Dialektika Hati dan Logika



Minggu malam lalu saya berkesempatan berdiskusi dengan seorang sahabat yang kuliah di jurusan Psikologi UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Dia orang Lombok juga, tepatnya Sakra, sebuah perkampungan di kabupaten Lombok Timur sana. Sekitar 40 KM dari ibu kota provinsi NTB. Menjadi mahasiswa UIN SUKA sejak 2014 lalu. Otomatis secara formalitas beliau adalah kakak tingkat saya. Namun menilik KTP kami masing-masing sebenarnya saya sedikit lebih tua darinya. Kami beda beberapa bulan meski lahir di tahun yang sama. Meski begitu dia sama sekali tidak memanggil saya kakak, abang, atau mas. Bukan masalah yang berarti. Saya pun lebih nyaman dipanggil dengan nama panggilan saja.
Kok bisa tiba-tiba diskusi Bang ? sebelumnya pasti ada proses dan kronologinya dulu kan ? ceritain dong bang ! oke, Dek. Oke. Abang ceritakan. Benar, gak tiba-tiba kami bertemu. Abang harus berterima kasih pada dosen PPKn abang yang sudah memberi tugas wawancara. Tugas tersebut jadi perantara saya bersua dengan si psikolog muda dan dilanjutkan dengan mengais ilmu darinya.
Wawancara apa bang ? itu kan tugas PPKn, masak abang wawancarai mahasiswi psikologi sih ? kenapa gak wawancara sama yang jurusan hukum atau FISIPOL lainnya ? kok kamu mendadak cerewet malam ini Dek ? iya, abang minta kesedian dia jadi narasumber abang. Kenapa abang pilih dia ? karena abang ingin mendapat jawaban dari narasumber yang memiliki background keilmuan yang kira-kira akan menghasilkan jawaban berbeda ketimbang wawancaea sama orang lain pada umumnya. Mencoba menemukan perspektif yang berbeda.
Minggu petang itu saya masih duduk bersila di selasar utara masjid kampus UGM. Ada kak Fadhli di depan dan Ozan di samping. Kak Fadhli adalah pembimbing tahsin saya di GMMQ ( Gadjah Mada Menghafal Qur’an ) sedangkan Ozan adalah patner saya di kelas tahsin ini. Halaqoh kami terpaksa diakhiri saat azan magrib berkumandang dikarenakan kak Fadhli yang datang terlambat. Tadinya beliau hendak mengajak kami makan malam namun saya dengan halus menolak karena sudah terlanjur janji dengan Zahra. Oiya, lupa deng, nama sahabat saya itu Zahra, Saudara-saudara.
Saya memutuskan pulang saat itu juga. Membelah jalan protokol yang semakin malam semakin ramai. Mobil motor berseliweran. Lampu sudah menyala sedari tadi. Klakson bersahutan dari satu mobil ke mobil yang lain. Dari motor yang satu ke motor di sebelahnya. Malam mulai datang. Langit bersih. Tak ada awan mendung menggantung. Insya Allah cuaca malam ini lebih bersahabat.
Kami sepakat bertemu di selasar masjid UIN Sunan Kalijaga. Ia sampai duluan. Maklum kosnya hanya sepantaran langkah kaki. Beda sama saya yang harus memacu si merah. Jalan kaki sih bisa, cuma lama regh. Bukankah kita lebih baik mengefisienkan tenaga dan waktu yang tersedia ? karena itu saya menggeber si merah kembali membelah malam.
Malam itu banyak hal yang saya tuai dari Zahra. Ia adalah mahasiswi yang penuh semangat dan jujur. Dari tutur bicaranya saya tahu dia adalah orang yang hobi membaca. Karena salah satu ciri orang rajin baca adalah tak kehabisan bahan untuk berbicara. Sebaliknya ciri orang yang kurang rajin baca ya omongannya itu itu wae. Gak berkembang. Sekali ngomong yang beda tema malah ngawur gak jelas.
Salah satu hal terpenting yang saya dapatkan malam itu dari Zahra adalah bagaimana me-manage hati dan perasaan agar kita bisa menciptakan sendiri kenyamanan dalam hidup. kita terkadang merasa tidak nyaman karena kehadiran orang lain, namun tak jarang juga kita merasa gak nyaman karena diri kita pribadi to ? hal tersebut terjadi karena kita belum bisa menerima dengan penerimaan yang sesungguhnya.
Kecamuk pikiran, dialektika perasaan, dinamika hati dan logika kerap membuat seorang individu terkatung-katung dalam kegamangan. Kalau sudah gamang mah mana bisa nyaman. Iya kan ? lantas apa yang harus kita perbuat kala kegamangan menyapa ? nangis ? atau mungkin upload status di FB ? atau bisa jadi upload foto teralay. Sebagian orang malah mengusir kegamangan mereka dengan piknik. Menghabiskan banyak duit.
Maka tatkala gamang melanda bukan kurang piknik masalahnya, bukan upload status jawabannya. Apalagi marah-marah dan mengeluh. Itu bukan solusi, bro. Namun karena penerimaan hati yang belum paripurna. Maka oleh karena itu di goresan kali ini secara singkat saya hendak menguraikan tentang dialektika logika dan hati. Permasalahan menerima atau menolak suatu hal adalah perkara hati dan logika.
Judulnya keren bang ?  iya emang sengaja dibikin keren meskipun substasnsinya masih kesana-kemari. Hehe. Dialektika merupakan salah satu ajaran Hegel. Filsuf kenamaan sepanjang sejarah. Anda yang mempelajari filsafat pasti lebih tahu dari saya. Hegel menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan menimbulkan hal lain. Pernah dengar istilah tesis antitesis dan sintesis ? oke, sekarang kita tidak sedang berfilsafat. Biar di kesempatan lain kita akan mendiskusikannya.
Ketika saya memilih judul dialetika hati dan logika artinya saya membenturkan dua hal tersebut untuk menemukan hal yang baru. Bukan dibenturkan secara harfiah, akan tetapi abstrak. Fungsi hati kita benturkan dengan fungsi logika. Ini menjadi penting karena hanya manusialah yang diberi kenikmatan hati dan logika oleh Tuhan.
Hati merupakan pusat nilai etis manusia. Ketika manusia berbuat yang tidak sesuai dengan suara hatinya maka kita akan mengatakan perbuatannya tidak etis. Ke kampus masak gak pake baju. Bupati kok make narkoba. Dana haji dan al Qur’an kok dikorupsi? Pernah berfikir seperti itu? Hal tersebut menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan yang demikian merupakan perbuatan yang tidak etis.
Sedangkan logika memiliki fungsi rasionalitasnya. Dengan logika kita melakukan tindakan yang mendatangkan manfaat serta menghindari tindakan-tindakan yang merugikan. Nah dua kenikmatan ini ( hati dan logika ) jika berjalan sendiri-sendiri bisa menjadikan manusia keluar dari nilai-nilai ideal kemanusiaannya.
Orang yang sedang jatuh cinta kerap dikuasai oleh perasaannya. Apalagi yang lagi kasmaran ( pengalaman, regh -_- ). Saat si dia minta itu ini kita tak akan berpikir panjang untuk memberikannya atau tidak, yang terpenting si dia senang dan bahagia karena kita, iya to ? bahkan untuk kasus yang lebih ekstrem. Banyak wanita yang rela memberi mahkota berharga yang ia miliki lantaran “cinta”. Konon itu jadi pembuktian. Perasaan memang labil saudara-saudara.
Andai kita mau melibatkan logika kala perasaan dalam hati tak bisa dibendung niscaya akan lain ceritanya. Saat si dia minta itu ini kita akan berfikir – dengan logika – apa untungnya, lebih banyak manfaat atau mudharatnya jika saya melakukan hal itu untuk dia. Bagi para wanita mereka akan berfikir, apa iya transaksi keperawanan jadi bukti cinta ? bukannya cinta itu gak menuntut ? bukannya cinta itu menjaga. Dan bukan kah cinta akan lebih aman jika disahkan di depan penghulu bukan dengan berzina ?
Pun kala logika dibiarkan berjalan sendiri. Ia akan membuat seorang individu menjadi egois bin apatis. Perilakunya sekuler saudara-saudara. Hanya memikirkan apa yang bermanfaat dan apa yang tidak merugikan baginya. Masalah itu etis atau tidak bukan jadi soal. Yang penting untung dan untung terus.
Nah dialektika perasaan dan logika akan melahirkan kebijakan dalam bersikap. Kala hati terlampau baper logika yang akan menuntun. Saat logika terlalu egois hati yang akan mengarahkan. Om Alfred Adler, salah seorang tokoh psikologi berpesan “ Follow your heart, but take your brain with you ”. versi arabnya “ Ittabi’ qolbak, walaakin khuz fikrotan ma’ak ”
Ikuti hatimu, tapi bawa juga otak ( pikiran, logika ) bersamamu. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang mensinergikan pikiran dan hati. Perasaan dan logika.
Isy karima.. hiduplah dengan mulia.

Jogjakarta, 23 maret 2016
07:09 WIB

Bang izzu

Komentar

Postingan Populer