Nasionalisme



Semilir angin berhembus lembut menerpa raga. Menampar wajah yang penuh guratan lelah. Perlahan mengusir kejemuan dalam benak. Pesawat latih TNI AU masih berseliweran di langit malam. Cahaya lampunya bagai kunang-kunang raksasa di tengah kegelapan. Pun deru mesinnya, bergemuruh gagah membentuk alunan melodi simbol ketangguhan.
Geliat malam mulai terasa. Seiring beranjaknya matahari diganti rembulan. Meski malam ini sang rembulan  bersembunyi di balik awan, namun percayalah, ia tetap bersinar, tersenyum, menebar pesonanya yang menawan. Lampu-lampu ribuan rumah pun sudah menyala. Para pekerja malam mulai beranjak mengais rezeki. Sang tukang roti bakar Bandung, bapak dan ibu penjaja angkringan, pun juga dengan kafe-kafe yang bertebaran dimana-mana. Malam memulai cerita.
Hari ini fisik lumayan capek. Kuliah dari 07:00 WIB pagi hingga 15:00 WIB. Ada empat mata kuliah untuk Selasa ini. Percakapan Arab 2, Morfologi 2, Penyuntingan Teks, dan diakhiri dengan PPKn. Alhamdulillah semua dosen masuk kecuali matkul Morfologi 2. Dosen kami, bapak Arif Ma’nawi tengah menunaikan ibadah umrah. Kita doakan semoga perjalanan beliau dilancarkan dan mendapat umrah yang mabrur ( emang ada ya ? -_- ). Aaminn ya robbal ‘alamin.
Saudara-saudara, mari ngopi dulu. Jujur saya agak terkantuk-kantuk saat menggoreskan kata demi kata. Beberapa kali mengoam. Entah karena kecapaian, atau lantaran makan malam dengan mie instan. Hari ini baru lewat magrib sampe di kost. Sehabis kuliah, saya bersama kawan-kawan PSDM IMABA ( Ikatan Mahasiswa Bahasa Arab ) UGM mengadakan rapat internal persiapan acara up-grading yang insya Allah dilaksanakan hari jum’at dan sabtu besok di Kaliurang. Minta doanya ya, semoga si merah ( motor butut saya ) kuat diajak naik tanjakan di Kaliurang. Aaamiinn Ya Robbal ‘Alamin. Kalau gak kuat ya terpaksa nebeng ama motor lain.
Sembari menyeruput secangkir Freench Vanilla White Coffe ( baca : Kopi Luwak harga Rp. 1.000 ), deru pesawat komersil yang hendak landing pun terdengar beberapa saat. Duh, rasanya udah lama gak naik pesawat lagi. Memandang bumi dari ketinggian. Berdampingan dengan putihnya awan. Dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu singkat. Berkat perantara pesawatlah saya pernah menginjakkan kaki di Jakarta, Malang, Surabaya, Madura, dan tentunya Jogjakarta. Jadi kangen ama mbak-mbak pramugari ^_^. Apalagi pramugari wings air. Bening bening, rek. Astgafirulllah kenapa saya jadi bahas wanita ? ngapunten saudara-saudara. Bukan ini yang hendak saya goreskan di malam yang dingin ini. afwan.
Hadirin para netizen yang fakir kuota !
Suatu ketika, baginda Rasulullah SAW pernah bersabda : hubbul wathan minal iman. Cinta tanah air adalah bagian dari iman ( dikutip dari ceramah KH. Zainuddin MZ ). Tanah air kita kan Indonesia. Otomatis mencintai Indonesia merupakan salah satu manifestasi keimanan. Sebaliknya, jika kita membenci Indonesia, atau bersikap apatis, maka keimanan kita perlu dipertanyakan kembali.
Tadi, dosen PPKn kami membawakan ceramah tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara menurut pasal 27 dan juga seputar nasionalisme. Untuk perkara hak dan kewajiban saya tidak terlalu tertarik. Teorinya sudah baku dan tercantum dalam kitab UUD 1945. Akan tetapi perkara nasionalisme seakan mencuri perhatian saya. Apalagi sang dosen berkeliling menanyai satu persatu mahasiswanya yang berjumlah ratusan untuk mendiskusikan perihal nasionalisme sebelum ia melanjutkan ceramah. Untuk kuliah PPKn, kami bergabung dengan jurusan sastra Indonesia dan Sejarah. Tak ayal perkuliahan serasa kayak perkuliahan di luar negeri karena banyaknya mahasiswa.
Jika anda search di google atau wikipedia, ada banyak pengertian nasionalisme secara definitif. Belum lagi pendapat satu tokoh dengan tokoh yang lain. Terkadang intisarinya sama tapi redaksi kata berbeda. Dan kali ini saya tidak ingin membahas nasionalisme secara teoritis ataupun definitif. Tapi nasionalisme kali ini akan saya uraikan berdasarkan fakta empirik yang saya alami.
Saudara-saudara, bagi saya pribadi nasionalisme merupakan wujud abstrak. Sama seperti cinta, benci, sakit, rindu, dan lain-lain. Ia ada namun wujud kongkretnya nihil. Hanya bisa dirasakan dalam hati. Nasionalisme bagi saya adalah  kecintaan terhadap tanah air. Orang yang sangat mencintai Indonesia berarti memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Sebaliknya, mereka yang apatis dengan nasib Indonesia adalah orang yang tidak terlalu memiliki jiwa dan semangat nasionalisme.
Terkadang kita sering abai dengan Indonesia. Korupsi yang kian hari kian membudaya, ekonomi tidak stabil, pendidikan kalah saing, hukum tidak adil. Kita apatis dan bersikap emang gue pikirin terhadap bangsa sendiri. Lihatlah jika pemilu atau pilpres, angka golput bisa sampai 40 % bro. Ini bisa jadi indikasi bahwa hanya 60 % masyarakat Indonesia yang masih peduli dengan negaranya.
Namun bagi mereka yang kini tengah menempuh pendidikan, bekerja, atau memiliki urusan di negara orang, percayalah, mereka teramat rindu dengan Indonesia. Disitulah kadang kita bisa menyadari bahwa dalam setiap aliran darah penduduk Indonesia, jiwa nasionalisme seakan menyatu dengan jiwa dan raga kita.
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, setiap senin pagi upacara bendera menjadi kegiatan rutin. Berjejer rapi, berbaris sesuai kelas, topi terpasang di kepala, pun dengan dasi tergantung di leher. Setiap senin kami mendengar lagu Indonesia Raya disenandungkan sembari mengangkat tangan kanan dalam posisi hormat gerak. Menghormati sang saka merah putih yang tengah dikibarkan oleh tiga paskibra sekolah.
Jujur kala “hormat gerak” terhadap bendera, banyak diantara kami yang melakukannya hanya formalitas belaka. Tidak menjiwai. Tampak luarnya kami memang hormat namun hati tidak terfokus pada upacara, pun dengan pikiran, sibuk oleh berbagai pertanyaan, seperti “ siapa ya yang jadi pembina upacara sekarang ?, semoga bukan ibu itu, bisa lama upacaranya kalau beliau yang ngomong ”.
Tapi saat pertama kali masuk UGM. Kampus tertua di Indonesia. kampus yang menjadi sejarah perjuangan bangsa memulai pembangunan. Disinilah rasa nasionalisme saya semakin tumbuh saudara-saudara. Diawal masuk, seorang kakak senior kami berorasi “ kita bukan generasi penerus bangsa, tapi kita adalah generasi pengganti. Karena jika kita adalah generasi penerus maka korupsi yang terjadi hari ini akan kita teruskan, kezaliman dan ketidak adilan pun akan berkelanjutan. Tapi jika kita adalah generasi pengganti, kelak korupsi akan kita ganti dengan kebaikan, ketidak adilan akan kita ganti dengan keadilan ” tegas beliau diiringi tepuk tangan dari ribuan mahasiswa kala itu.
Sebagaimana kampus lain, dimasa-masa orientasi kami diperkenalkan tentang UGM oleh senior-senior. Jargon kampus tak luput jadi pengobar semangat kami di tengah teriknya matahari yang membakar.
UGM...
Pancasila Jiwa Kami
Bakti Untuk Negeri
UGM Bersatu
Bangkitlah Nusantaraku.
Kala jargon ini saya lantangkan bersama 10 ribu pemuda-pemudi pilihan se-Indonesia ada getaran yang menyentrum hati. Tubuh bergetar. Segenap otot saya merinding. Seketika itu jika saya panjatkan syukur tiada terkira kepada Allah SWT. Ya Allah, engkau mentakdirkanku masuk ke UGM, bukan UIN sebagaimana yang aku mau. Engkau tahu kampus ini adalah kampus umum. Salah satu kampus kebangaan Indonesia. semoga dengan masuknya aku disini aku bisa menjadi pribadi yang bermanfaat untuk bangsaku di kemudian hari.
Sejurus kemudian kala menyanyikan lagu Indonesia Raya. Satu dua tetes bulir mengalir dari pelupuk mata. Indonesiaku. Aku bangga padamu. Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku, semuanya, bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya.....
Saya memohon ampunan pada Allah jika selama ini belum mampu menjadi warga negara yang baik. Belum maksimal mencintai Indonesia dengan sepenuhnya keimanan. Kelak, entah ke negara manapun saya akan merantau mencari ilmu dan pengalaman, saya pasti kembali ke Indonesia untuk membangun dan mencintainya dengan sepenuh hati. Insya Allah.
Semoga bangsa ini bisa menjadi baldatun toyyibatun wa robbun ghofur. Aamiinn ya robbal ‘alamin.
Hiduplah dengan mulia... IsyKarima..

Jogjakarta, 1 Maret 2016
22:09 WIB

King Izzu

Komentar

Postingan Populer