin menggebu. Di Jogja begitu mudah menemukan toko buku namun tidak dengan toko kitab. Setelah bertanya kesana kemari akhirnya saya menemukan toko kitab yang nampaknya cocok bagi saya. Toko kitab menara kudus yang terletak tak jauh dari alun-alun utara Jogjakarta. Alhamdulillah, dengan ditemani Hasan, sahabat sekaligus teman kuliah saya, meski sempat nyasar, kami akhrinya sampai dengan selamat sentosa di toko kitab tersebut.
Toko kitab menara kudus bukanlah toko gede macam Toga mas atau Gramedia. Hanya bangunan kecil. Ukurannya kurang lebih 5 x 5 meter. Terdapat rak-rak tinggi dan 3 buah etalase panjang disana. Saya langsung menghambur ke rak-rak kitab tersebut. Jujur saja saat pertama kali turun dari motor dan menatap toko itu senyum sumringah tak bisa tertahan di wajah. Saya seakan kembali lagi ke pondok. Suasana pesantren begitu terasa. Atau mungkin hanya perasaan saya saja ya ?
Senyum semakin lebar kala melihat kitab-kitab yang tersedia disana. Persis mirip dengan kitab-kitab di Salut dan Pancor dulu. Ada syarah dahlan, kitabussa’adah, matnul jurumiyah, kawakib adduriyah, fathul mu’in, dan lain-lain. Ingin rasanya memborong semua kitab tersebut dan melumatnya habis namun lembaran pahlawan di dompet tidak mengizinkan. Ah tak apa. Insya Allah lain kali bisa kebeli. Toh sekarang saya tahu lokasi toko ini. Semoga ada rezeki besok-besok. Aamiin.
Setelah melihat-lihat saya pun membeli dua buah kitab. Kawakib adduriyah dan al mustofa. Sebuah kitab kumpulan shalawat-shalawat. Saya memang mengincar kitab kawakib adduriyah ini. Ingin rasanya mendalami kitab ini kembali. Bercumbu dengannya setiap malam. Bergulat dengan kesulitan-kesulitan yang ia berikan. Semoga dengan hidayah dari Allah SWT saya bisa menaklukan kesulitan tersebut dan yang terpenting, mendapat berkah mempelajarinya. Amiinn ya robbal ‘alamin.
Saya rasa beginilah cara rindu yang disikapi dengan hal-hal yang bermanfaat. Kalau kangen pondok ya udah baca aja kitab-kitab yang dulu di pondok. Jangan Cuma upload status di media sosial saja. Jika kangen sama rumah, keluarga, dan sanak saudara, telepon lah mereka. Jangan Cuma buat PM di BBM. Dan yang lebih utama, teruslah belajar. begitulah cara kita merindu dengan sebaik-baik rindu.
Hiduplah dengan mulia
Isy karima....

Jogjakarta, 24 Februari 2016
21:04 WIB

King Izzu

Tampak Luar kitab kawakib adduriyah, harganya 40 K. Minat ? PM :v wkwk

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer