Orang Tua Sang Profesor
Saya pertama kali
mendengar nama UIN Malang dari paman Firdaus. Setelah nyantren di MDQH NW
Pancor selama dua tahun, beliau melanjutkan studi ke S1 jurusan ahwal
assyakhsiyah di UIN Malang. Kala itu namanya masih STAIN Malang. Setiap sekali
setahun beliau pulang ke Lombok. Kadang-kadang pernah juga hanya sekali dalam
dua tahun. Sejak saat itu saya bercita-cita ingin kuliah di luar Lombok juga
meski masih belum tahu seperti apa rasa dan sensasi kuliah. Dari FTV saya
mengetahui bahwa kuliah gak mengenal seragam dan kayaknya menyenangkan.
Di FTV mahasiswa kelihatan bahagia, gak ada PR, tugas-tugas, apalagi
dapat sanksi hukuman. Saya jadi makin semangat pengen kuliah. Padahal saat itu masih kelas 4 SD.
Ada satu nama yang saya
ketahui dari paman Firdaus. Sosok yang memiliki andil besar dalam perkembangan
STAIN Malang ( kini UIN Malang ). Prof. Dr. Imam Suprayogo, tokoh yang menjadi leader
di perguruan tinggi tersebut selama 16 tahun lebih. Masih teringat betul jejak
metamorfosis kampus ulul albab itu. Dari STAIN Malang, lalu IAIN Malang,
kemudian UIIS ( Universitas Islam Indonesia Sudan, hingga akhirnya resmi
menjadi Universitas Islam Negeri.
Prof Imam dikenal sebagai
akademisi yang cakap dan berkompeten. Beliau memiliki banyak insiatif dan
inovasi dalam pengembangan UIN Malang. Bertahun-tahun lalu UIN Malang hanya
kampus biasa-biasa saja namun hari ini lihatlah ! UIN Malang telah masuk dalam
deretan perguruan tinggi negeri ternama di Nusantara. Ribuan orang dari
berbagai penjuru datang dan mengais ilmu disana. UIN Malanglah satu-satunya
Universitas yang memadukan sistem pondok pesantren dan sistem perguruan tinggi.
Hal ini yang membuat saya tertarik ingin kuliah di UIN Malang dulu.
Alhamdulillah Allah
memberi saya kesempatan dua kali mengunjungi UIN Malang, paling tidak sampai
saat ini. Kedatangan yang pernama sekedar jalan-jalan. Adapun kali kedua dalam
rangka mengikuti seleksi beasiswa timur tengah. saat itu paman saya menelpon
dan berkata “ kamu jalan-jalanlah disana, izz. Kelilingi Malang !! siapa tahu
kamu gak jadi kuliah disana, tapi di Maroko ”. saat itu saya mengamini
apa perkataan paman. Dan benar saja, saya memang tidak jadi kuliah disana (
meski sudah diterima melalui jalur UM-PTKIN ), namun bukan Maroko melainkan
UGM. Masih di Indonesia. setengah doa itu terkabul. Eh tapi bukan setengah ding.
Siapa tahu S2 saya dapat beasiswa dan jadi kuliah di Maroko. Hehe. Kalau gak
saya mungkin istri saya. haha.
Sedari dulu saya menaruh
rasa kagum dan hormat pada tokoh-tokoh yang saya anggap pantas untuk disegani.
Untuk kategori regional, TGB Dr. KH. M. Zainul Majdi MA menjadi sosok yang saya
kagumi. Alhamdulillah Allah berkenan mempertemukan saya dengan beliau. Tahaddust
binni’mah diterima dengan teh hangat di ruang utama kerja beliau. Mendapat
motivasi, nasihat, dan tentunya doa dari beliau. Pengalaman yang tak kan
terlupa.
Ustadz Yusuf Mansyur,
Ustad Arifin Ilham, Aa Gym, Ustad Ahmad Al Habsy, juga mamah Dedeh adalah
tokoh-tokoh yang saya kagumi dalam dunia dakwah. Alhamdulillah sempat bertemu
dengan beliau semua. Pun juga dengan beberapa artis. Meski saya tidak terlalu
suka dengan artis-artis Indonesia kecuali beberapa orang. Tapi tidak dengan
Saiful Jamil. Dulu saya sempat bersua dengannya di masjid Indosiar. Ia mengenakan
gamis putih panjang. Terlihat begitu soleh.
Namun ada juga beberapa
tokoh yang belum bisa saya temui sampai detik ini. seperti Cak Nun, Quraish
Shihab, Ridwan Kamil, begitu juga dengan Prof. Imam Suprayogo. Sering mendengar
nama beliau, pernah membaca tulisannya juga akan tetapi belum pernah bertemu
dengan orangnya. Tapi itu tidak mengurangi rasa hormat dan kagum saya pada
beliau.
Seminggu yang lalu, salah
seorang guru besar Sastra Arab UGM, bapak Prof. Sangidu M. Hum sekaligus mantan
atase pendidikan dan kebudayan KBRI Mesir di tengah-tengah diskusi perkuliahan
menceritakan tentang perjalanan umroh yang beliau lakukan Januari lalu. Beliau
satu kamar dengan Prof. Imam Suprayogo. Tahddust binni’mah saya bisa
mendengar cerita tentang profesor yang saya kagumi dari profesor kami di UGM.
Ternyata, Imam Suprayogo
kecil tumbuh dan berkembang dibawah asuhan orang tua yang sangat hati-hati dan kritis
terhadap akhlak anaknya. Ia tak pernah dituntut menjadi pintar, cerdas, ataupun
berprestasi. Bagi kedua orang tua Imam Suprayogo akhlaklah yang jadi prioritas.
Karena jika akhlak baik insya Allah kecerdasan akan lebih mudah diperoleh.
Kecerdasan yang dibarengi dengan kebaikan akhlak akan menghasilkan kemajuan dan
kebaikan. Akan tetapi kecerdasan yang tidak dibarengi keluhuran akhlak bisa
menjadi malapetaka untuk banyak orang.
Suatu ketika pak Imam
Suprayogo diangkat sebagai guru. Bahagialah kedua orang tuanya di kampung
mendengar kabar tersebut. Namun kebahagian itu hilang 3 bulan kemudian. Bukan
karena pak Imam dipecat atau tidak bisa mengajar dengan baik. Melainkan datang sebuah
kabar yang mengusik ketenangan mereka. Kabar tentang Imam muda yang baru 3
bulan jadi guru tapi sudah bisa membeli motor pribadi.
Tiga hari tiga malam
kedua orang tuanya tidak bisa tidur nyenyak. Siang malam yang terpikir hanyalah
kenapa Imam bisa beli motor ? dapat duit dari mana dia ? bukankah di Indonesia
ini gaji guru terkenal kecil dan sangat rendah ? uang apa yang dipakai Imam
beli motor ?. zaman itu teknologi ponsel seluler belum ada. Andai sudah ada
tentu orang tua beliau bisa langsung menelpon dan bertanya tentang kekhawatiran
dan dugaan mereka.
Karena tak tahan akhirnya
bapak dari Prof Imam pun memutuskan menemui anaknya. Setengah hari ia berjalan
kaki dari kampung. Tak peduli dengan panas yang menyengat, peluh mengucur, dan
kaki yang keletihan. Yang ia inginkan hanya bertemu dengan putranya dan
bertanya kenapa ia bisa beli motor dengan gaji yang sedikit ?
Bukan main kagetnya prof
Imam kala mendapati bapaknya datang
“ Bapak kenapa datang kemari
? ” tanya Prof Imam
“ Sudah, sekarang kasih
bapak minum dulu, bapak capek ” ujar sang bapak dengan nafas ngos-ngosan.
Setelah menyediakan minum dan membiarkan sang bapak mengatur nafas barulah Prof
Imam bertanya kembali
“ Ada apa sampai bapak
jauh-jauh datang kemari ? jalan kaki lagi ”
“ Bapak dan ibumu ini
sudah 3 hari 3 malam gak bisa tidur. Kamu kok bisa beli motor, nak ?
duit dari mana ? gaji kamu kan kecil. Bapak dan ibu khawatir kamu pakai uang
yang gak bener untuk beli motor ”
Serta merta Prof Imam mengeluarkan
beberapa berkas di hadapan sang bapak seraya berkata
“ ini lo pak, Imam beli
motornya kredit. Dipotong dari gaji Imam perbulan selama 3 tahun. Uang yang
Imam pake uang halal ”
“ Oo ya sudah kalau
begitu bapak jadi tenang sekarang. Kalau begitu ayo sekarang antar bapak pulang
”
Dengan motor baru
berstatus kredit itu pun Prof Imam mengantar sang bapak kembali ke desa.
Trenggalek, Jawa Timur.
Apa yang dicontohkan
orang tua dari Prof Imam Suprayogo ini patut menjadi teladan dan pelajaran bagi
banyak orang tua di Indonesia. di zaman yang semakin sekuler ini, kebanyakan
orang tua ingin anak-anak mereka berprestasi, memenangi berbagai lomba,
rangking utama di kelas, jadi pemimpin organisasi. Namun mereka tidak peduli
kala anak mereka dengan tanpa dosa menerobos lampu merah, membuang sampah
sembarangan, dan tidak bisa antri.
Lihatlah, banyak orang
tua dewasa ini mengizinkan anak gadisnya keluar jalan-jalan berdua dengan
lelaki yang bukan muhrim bagi anaknya ( baca : pacar ). Tidak adakah rasa
kekhawatiran dan keresahan di lubuk hati mereka membiarkan anak gadisnya keluar
dengan pacar mereka ? bukankah besar kemungkinan mereka bisa berbuat asusila
yang mencederai akhlak mereka ?
Saya memang bukan orang
tua saat ini. Wong istri aja belum punya, apalagi anak. Akan tetapi saya
percaya bahwa orang tua merupakan madrasah pertama dan utama bagi anak-anak
mereka. Bukan hanya pelajaran dan bimbingan yang harus orang tua berikan. Tapi
juga teladan bagi anak-anak mereka.
Malam ini kita belajar
dari orang tau sang profesor. Semoga bisa menjadi contoh yang baik untuk
seluruh orang tua di nusantara. Aamiinnn.
Isy karima... hiduplah
dengan mulia...
Jogjakarta,
03 Maret 2016
22:10 WIB
King Izzu
Komentar
Posting Komentar