Keegoisan Beragama

Beberapa hari lalu sebuah bom bunuh diri meledak di Lahore, Pakistan. Mengakibatkan 300 orang lebih luka-luka dan 72 lainnya meregang nyawa. Kebanyakan wanita dan anak-anak. Dunia mengecam, Presiden RI Ir Joko Widodo juga ikut mengecam melalui akun twitter beliau. Teror atas nama apapun tidak dibenarkan. Begitu kata presiden Indonesia ke-7 ini diikuti duka cita untuk warga Pakistan.
Bom bunuh diri di Pakistan jaraknya tak lama dengan bom bunuh diri di Turki dan juga Belgia. Dalam kasus bom bunuh diri di Lahore, Pakistan ini, kelompok Thaliban secara resmi menyatakan bertanggung jawab atas penyerangan tersebut dan mengaku menyasar kaum Kristiani. Iya, bom itu meledak tepat saat orang-orang tengah merayakan Paskah.
Ada dua hal yang saya sadari dari peristiwa tersebut. Tentu tanpa mengurangi rasa simpati dan duka cita pada para korban. Saya bukanlah mahasiswa Ilmu Teologi ataupun Hubungan Internasional. Diri ini hanyalah mahasiswa yang belajar bahasa Arab setiap hari. Meski kami juga belajar kebudayaan Arab yang bersinggungan langsung dengan konflik dan segala dinamika timur tengah. Dua hal yang saya sadari itu berkaitan dengan agama dan nasionalisme kita – bangsa Indonesia.
Yang pertama, ada keegoisan beragama yang ditunjukkan oleh beberapa kelompok. Baik di timur tengah pun juga di Indonesia. Kedua, kita harus bersyukur memiliki Pancasila yang notabene pemersatu beragam perbedaan. Luar biasa filosofi Bhineka Tunggal Ika yang dicita-citakan pendiri bangsa ini. Kenapa saya bilang begitu ? nyatanya  Indonesia yang bukan negara Islam jauh lebih aman ketimbang negara-negara berasaskan Islam.
Kita bisa bebas beribadah tanpa ada rasa takut. Sedangkan saudara-saudara kita di timur tengah sana selalu waspada setiap detik karena bom bunuh diri mengintai tak kenal waktu dan tempat. Bayangkan Indonesia kondisinya kayak begitu. Apa bisa wajah ini tersenyum lebar dan selfie setiap hari ? meminjam istilah bang Rasinah Abdul Sigit “ ente bisa ngopi dan demo koar-koar mendirikan khilafah di Indonesia dengan aman karena Pancasila, bro ”
Bang, maksud keegoisan beragama itu apa, sih ? ya egois, Dek. Adek tahu definisi egois itu kan? Mau menang sendiri, ingin segala kehendaknya tercapai. Orang egois biasanya kurang pluralis. Ia menganggap prinsipnya lah yang paling benar. Prinsip orang lain salah. Dalam ilmu sosiologi dikenal dengan istilah etnosentrisme. Menganggap kelompoknya yang paling benar dan memandang remeh kelompok lain.
Perbedaan merupakan sunnatullah. Ia menjadi warna kehidupan anak-cucu Adam. Bayangkan jika tidak ada perbedaan diantara kita, hidup akan monoton, tidak ada dinamika, dan membosankan. Tapi dengan perbedaan yang Allah ciptakan menunjukkan betapa Maha Asyiknya Dia. Dengan perbedaan hidup jadi indah.
Pun dengan keberagaman agama di muka bumi. Islam, Kristen, dan Yahudi selaku agama ibrani dan montoeisme menjadi mayoritas yang dipeluk oleh penduduk dunia. Islam sendiri persentasenya lumayan gede. Kalau dihitung rata-rata, 1 dari 8 orang di dunia beragama Islam. Sisanya Yahudi, Nasrani, Budha, Hindu, Konghucu, dan agama-agama lain.
Sebagai muslim sejati kita mengetahui prinsip dalam agama bahwa Islam lah yang terbaik. Ia merupakan siratal mustaqim menuju kebahagiaan hakiki. Ajarannya begitu komplit nan paripurna. Al Qur’an selalu jadi kebanggan. Itulah satu-satunya kitab suci di penjuru jagat raya yang dihafalkan oleh jutaan manusia. Adapun kita selaku pemeluknya adalah ummat terbaik. Sudah jelas termaktub dalam al Qur’an.
Sayangnya ada beberapa kelompok yang terlalu ekstrem dalam memahami konsep agama dan umat terbaik ini. Mereka lah orang-orang yang menjadikan jihad sebagai pembenaran memberantas agama-agama lain. Yang bukan Islam halal dibunuh. Menumpahkan darah mereka adalah prestasi tak ternilai. Bom bunuh diri untuk membunuh kaum nonis ( non islam ) pun jadi ladang jihad bagi mereka. Semuanya atas nama jihad. Mereka memiliki cita-cita menegakkan agama Allah di muka bumi. Niat yang sangat mulia namun sayang dalam eksekusinya jutaan nyawa melayang sia-sia.
Padahal jika menilik ajaran Islam lebih dalam lagi, tidak ada satupun dalil yang menghalalkan radikalisme. Meski bertujuan mengislamkan orang lain. Mengislamkan orang dengan kekerasaan hanya akan membuat mereka terpaksa masuk Islam ( itupun kalau berhasil ). Dan segala sesuatu yang dipaksakan takkan memberi hasil maksimal. Bukankah dalam al Qur’an sudah termaktub bagimu agamamu bagiku agamaku. Lantas buat apa maksa-maksain orang masuk Islam. Kalau ingin berdakwah tempuhlah langkah-langkah yang lebih manusiawi.
Keegoisan beragama juga ditunjukkan dengan “kebencian” terhadap agama lain. Memandang mereka sesat, bodoh, dan celaka. Motif taliban melakukan bom bunuh diri dengan menyasar kristiani merupakan indikasi keegoisan beragama. Padahal apa salah saudara-saudara kita umat kristiani itu ? mereka tak pernah menggangu kalian kan ? lantas buat apa kalian mengganggu mereka ? bukan mengganggu lagi, tapi membunuh. Astagfirullah ! sejak kapan dakwah berubah jadi hal yang menyeramkan ? bukan kah dakwah itu adem, lembut, dan santun ? bukan dengan pertumpahan darah yang tiada berujung.
Di internal Islam sendiri saya melihat ada indikasi keegoisan beragama. Ini antar sesama muslim, hanya saja beda “bendera”. Sebagaimana yang kita ketahui dalam Islam ada banyak sekali bendera (baca:aliran). Ahlus sunnah wal jama’ah, ahlus sunnah ( wahabi-salafi ), syiah, mu’tazilah, hingga ahmadiyah. Sering terjadi benturan antar sekte-sekte ini. Bahkan di Timur Tengah sana konflik Sunni-Syiah tiada habisnya. Tiap jumat mereka gantian ngelempar bom. Padahal mereka sama-sama Islam. Sama-sama membaca Al Qur’an dan sama-sama bersyahdat, tapi kok ya bisa saling bunuh gitu ? itulah the power of egois. Egois beragama.
Di Indonesia juga demikian. Akui saja banyak diantara kita yang “sentimen” – jika terlalu ekstrem menggunakan kata benci – terhadap kaum Syiah. Bahkan saya pernah baca suatu postingan di media sosial yang captionnya tertulis “ Syiah bukan Islam ”. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala membacanya. Merujuk pada konfrensi Ulama sedunia, definisi muslim adalah mereka yang meyakini rukun Iman dan melaksanakan rukun Islam. Lah Syiah solat gak ? puasa ora ? bersyahadat apa gak ? mereka sama kayak kita, menjalankan rukun iman dan islam. Hanya saja berbeda dalam beberapa aspek far’iyah ( cabang ). Syiah hanya mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, adapun yang lain mereka anggap sebagai perebut hak Ali. Kalau kita kan mengakui keempat-empatnya. Lantas buat apa berdebat karena perbedaan ini? gak ada dalam rukun iman mengakui Abu bakar, Umar, dan Usman jadi khalifah tuh, gak ada.
Pun konfrontasi Sunni-Wahabi di Nusantara. Kalau bulan maulid sudah mendekat, media sosial pasti ramai memperbincangkan “bid’ah” maulid. Wahabi mengklaim maulid bid’ah sedangkan Sunni tidak terima dikatakan demikian. Fenomena ini sudah terjadi berkali-kali. Membentuk pola yang sudah bisa ditebak. Tahun depan perhatikan saja, perdebatan semacam itu pasti terulang kembali.
Kok bisa begitu bang ? karena yang Wahabi terlalu egois begitupun yang menolak kebid’ahan maulid. Sama-sama egois. Masing-masing kelompok menganggap mereka lah yang paling benar. Nah keegoisan semacam ini yang membuat mereka memandang suatu perkara dari satu perspektif saja. Coba yang Wahabi melihat dari perspektif sunni kenapa mereka melakukan maulid. Pun juga dengan kaum Sunni, coba lihat dari perspektif Wahabi kenapa mereka membid’ahkan maulid. Kalau sudah tahu alasannya apa niscaya akan timbul saling pengertian antara keduanya. Mereka paham kenapa kita melakukan maulid. Kita pun paham apa alasan mereka tidak melakukan maulid. Selesai urusan. Bagimu prinsipmu bagiku prinsipku. Yang penting kita sama-sama Islam, ngono regh.
Kenapa kebanyakan kita membenci Syiah ? karena kita mendengar ceramah, membaca artikel, dan menyaksikan tausyiah dari para “ulama” yang membenci Syiah. Sehingga keburukan-keburukan Syiah terus yang ditonjolkan, yang baik-baiknya ditutupi. Emang Syiah ada sisi baiknya, Bang ? Ada lah, Dek. Kamu pikir revolusi Iran berhasil karena apa ? karena semangat orang-orang Syiah. Dan satu lagi, kalau kamu baca kritik Nalar Arab karya Abid Al-Jabiri ataupun buku tentang pemikiran Arab lainnya, jangan kaget kalau banyak sekali tokoh Syiah dan mu’tazilah yang membuat geliat intelektual Islam hidup. Tidak stagnan dan pasrah jadi muqallid ( tukang ngikut wae )
Saya sedih kala melihat tokoh-tokoh Islam moderat di Indonesia, macam Prof Quraish Shihab ataupun Prof Qomarudin Hidayat dikatai liberal lah, antek-antek Syiah lah, dan lain sebagainya. Mereka dikatai demikian gara-gara gak ikut-ikutan “ membenci ” Syiah. Mereka tokoh yang menawarkan jalan tengah antara berbagai “bendera” dalam Islam. Sayangnya, keegosian beragama yang menjangkiti sebagian umat Islam telah membuat mereka memandang ulama-ulama cerdas tersebut dengan tatapan sentimen. Naudzubillahi min dzalik. Salahkah jika seorang alim ulama ingin agar umat Islam berdamai di tengah heterogennya aliran-aliran yang kian egois itu ?
Semoga kegelisahan spiritual dari penulis ini tidak termasuk keegosian beragama juga. Penulis hanya ingin melihat umat Islam mampu menghormati perbedaan baik eskternal maupun internal. Karena perbedaan adalah rahmat dari Allah. Membenci atau menentang perbedaan sama artinya menentang Sunnatullah itu sendiri.
Wallahu a’lam
Isy karima.. hiduplah dengan mulia...


Jogjakarta, 29 Maret 2016
21:53 WIB

Bang Izzu

Komentar

Postingan Populer