Jawaban Kegalauan



Entah kenapa beberapa hari terakhir saya bawaannya gabut melulu. Malas ngapa-ngapain. Lebih tepatnya bingung mau melakukan apa. Membaca dan menulis pun saya paksakan diri sekeras mungkin. Apa yang salah dalam diri  saya ? mungkin ini semacam virus bosan yang tengah menggrogoti ? tapi kalau boleh jujur, sebenarnya saya merasa kesepian. Penyakit lama yang kembali menyeruak.
Teringat nasihat kak Wulan beberapa hari lalu, “ maybe you need a girlfriend ” selorohnya lewat pesan BBM. “ Oh no.. that’s bad idea ” tukas saya dibalas tawa oleh beliau di Malang sana. Entah kenapa usul gila dari kak Wulan itu sekelabat melintas. Mungkinkah saya butuh pacar agar tidak merasa bosan dan sepi di tanah rantau ? hati mulai goyah. Otak mulai menimbang siapa yang cocok dijadikan calon “pacar”, hingga akhirnya bibir beristigfar menyadari kekeliruan dan kegoyahan prinsip. TIDAK! Pacaran bukan solusi. Menjalin hubungan malah akan menambah beban . Menghabis-habiskan waktu. Tidak banyak manfaat yang bisa saya dapat. Ide mencari pacar pun gugur dari pikiran.
Sore ini langit mendung mengungkung kota. Gemuruh guntur sesekali terdengar. Tidak keras. Puluhan burung terbang pulang. Mengepakkan sayap menuju peraduan. Serasi dengan mentari yang mulai redup di ufuk barat. Semburat merah tergurat cantik. Pasrah digusur sang malam yang sebentar lagi datang. Sayup azan magrib mendayu-dayu dari masjid-masjid di sekitar desa Catur Tunggal. Memanggil hamba-hamba Allah. Panggilan untuk pulang. Panggilan kerinduan dari Tuhan.
Seusai menunaikan 3 rakaat di masjid Baiturrahim saya pun segera kembali ke kos. Nampaknya malam ini akan turun hujan. Hujan di malam minggu bagi kami – barisan para jomblo – sudah biasa. Namun momok yang mengecewakan bagi mereka yang rutin kencan. Memadu kasih dengan belahan jiwa. Saling melontarkan kata cinta. Membuat laris ratusan bunga yang dijual oleh para mahasiswa di perempatan-perempatan jalan protokol.
Tadinya saya hendak beli lauk di dekat masjid untuk santap malam. Tapi warung langganan sudah tutup. Terpaksa mie instan jadi pilihan. Dan malam ini giliran mie goreng sedaap punya giliran. Dengan cekatan saya menyiapkan satu porsi mie goreng dibantu air panas dari dispenser yang setia menemani hari-hari di kos yang pengap ini. Sebentar lagi mie goreng siap disantap. Perut dari tadi sudah menggerutu tak sabar diisi.
Baru hari ini saya punya kuota lagi. Setelah 4 hari berturut-turut hanya bisa mengandalkan wifi kampus. Ada ratusan pesan WA, Line dan beberapa BBM yang masuk. Beberapa saya balas namun sebagian hanya saya baca saja.
Ping ! pesan BBM masuk.
Dari Abi. Sahabat saya yang kini kuliah di UIN Malang jurusan perbankan syariah. Teringat pesannya tadi sore kala menanyakan apakah jarak UMY – UGM jauh. Saya pribadi belum pernah ke UMY. Namun setahu saya – mendengar dari teman-teman yang lain – masih lebih jauh UGM – UII daripada UGM - UMY.
Saya bukan pesan BBM dari Abi yang baru masuk
Lah ini saya lagi di UGM.
Apaaaahhh ?? ( ekspresi kaget kayak di film-film ) saya kaget bukan main. Khawatir salah baca atau gagal fokus karena sudah dua minggu tak minum aqua, saya pun membaca ulang pesan BBM itu.
Lah ini saya lagi di UGM.
TIDAK ! saya tidak salah baca. Serta merta saya mengintrogasi Abi. Bagai wartawan membrondong narasumber terpenting sepanjang karier. Bagai polisi menanyai buronan kelas wahid yang baru tertangkap. Apakah benar ia sedang di UGM malam ini. Sedang apa, bersama siapa, sampai jam berapa.
Iya, di cafetaria kopma, bareng Fina.
Cafetaria kopma ? insya Allah saya tahu. Fina ? siapa dia ? ah nanti juga saya akan tahu. Setelah mengkonfirmasi saya akan menemuinya dan ia bersedia menunggu, saya pun segera bersiap. Jaket andalan malam ini masih basah. Belum kering sempurna lantaran baru dijemur siang tadi. Ia tak bisa saja ajak keluar malam ini. Padahal kemana-mana ia selalu menemani tubuh kurus ini.
Di depan kos sembari mengeluarkan si merah dari garasi saya pamit dulu pada si mbah yang tengah duduk seorang diri di teras depan. Mengabarinya saya hendak keluar menemui teman.
“ Monggo monggo, hati-hati, Mas ”
“ Nggih, Mbah ”
Sejurus kemudian si merah saya pacu melewati gang-gang perum Polri Gowok. Kurang 1 menit padatnya jalan protokol langsung menyambut. Ini yang saya wanti-wanti makanya minta konfirmasi kesediaan Abi menunggu terlebih dahulu. Disamping jarak kos dengan kampus yang tidak dekat, kepadatan lalu lintas di malam minggu dipastikan akan memperlambat mobilitas saya sampai di kopma kampus. Kan mubazir kalau saya sudah sampai di sana tapi Abi malah telah pulang.
Abi, nama lengkapnya Rabiatun Adawiyah. Saya mengenalnya sejak duduk di bangku kelas 1 Madrasah Aliyah. Kami seumuran. Hanya beda 10 hari. Saya lahir 14 Januari, dia 24 Januari. Di Lombok ia akrab disapa Atun. Namun sejak hijrah ke UIN Malang ia resmi mendapat nama panggilan baru, Abi. Jangan tanya masalah intelektual. Saya menaruh hormat padanya. IP yang ia dapatkan jadi jaminan. Semuanya di atas 3,5. Bahkan saat semester awal ia berhasil meraih IP 3,95.
Kalau softskill piye, bang ? ia datang ke Jogja karena softskill-nya, Dek. Mewakili UIN Malang dalam lomba debat ekonomi Islam yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pantas saja ia menanyakan UMY di BBM tadi. Dan yang membuat saya menaruh hormat lagi padanya adalah statusnya yang kini sebagai santri wati di pesantren Darul Qur’an Malang. Ia hafidzoh. Masalah ini saya sudah kalah telak darinya sejak Aliyah dulu. Saya iri padanya.
Ia tiba sejak Rabu lalu namun baru di hari terakhir mengabari kami – saya dan Fina. Oiya, Fina ini ternyata sepupu Abi yang juga kuliah di UGM, Sekolah Vokasi jurusan Rekam Medik. Saya sempat kesal dengannya yang mengabari di hari-hari terakhir. Bukan apa-apa. Paling tidak jika mengabari jauh-jauh hari sebelumnya, kami bisa menjadi tuan rumah atau tour guide yang baik buat dia.
Gak mau keganggu fokus aja makanya gak ngabarin ” selorohnya sembari tertawa lepas tanpa dosa. Anak ini sedari dulu memang tak pernah berubah. Selalu ceplas ceplos apa adanya. Bodo amat dengan komentar orang. Selama ia meyakini apa yang ia lakukan baik ia akan teguh pada pendirian.
Kami ngobrol ngalor-ngidul di Cafetaria kopma. Saya izin memesan makanan dan es teh pada mereka. Perut kelaparan dari tadi. Kan gak lucu kalau saya pingsan lantaran kelaparan di hadapan dua gadis asal Dasan Lekong Lombok Timur ini. Apa kabar mie goreng yang tadi saya buat ? haha.. saya simpan di kos. Nantilah sehabis pulang menemani Abi pun masih bisa saya santap. Bersilaturahim dengan sahabat jauh lebih penting dari sepiring mie goreng.
“ Izz makin kurus ya ? mikirin materi kuliah aja mungkin ” tukasnya. Komentar yang sama saat kami bersua kembali setelah lama tak berjumpa di Malang tahun lalu. Saya menyeringai. Ini kurus bukan karena kuliah regh, tapi karena sedikit makan aja. :D.
Kami tak berlama-lama di Cafetaria. Jam 9 tempat makan dekat Gelanggang itu harus tutup. Oleh Fina, Abi diajak ke GSP. Salah satu ikon UGM. Aula serba guna kampus yang lapangannya milik umum. Setiap pagi dan sore selalu diramaikan oleh masyarakat yang berjoging ria. Disitulah kami menghabiskan malam minggu. Duduk tepat di depan tulisan Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada.
Ada hal yang unik antara saya dengan Abi. Saya sangat ingin kuliah di UIN Malang namun ujungnya masuk UGM. Abi sebaliknya. Ia ingin masuk UGM namun takdir memilihkan UIN Malang untuknya. Kami seperti mahasiswa yang tertukar. :D. Karena itu saya dan Abi sering berbagi cerita. Abi menceritakan apa yang ia dapat di UIN pun juga dengan saya menceritakan apa yang saya dapatkan di UGM. Kami Ibarat dua kosmos yang melakukan simbiosis mutualisme-meminjam bahasa Biologi.
“ Ayo kita diskusi, kayaknya seru diskusi malam-malam disini ” ajak Abi riang. Saya mengangguk, pun juga dengan Fina. Mulailah malam itu kami malam mingguan dengan diskusi kesana-kemari.
Diawali dengan tips-tips membaca. Saya berbagi kepada mereka bagaimana  perjuangan saya “memaksa” diri untuk rajin membaca. Bukan rajin sih, tapi rutin. Sulit memang. Karena kalau gampang tentu semua orang akan suka baca. Semua orang jadi pintar. Jika kita ingin bisa membaca paksalah diri untuk rutin baca. Bila perlu buat fatwa untuk diri sendiri membaca itu hukumnya wajib. Bukan sunnah muakkad apalagi bid’ah. Wajib ! fardhu ‘ain. Bosan pasti melanda. Capek sudah pasti iya. Tapi terus paksa diri hingga kita merasa ada yang kurang atau merasa berdosa kala dalam satu hari belum membaca apapun.
Saya dan Fina juga meminta Abi menceritakan pengalamannya berdebat di kompetisi nasional. Kami mendengar dengan seksama. Mental anak ini semakin terasah saja. Saya bisa merasakan dari getaran nada bicaranya. Lugas, tegas, dan tidak jaim. Ia masih saja sama dengan yang dulu. Selalu semangat dan berapi-api dalam setiap pembicaraan. Apalagi yang ia anggap punya banyak manfaat.
Malam itu ada satu pertanyaan dari Abi yang sangat menampar saya. “ Hafalannya sudah berapa? ” saya hanya bisa tertunduk malu menerima pertanyaan itu. Dengan penuh kejujuran saya menggeleng. Rasa berdosa seakan menusuk ke ulu hati.
“ belum nambah ”
Rasanya pertanyaan Abi muncul pada saat yang tepat. Karena keesokan harinya saya akan menghadiri launching GMMQ ( Gadjah Mada Menghafal Qur’an ) di Masjid Kampus. Program gerakan menghafal yang di gagas pihak UGM. Semoga awal yang baik. Dan semoga pertanyaan itu bisa melecut semangat saya.
Malam itu juga saya sharing dengan Abi dan Fina terkait kesepian yang saya rasa. Jujur saya merasa belum punya patner yang satu visi dengan saya. Sepintas Abi menatap agak berbeda mendengar keluhan itu. Saya galau ? iya . merasa sepi ? ho-oh. Gabut ? benar sekali. Saya minta saran pada Abi dan Fina.
Abi angkat bicara. Ia ternyata pernah merasakan apa yang saya alami kini. Galau, sepi, dan tidak menemukan patner yang satu visi. Lantas pernahkah Abi merasa sepi ? jelas pernah. Galau ? iya. Tapi, katanya, galau itu sebenarnya karena kita belum mampu seperti orang lain yang lebih hebat dari kita. Dan cara mengatasi kegalauan seperti itu adalah dengan berusaha semaksimal mungkin meningkatkan kapasitas dan kapabilitas.
“ Ketika Abi merasa galau, atau lagi malas, atau mungkin gabut, gimana tips untuk menyiasati itu semua ? ” tanya saya.
“ Kalau Abi lagi galau, Abi ingat Abi punya tujuan ”
Jleb... saya coba merenungi kalimat Abi ini. TUJUAN. Iya tujuan. Apa tujuan saya ke sini ? bukankah saya punya tujuan ? lantas apakah saya galau karena tujuan itu atau karena hal-hal yang mengganggu atau memperlambat tercapainya tujuan tersebut ?
“ Abi fokus sama tujuan itu. Karena hanya orang-orang yang fokus yang akan sampai pada tujuan mereka. Terus kalau lagi galau ? jujur Abi juga belum menemukan teman yang satu visi meskipun sudah hampir dua tahun di Malang. Ya udah Abi gak pusing mikirin itu. Kalau Abi belum menemukan teman yang satu visi Abi bisa kok berjalan sendiri. Berusaha meningkatkan kualitas diri. Dan jika Abi mendapat kesulitan Abi akan bertanya sama guru-guru atau orang-orang yang punya kompetensi di bidang yang Abi galaukan. Izz masih ingat kan ? dulu Abi galau karena gak bisa ngomong di depan umum. Public speaking Abi jelek. Abi pun minta tolong diajari sama Izz via telepon. Alhamdulillah hasilnya lumayan baik. Sekarang Abi bisa ikut debat. Waktu menghafal ada ayat yang sulit banget masuk, Abi bertanya sama musyrifah di pondok. Kenapa ya kok susah banget ngafalin ini? Musyrifah Abi bilang itulah ujian penghafal qur’an. Kamu pasti akan menghadapinya. Yang penting istiqomah dan jangan menyerah. Bersama kesulitan ada lebih banyak kemudahan ”
Saya termangu mendengar ulasan Abi. Ya Allah inikah jawaban atas kegalauan beberapa hari terakhir. Iya, aku galau karena aku lupa aku punya tujuan. Aku galau ? iya karena aku terlalu memanjakan rasa kesepian yang menghampiri. Aku galau ? iya karena memikirkan jalan keluarnya apa padahal jalan keluarnya ada di tanganku sendiri. Kamu sudah punya teman terbaik, Zu. Ada Abi, dan lain-lain.
Sejenak saya teringat kalimat hikmah di berugak rumah Bapak Bupati KLU, H. Najmul Akhyar. Khairu jalisin fi kulli zamanin al kitabu. Sebaik-baik teman dalam setiap masa adalah buku. Hey. Itu berarti di kos kamu punya banyak teman. Ada banyak buku yang belum kamu baca. Itu kawakib ! kenapa kamu gak tamatkan saja ? jangan beli kitab lain sebelum tamat membacanya!
Syukur tiada henti saya lantunkan dalam hati. Apa yang saya dengar dari Abi bagai menghapus dahaga berkepanjangan. Kalimat demi kalimatnya bak tetesan hujan deras membasahi tanah yang gersang. Semoga ini jawaban kegalauan beberapa hari terakhir.
Di akhir diskusi kami, Abi meminta saya menutup pertemuan itu. Kami bertiga, Saya, Abi, dan Fina sama-sama orang desa. Sesama orang Lombok Timur. dan kini sama-sama tengah merantau di tanah Jawa. Dan yang paling penting kami sama-sama punya mimpi kuliah ke luar negeri.
“ Kita sama-sama kepingin ke luar negeri. Izz ke Oxford, Cambridge, sama apa ? ” Abi bertanya ke saya.
“ Kalau gak Oxford, ya Cambridge atau ke Maroko ” tukas saya mantap.
“ Nah, Izz ke Oxford, Cambridge atau Maroko, Abi pengen ke Oxford, dan Fina ke Australia ” ucap Abi semangat. Meskipun malam semakin larut namun semangat gadis ini tak pernah layu.
“ Baiklah, di bawah langit malam. Di depan GSP ini. Di Universitas kerakyatan ini. Semoga Allah mengabulkan doa-doa kita untuk bisa kuliah di luar negeri suatu saat nanti. Semoga Allah selalu mebimbing kita, dan kita bisa menjadi pribadi yang baik dan bermanfaat untuk banyak orang. Ammmiinnn ”
“ Aaammiinnn ” Abi dan Fina kompak.
“ Man Jadda Wajada ” saya mengepalkan tinju ke langit. Disambut senyum oleh Abi dan Fina.
“ SubhanaKa Allahumma wabihamdiKa Ashadu an laa ilaha illa Anta astagfiruka wa atubu ilaik ” Abi memimpin doa kifaratul majlis di penghujung diskusi.
Kami bangkit. Beranjak menuju samping timur tempat motor terparkir.
“ Itu do’a siapa yang ngajarin ya? ” Abi tersenyum. Saya ikut tersenyum. Terbayang sebuah episode di masa lalu. Saat kami berbicara banyak lewat sambungan telepon.
“ Siapa ya ? ” saya pura-pura tidak tahu. Abi tertawa.
“ Cie... Nostalgia, saya mah nostalgianya sama siapa ya ” Fina berseloroh di sambut gelak tawa kami.
Ah goresan ini bukan tentang nostalgia. Biarkan bagian itu jadi sepotong kisah dalam lubuk hati. Tersimpan rapi sebagai motivasi yang membangun. Kali ini saya menuliskan tentang semangat yang tertular. Tentang jawaban kegalauan berhari-hari terakhir. Tentang mimpi. Tentang tujuan. Tentang jalan keluar. Tentang hidayah dan taufik dari Allah SWT.
Terima kasih untuk malam ini sahabat terbaikku. Insya Allah, esok, aku akan terbangun dengan kobaran semangat yang lebih dahsyat. Menjadi pribadi yang teguh merengkuh tujuan. Fokus pada yang bermanfaat. Dan tangguh menghadapi rintangan baik dari internal maupun eksternal.
Isy karima... hiduplah dengan mulia...

Jogjakarta, 13 Maret 2016
08:15 WIB

King Izzu

foto : Abi alias Atun, lokasi : Cafetaria Kopma UGM

Mengabadikan momen, lokasi : GSP UGM, taken by : Fina


Komentar

Postingan Populer