SENJA DI MEJA BUNDAR ; SEBUAH KERINDUAN



Langit Jogja sore ini terkungkung mendung membentang di pelataran langit. Beberapa saat yang lalu rintik hujan turun bergerombolan membasahi daratan gersang. Basah yang ia akibatkan masih menjejak di berbagai titik. Lantunan shalawat dan senandung bernafas islami mengalun indah dari TOA masjid Baiturrahim, kompleks Polri Gowok Ambarukmo. Membawa kenangan terbang ke masa silam. Mengingatkan pada suasana senja di pondok tercinta. Senja yang sederhana. Tak ada aroma keangkuhan apalagi citra hedonis ala masyarakat kota. Aduhai, wong pakai sarung rapi gak berlipat karena jarang disetrika pun kami sudah merasa ganteng maksimal.
Biasanya saat senja tiba, saya dan teman-teman asrama akan duduk bersila di sebuah tempat yang oleh penduduk pesantren disebut meja bundar. Entah sejak kapan nama itu melekat untuk sebuah taman kecil di bagian depan pondok yang berhadapan langsung dengan jalan raya. Tak cuma jalan raya sih. Tepat di seberangnya pekuburan umum kampung membentang. Puluhan nisan berjejer, ada yang bernama ada pula yang hanya bertuliskan lafadz Allah dan nabi Muhammad SAW. Mungkin pimpinan sekaligus pendiri pondok kami memilih lokasi ini agar segenap santri dan pengajar disitu selalu ingat akan kematian. Hidup di dunia tak lama. Gak ada artinya memburu kebahagiaan juga kekayaan. Cukup ridho Allah lah jadi cita dan asa yang utama dalam setiap helaan nafas. Agar hidup jadi berkah. Niscaya segalanya akan terasa indah.
Meja bundar memiliki beberapa fungsi bagi para santri. Jika sore itu ada pelajaran atau pengayaan ( untuk santri kelas akhir ), meja bundar menjadi tempat transit sebelum landing di dalam kelas. Ia bagaikan medan magnet yang memiliki daya super kuat. Gaya gravitasi yang ia ciptakan mampu menarik banyak pantat untuk mendudukinya. Para santri ( termasuk saya ) akan duduk disitu sembari menunggu Ustad yang punya jadwal mengajar sore itu datang. Namun tidak jarang kami duduk disana menunggu Ustad tiba dengan ber-sight seeing ( cuci mata ) ria. Tepat di barat pekuburan itu terdapat sebuah asrama santri wati. Saat itu penghuninya lumayan geneh-geneh ( baca : cantik manis). Tapi saya tidak akan menyebut merk disini. Takut baper. Ah sudahlah. #abaikeun. ^_^
Yang punya pacar akan menunggu pacarnya, entah hanya untuk saling melempar senyum atau menyerahkan buku. Tapi jangan kira itu buku Fisika, Bahasa Inggris, ataupun Nahwu. Sama sekali tidak. Itu adalah pengganti HP di kalangan santri. Gak ada HP untuk chatingan buku “sinar dunia” pun jadi. Tak jarang ada yang menghabiskan dua sampai tiga buku untuk surat-suratan ( sungguh pada bagian ini saya menyindiri diri sendiri ). Ah, benar-benar masa lalu yang kurang kerjaan, saudara-saudara.
Bagi mereka yang belum memiliki inen kanaq ( baca : pacar ), duduk di meja bundar kerap dijadikan ajang menunggu adik angkat atau calon gebetan lewat. Entah kenapa, jauh sebelum adik-kakak zone jadi fenomena di kalangan remaja, kami para santri sudah melakukannya. Bahkan adik angkat sudah kayak prangko saja, dikoleksi tiap hari ( kembali saya menyindir diri ). Tapi ada juga yang memiliki adik angkat lantaran ditolak waktu menembak. “ Lebih baik kita jadi kakak adik saja, kak ”. itu kalimat halus namun kecewanya bikin malu. Beneran ! beberapa kawan saya tak hanya jadi kakak untuk adik angkat mereka. Ada juga yang dijadikan adik angkat oleh kakak tingkat. Uniknya, selama enam tahun mondok saya belum menemukan fenomena kakak-adik angkat diantara santri dengan santri. Beda dengan santri wati. Ada beberapa yang memiliki kakak-adik angkat sesama santri watinya. Namun insya Allah itu bukan indikasi LGBT kok. Ciyus, beneran !
Selain sebagai lokasi rukyatunnisa ( bukan rukyatul hilal lo ya, kayak mau puasa saja -_- ) meja bundar kerap berfungsi sebagai lesehan dadakan. Utamanya di siang dan sore hari. Santri yang nge-kost ( istilah untuk santri yang bayar makan bulanan ke pondok, karena ada sebagian santri yang diantarkan makanan dari rumah masing-masing, biasanya mereka yang rumahnya tidak jauh dari pondok ) kerap menikmati menu spesial dari dapur pondok di meja bundar itu. Tak jarang mereka akan makan berjama’ah baik dalam posisi duduk di kursi semen atau duduk jongkok seraya melipat sarung. Memang sederhana, apalagi dengan menu andalan spongebob ( baca : tahu ), tapi kebersamaan lah yang membuatnya jadi istimewa. Kalau disuruh milih makan ayam bakar di restoran mahal seorang diri atau makan ala kadarnya namun berjama’ah, kami pasti memilih makan ala kadarnya tapi berjama’ah. Syukur-syukur kelak bisa makan di restoran berjama’ah dengan mereka kala kesuksesan mulai kami raih. Aamiinn.
Fungsi lain yang gak kalah keren dari meja bundar adalah sebagai tempat majelis ilmu. Ya, tidak jarang meja bundar kami jadikan tempat berdiskusi berbagai mata pelajaran. Kadang mendiskusikan nahwu, shorof, dan bahasa arab. Di waktu yang lain pelajaran Matematika yang diampu oleh Almukarrom Ustad Sunipe pun jadi pembahasan. Dan tak jarang disela-sela diskusi satu dua orang diantara kami akan mengulang quote demi quote yang beliau lontarkan dalam kelas. Bagi saya pribadi Ustad Sunipe laksana Mario Teguhnya Hikmatusysyarief. Banyak perumpaman dan kalimat mutiaranya yang nge-jleb ke dalam hati. Meskipun kerap menyindir namun begitulah bentuk kasih sayang beliau sebagai murobbi ( pengajar ) kepada kami. Mari doakan seluruh guru-guru kita, semoga beliau semua selalu dalam naungan dan rahmat Allah SWT. Aaamiinn Ya Robbal ‘alamin.
Salah satu quote yang paling saya ingat dari beliau adalah “ jika kamu ingin terus disuapi maka selamanya kamu akan menjadi bayi ”. quote ini muncul sewaktu beliau mengajar kami di kelas akhir. Kalau tidak salah ketika pengayaan mendekati ujian nasional. Benar to apa yang dikatakan Ustad Sunipe ? jika kita hanya bergantung pada orang lain maka selamanya kita tak kan bisa mandiri. Quote ini mengajarkan arti dari sebuah proses yang termanifestasi melalui ketidak jemuan dalam mencoba dan terus mencoba.
Logika sederhananya begini, anda tidak akan bisa menggunakan sepeda motor jika anda hanya duduk di jok belakang. Cuma dibonceng tok. Jika ingin bisa mengemudikan sepeda motor, peganglah stangnya, tarik gasnya, kontrol remnya, tapi jangan lupa hidupkan dulu motornya, kalau pun jatuh sekali dua kali tak mengapa. Sungguh jatuh dari motor lebih baik daripada jatuh dalam bayang-bayang masa lalu #BaperTime.
Bagi saya pribadi, jujur, saya ingin menjadi penulis yang handal. Saya sering bertanya pada diri bagaimana cara mewujudkannya. Ustad Darwis Tere Liye memberi jawaban beberapa waktu lalu kala saya mengikuti bedah buku beliau di SMA 2 Muhammadiyah Jogjakarta. “ bagaimana engkau bisa jadi penulis kalau engkau tidak mulai menulis, cara terbaik menjadi penulis adalah dengan menulis sekarang juga, gak usah nunda-nunda, apalagi sibuk cari excuse, pembenaran, dan beribu alasan lainnya. Engkau tidak akan bisa masak jika hanya googling resep di internet, engkau tidak akan mampu bermain gitar jika hanya menonton gitar cover di youtube. Cara terbaik belajar masak adalah masak sekarang juga. Langkah tepat untuk bisa main gitar ialah dengan memetik gitar detik ini juga. Bukan menunda dan larut dalam asa tak bermuara ”
Saudara-saudaraku. Dulu, kita melewati ratusan bahkan ribuan senja bersama. Kini, alhamdulillah kita masih bisa menikmati senja namun di tempat yang berbeda. Bahkan, puji syukur kehadirat Allah, sebagian saudara kita ada yang telah bisa menikmati senja dengan keluarga kecil mereka. Menyempurnakan separuh agama dengan ijab qobul di hadapan penghulu. Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah untuk mereka. Aamiinn...
Sore ini, senja mendung menjadi saksi kerinduanku. Tiada rindu yang paling agung selain rindu yang terlantunkan dalam do’a. Aduhai, andai kau bisa menyaksikan, jika seseorang mendoakan saudaranya yang jauh, do’a itu terbang ke langit dunia. Jutaan malaikat menyambut do’a itu dengan senyum sumringah. Sejurus kemudian melesat lebih cepat dari kilat menghantarkannya ke hadapan Tuhan. Arsy pun sampai bergetar hebat menyambut do’a itu. Saat itu juga Allah SWT menjawab do’amu. Dan jawabannya adalah “ Iya ”. Indah bukan ? bukan maksudku menggurui, kawan. Tapi sebagaimana ajaran orang-orang saleh. Sebaik-baik sahabat, sebaik-baik saudara adalah mereka yang mengingatkan akan kebaikan dan kesabaran.
Saudaraku, Semoga senja kalian berkah. Jangan lupa bersyukur. Sesekali tafakurilah mega merah yang tergurat di petala langit. Di ufuk barat sana. Tengok dan  renungkan keindahannya ! jika bibir kalian tidak berat tergerak, lantunkan zikir, sucikan nama-Nya, agungkan dzat-Nya, dan istigfarkan jutaan dosa yang telah kita perbuat kepada-Nya. Semoga Allah mengampuni, meridhoi, dan memberkahi.
Senja ini membuncahkan kerinduan pada senja di meja bundar. Apakah kalian merasakan kerinduan yang sama ? entahlah...
‘Isy Karima.. hiduplah dengan mulia
Jogjakarta, 29 Februari 2016
17:09 WIB

King Izzu

Komentar

Postingan Populer