Resensi ; Ayahku ( Bukan ) Pembohong
Judul : Ayahku ( Bukan )
Pembohong
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Cetakan ke 14, Januari 2016
Halaman :
304 Halaman
Novel ini merupakan salah
satu karya Tere Liye yang tergolong fiksi dewasa namun lebih berorientasi pada
cerita keluarga. Bukan novel romans macam novel-novel beliau lainnya. Ada
banyak filosofi hidup yang kita tuai dari kisah demi kisah yang termaktub di
dalamnya. Sebagaimana ciri khas di Bang Tere Liye, bahasa yang lugas, indah,
dan penuh kejutan selalu menghiasi setiap lembar novel ini.
Tokoh utama dalam cerita
ini bernama Dam, seorang anak tunggal dari ayah dan ibu yang hidup
berkecukupan. Tidak miskin tidak juga kaya. Ia tumbuh dengan rambut keriting
eksotik. Membuatnya diberi nama panggilan baru di sekolah, “ si keriting ”.
Selain itu ia juga dipanggil “ pengecut”. Adalah Jarjit, anak orang paling kaya
seantero kota yang punya gara-gara.
Suatu ketika Jarjit
berkelahi dengan anak-anak kampung dekat sekolah mereka. Ia babak belur. Memar
di sekujur tubuh. Tapi ia tidak kapok sama sekali. Malah berniat menuntut balas
pada anak-anak begundal itu. Ia pun mengajak seluruh teman lelakinya untuk
bergabung memberi anak-anak kampung kumal itu pelajaran dan agar mereka tahu
mereka tengah berhadapan dengan siapa. Ya, Jarjit memang agak sombong,
maklumlah masih anak-anak. Semua teman-temannya sepakat ikut kecuali Dam. Ia keukeuh
tidak mau berkelahi apalagi hanya untuk membalaskan dendam seorang anak bernama
Jarjit yang kenakalannya sudah terkenal dari ujung ke ujung.
Apakah Dam penakut ?
tidak ! sama sekali tidak. Hanya saja ia selalu ingat kisah demi kisah yang
sering diceritakan ayahnya, tentang lembah bukhara, suku pengendali angin, juga
cerita sejarah hidup idolanya, Sang Kapten. Ia ingin meniru teladan-teladan
yang baik dari mereka. Sejak itulah ia dipanggil pengecut. Pengecut yang tidak
mau berkelahi.
Dam selalu senang dan
antusias mendengar cerita dari Ayahnya. Begitupun ayah, tak pernah bosan
bercerita. Ya, namanya juga anak-anak. Selalu tertarik dengan cerita. Yang
penting seru, mereka tidak berfikir apakah cerita itu nyata atau karangan si
pencerita saja. Lambat laun Dam akan tahu ayahnya membual dengan cerita-cerita
itu atau tidak. Dari cerita ayahnya lah ia tahu bahwa Sang Kapten, pesepak bola
idolanya itu ternyata dulu hanya pengantar sup jamur. Ia hidup miskin dan tak
memiliki siapa-siapa yang menyemangati. Suatu ketika si kapten kecil mengantar
pesanan sup untuk ayah Dam ( menurut cerita dari ayah, kala itu beliau tengah
kuliah di luar negeri ). Sejak itulah mereka mulai bersahabat. Ayah mengatakan
bahwa Sang Kapten adalah sosok yang tak pernah menyerah dengan segala
keterbatasan yang ia miliki. Itu salah satu yang menginspirasi Dam untuk terus
berprestasi. Entahlah ayahnya berbohong atau tidak. Dam tidak kepikiran ke
sana.
Selain cerita tentang
Sang Kapten, ayah Dam juga bercerita tentang suku pengendali angin yang pernah
ia temui. Bahkan sang ayah mengatakan ia pernah terbang dengan layang-layang
raksasa bersama kepala suku, Dam percaya. Takjub dengan cerita ayahnya. Juga
tentang apel emas dan lembah bukhara. Sejak kecil Dam kenyang dengan cerita
demi cerita dari sang ayah.
Beranjak dewasa ia
dikirim ke Akademi Gajah. Sekolah lanjutan yang berjarak 8 jam naik kereta dari
kampung halaman. Di sana lah Dam tumbuh dewasa dan mulai menemukan bakat serta
jati dirinya. Ia mengagumi arsitektur bangunan Akademi Gajah. Saat waktu
senggang ia akan menghabiskan berjam-jam hanya untuk menggambar sketsa
spot-spot menarik di Akademi Gajah.
Suatu ketika ia mendapat hukuman
bersama Retro – sahabatnya – membersihkan perpustakaan selama sebulan penuh.
Sebenarnya itu bukan hukuman bagi Dam tapi keinginan yang tercapai. Ia
ingin menggambar sketsa ruang perpustakaan.
Dengan dihukum berjam-jam di perpustakaan otomatis ia memiliki waktu lebih
banyak untuk menyelesaikan sketsanya. Retro yang awalnya menggerutu mendapat
hukuman seperti itupun lambat laun menikmati juga. Ia menemukan satu sudut
tumpukan buku-buku cerita yang sudah berdebu tebal. Jika sudah membaca ia akan
lupa waktu.
Beberapa hari sebelum
hukuman mereka genap sebulan Dam menggangu Retro yang tengah khusu’ membaca.
Iseng, Dam pun membaca beberapa cerita yang Retro baca. Matanya terbelalak.
Mulutnya menganga. Cerita yang ia baca mirip sekali dengan apa yang ayahnya
dulu sering ceritakan. Sejak saat itu ia mulai menyangsikan kebenaran cerita
tersebut. Menurut Retro sangat tidak mungkin ayah Dam berpetualang ke lembah
bukhara apalagi sampai menemui suku pengendali angin. Bersahabat dengan Sang
Kapten, bintang sepak bola dunia itu apalagi ? tidak mungkin.
Dam sempat menanyakan
perihal kebenaran cerita tersebut. Bukan jawaban yang ia dapatkan melainkan
tatapan tersinggung dari sang ayah. Ia merasa bersalah. Mulai saat itu ia tidak
ingin memikirkan apakah cerita itu bohong atau tidak. Mungkin begitulah cara
ayah mendidiknya tumbuh menjadi anak yang baik. Dengan cerita-cerita ( yang kemungkinan
besar bohong ).
Di tahun akhir, 3 minggu
sebelum ujian kelulusan Akademi Gajah Dam mendapat telegram. Ia harus pulang.
Ibunya yang sejak dulu rapuh kerap jatuh sakit kini dirawat di rumah sakit. Di
saat itulah ia tahu ayahnya adalah pembohong. Bukan pembohong lantaran
cerita-cerita tak masuk akal itu namun berbohong tentang kondisi fisik ibunya.
Saat ibunya jatuh sakit
ayah selalu bilang ibu hanya kecapekan. Padahal dokter yang merawat ibu dengan
jelas mengatakan beliau mengidap kangker sejak 20 tahun lalu. Kenapa ia tak
pernah dikabari ? ia juga berhak tahu kondisi ibu. Pertengkaran hebat terjadi
di depan ruang operasi malam itu. Ayah berkata mereka menyembunyikannya karena
tidak ingin menganggu konsentrasi dan kebahagiaan Dam. Dam tak terima, ia
terlanjur benci pada ayah. Tanpa rasa bersalah ia mengatakan ayahnya adalah
pembohong. Termasuk cerita-cerita masa kecilnya.
Ibunya tak bisa
terselamatkan. Ribuan orang datang melayat. Tak pernah ia melihat pemakaman
seramai ini. Hingga pejabat dan orang penting pun datang. Saat pemakaman mulai
beranjak sepi menyisakan ayah dan Dam. Sang ayah menepuk bahu Dam, membesarkan
hatinya, meyakinkan Dam bahwa inilah takdir terbaik. Hati Dam memaki benci.
Andai ayahnya mengobati ibu dari dulu, ini semua pasti tak terjadi.
Saat itu ayah tahu bahwa
Dam sudah benci pada cerita-ceritanya. Namun ia ingin menceritakan satu kisah
yang ia janjikan sebagai kisah terakhir. Tak kan ada lagi cerita-cerita lain.
Namun Dam malah berlalu meninggalkan sang ayah.
Dam meninggalkan rumah.
Ia merantau berkuliah di jurusan arsitektur. Jurusan yang kelak menjadikannya
arsitektur kesohor seluruh negeri. Sangat jarang ia mengunjungi sang ayah yang
hidup sendiri pasca ditinggal ibu. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Taani,
sahabat masa kecil yang kemudian menjadi istrinya. Mereka menikah dan dikarunia
dua anak Zas dan Qon, putra putri yang teramat menggemaskan. Taani meminta Dam menyetujui
ayah tinggal bersama mereka. Agar ayah tak kesepian. Agar ia dekat dengan cucunya.
Dam terpaksa mengizinkan.
Zas dan Qon sangat senang
dengan kehadiran sang kakek. Mereka suka dengan cerita-cerita kakek. Masih
cerita yang sama dengan yang dulu Dam dengar. Setiap kali ayah bercerita pada
anak-anaknya, Dam selalu menggeram tak suka. Taani yang tahu benar psikis
suaminya sebisa mungkin meredam gejolak emosi. Ia adalah menantu yang baik.
Taani malah lebih dekat dengan ayahnya ketimbang Dam sendiri.
Sampai pada akhirnya Zas
dan Qon ketahuan membolos. Dam marah bukan kepalang. Apalagi setelah mengetahui
penyebab mereka bolos. Mereka menelusuri perpustakaan kota 8 tingkat hanya
untuk mencari tahu apakah cerita kakek mereka nyata atau tidak. Bertambah benci
Dam pada ayahnya. Bukan pada ayah sebenarnya tapi pada kebohongan yang ayahnya
lakukan. Ia tak ingin Zas dan Qon tumbuh besar dengan cerita-cerita bohong. Seperti
yang dulu dilakukan ayah padanya. Zaman sudah berbeda.
Pertengkaran hebat
terjadi. Emosi yang sudah diubun-ubun membuat Dam lupa diri. Ia membentak dan
mengatakan ayahnya pembohong. Hancur berkeping-keping hati sang ayah. Tanpa
ragu Dam mengusir ayahnya, memintanya kembali ke rumah yang lama. Taani dan
cucu-cucunya setiap saat bisa mengunjungi jika mereka mau. Tapi tidak di rumah
ini, di bawah atap ini dia yang memiliki hak dan ayahnya wajib mengikuti aturan
Dam.
Taani berlinang air mata
mengingatkan Dam bahwa yang ia usir itu adalah ayahnya sendiri, yang
membesarkannya, yang merawatnya sejak kecil. Namun Dam sudah lupa diri.
Kata-kata tak bisa ditarik lagi. Ayah melangkah gontai ditemani deras hujan dan
dinginnya malam meninggalkan rumah anak semata wayangnya. Taani, Zas, dan Qon
ikut menangis layaknya langit malam. Bahkan Zas dan Qon memeluk erat kakeknya
tak ingin ditinggal. Dam tak bergeming. Ia ingin ayahnya segera pergi.
Esoknya sang ayah
ditemukan terbujur kaki di samping pusara ibunya. Oleh penjaga makam ayah segera
dilarikan ke rumah sakit. Kondisi beliau labil. Saat itulah Dam merasakan
ketakutan. Ketakutan yang sama saat ia ditinggal ibu untuk selama-lamanya.
Muncul rasa penyesalan telah mengusir sang ayah. Andai ia tak mengusirnya
semalam hal ini tak mungkin terjadi.
Sang ayah siuman dan
ingin bertemu dengan Dam. Dengan berlinang air mata ayah meminta maaf pada Dam.
Suaranya parau. Membuat sesak ulu hati. Harusnya ia yang minta maaf, bukan
ayah. Saat tubuh sang ayah terkulai lemah di ranjang rumah sakit, sang ayah
meminta Dam mendengar satu cerita, ia tahu Dam sudah membenci cerita-ceritanya
sejak ibunya meninggal berpuluh tahun lalu. Namun ia janji ini akan menjadi
cerita terakhir. Kisah yang dulu hendak ia ceritakan di pusara sang ibu. Saat
Dam berlalu mengabaikannya. Kisah tentang Danau Para Sufi. Dam mengangguk
bersedia mendengarkan dan ayahpun mulai bercerita dengan suara berat.
Takdir tak bisa ditolak.
Ayahnya telah kembali kepada Tuhan tepat kala cerita itu sempurna disampaikan.
Ribuan orang melayat. Lebih ramai daripada pemakaman ibunya. Padahal sang ayah
hanyalah PNS bergaji rendah biasa. Di petala langit entah darimana asalnya
puluhan layang-layang seolah ikut menghadiri pemakaman. Di tengah acara
tiba-tiba terjadi keributan. Ada satu rombongan yang datang. Menarik perhatian
seluruh pelayat. Orang-orang memberi jalan. Mereka nampak antusias. Lalu kemudian
gemuruh tepuk tangan penuh apresiasi pecah di udara. Dan ternyata, rombongan
tersebut adalah rombongan Sang Kapten. Dam kaget tak terkira. Bagaimana bisa ? bagaimana
bisa Sang Kapten datang ke pemakaman ayahnya ? disaat itulah.
“ Ayah kau adalah
sahabatku, Dam. Kalau bukan karena dia yang datang dan memarahi petinggi klub
dulu untuk menerimaku sebagai pemain meski tubuhku pendek, mungkin aku akan
tetap menjadi pengantar sup jamur ”
Dam termangu. Membisu. Rasa
bersalah membuncah. Ia keliru. Ia salah. “ Ayahku ( bukan ) pembohong ” lirih
Dam.
Keunggulan Buku
Dalam Novel ini Tere Liye
menggunakan alur maju mundur. Saya pribadi lebih suka dengan alur seperti ini.
Terasa lebih bervariasi dan pembaca jadi gak bosan untuk terus
melanjutkan cerita hingga ending.
Diksi dan ritme bahasa
yang digunakan Tere Liye pun apik. Saat sedang serius-seriusnya membaca jalan cerita
tak jarang anda akan tertawa tiba-tiba. Tidak sedih melulu tidak juga tertawa
terus. Novel yang penuh warna dan kejutan.
Dan tentunya kejutan demi
kejutan dalam setiap episode yang Tere Liye tuliskan jadi jaminan kualitas buku
yang sudah 14 kali cetak ulang ini.
Kekurangan
Rasanya kurang pantas
saya mencantumkan kekurangan. Apalagi buat novelis handal bin produktif macam
Bang Tere. Saya hanyalah penikmat sastra. Namun okelah. Tidak ada karya yang
sempurna. Tere Liye tetap punya kekurangan. Ada satu bagian dalam cerita yang saya rasa tidak
masuk akal. Yakni ketika Zas dan Qon yang masih SD bolos lalu pergi ke
perpustakaan kota. Kok bisa-bisanya petugas perpustakaan mengizinkan bocah yang
masih berseragam SD masuk perpustakaan saat jam belajar ? apalagi mereka Cuma
berdua. Tidak sedang belajar kelompok. Tapi, ah sudahlah. Yang terpenting
banyak hikmah dan filosofi hidup yang saya tuai dari buku-buku beliau termasuk
novel yang satu ini. Ayahku ( Bukan ) Pembohong.
Jogjakarta,
21 Maret 2016
07:51 WIB
King Izzu
Komentar
Posting Komentar