Belajar Dari Revolusi Iran



Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Jum’at mubarok. Sudahkah baca surat al-kahfie hari ini ? yuk yang belum baca ambil air wudu’, sentuh mushaf, duduk menghadap kiblat, kemudian tidur... ya nggak lah, baca al kahfie, Saudara-saudara. Masak baca novel kita sanggup berjam-jam tapi baca al kahfie 20 menit gak kuat ? mana iman kita ??
Hadirin, jama’ah netizen yang dimuliakan Allah, kali ini saya ingin sedikit menggoreskan hasil diskusi bersama Prof. Sangidu dalam mata kuliah kebudayaan Arab kamis kemarin. Meskipun beliau masuk telat setengah jam namun Alhamdulillah seperti biasa, banyak ilmu yang kami tuai dari salah seorang guru besar Sastra Arab UGM ini. Tapi sebelum mulai menguraikan hasil diskusi bersama beliau izinkan saya mengelaborasi tulisan ini dengan mengemukakan definisi kebudayaan. Karena tema besar goresan ini berbicara tentang budaya dan saya selaku mahasiswa ilmu budaya mau tidak mau harus memiliki kompetensi untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang kebudayaan.
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak ( wikipedia). Gimana, mudeng gak sama pengertian yang diberikan ustad Wikipedia ? hehe. Jadi sederhananya begini, budaya itu adalah hasil olah rasa dan karsa manusia. So, bagaimana pola pikir manusia itulah budaya, apa yang mereka buat itulah budaya, dan bagaimana perilaku mereka itu pun termasuk budaya.
Di Indonesia sering terjadi kekeliruan dalam memahami budaya. Kebanyakan masyarakat beranggapan budaya itu sekedar seni tok. Tari, nyanyian, lukisan, dan lain-lain. Tidak salah memang, tapi kurang tepat, Saudara-saudara. Seni adalah bagian dari budaya. Karena kesenian adalah hasil olah rasa dan karsa manusia. Tapi tidak Cuma seni saja melainkan banyak sekali produk kebudayaan yang ada di dunia ini.
Dan menurut  J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Maka, tatkala berbicara tentang kebudayaan Arab kita akan membicarakan tentang gagasan ( pemikiran ) orang Arab, aktifitas atau prilaku bangsa Arab, dan artefak-artefak yang merupakan wujud manifestasi kebudayaan arab.
Lah terus lagu-lagu arab, puisi-puisi arab itu piye Bang ? Kami juga bahas itu lah, Adek. Lagu maupun puisi tidak sekedar instrumen yang digunakan sebagai alat penghibur semata. Namun dari lagu dan puisi kita bisa tahu bagaimana psikososial masyarakat di suatu daerah. Pun juga dengan cerpen maupun novel-novel. Dan itu semua kan – sekali lagi saya tegaskan – adalah buah dari olah pikir manusia. Pokoknya apapun yang manusia buat itulah budaya.
Bang.. berarti “anak” termasuk hasil kebudayaan juga ya ? kan anak juga hasil karya manusia ? Hmmm... itu beda urusan, Dek. Huh ! Okelah ini pertama kali pertanyaan Adek yang Abang gak bisa jawab. Biar jadi PR buat abang. Nanti insya Allah bakalan mencari tahu jawaban dan penjelasannya. Jika diantara pembaca ada yang bersedia bantu menjawab saya akan sangat berterima kasih.
Setiap negara punya budaya tersendiri yang berbeda dengan budaya negara lain. Di Indonesia misalnya, kita punya budaya menunjuk dengan tangan kanan, kalau nunjuk pakai tangan kiri pasti bakalan bikin orang lain tersinggung, iya to ? begitupun kalau mau ber-dadah-dadah say good bye, gak ada ceritanya orang Indonesia berdadah-dadah ria pakai tangan kiri. Beda sama orang Barat, mereka mau pakai tangan kanan atau tangan kiri pun sama saja. Begitupun dengan orang Thailand. Mereka berdadah-dadah ria pakai tangan kiri.
Tahu dari mana Bang ? kalau yang orang Barat tahu dari dosen tapi kalau orang Thailand tahu dari Film dek. Yaelah, dari film..eits,,. Jangan salah dek. Dari film kita bisa mempelajari budaya suatu negara. Karena film itu sendiri akan merepresentasikan budaya di negara tersebut. Kalau nonton film barat pasti adegan ciuman jadi adegan yang biasa to. Kenapa ? karena ciuman di sana memang sudah jadi budaya. Di Indonesia kan berbeda. Nah itulah kebudayaan.
Pun dengan dunia Arab. Mereka memiliki kebudayaan yang berwujud pemikiran, artefak, dan prilaku yang sangat menarik untuk diteliti dan dipelajari. Yang termasuk negara-negara Arab kurang lebih ada sekitar 24 negara, termasuk Palestina. Sekarang banyak diantara negara-negara tersebut tengah mengalami konflik. Entah konflik perang saudara, perebutan kekuasaan, hingga campur tangan Asing di dalamnya.
Ada hal menarik yang Prof. Sangidu sampaikan dalam diskusi kemarin. Terkait revolusi Iran yang terjadi sekitar tahun 1979. Beliau masuk sebagai mahasiswa Sastra Arab UGM pada tahun 1980. Setahun pasca revolusi Iran. Makanya saat itu beliau dan kawan-kawan seangkatan belajar revolusi Iran dengan begitu antusias dikarenakan apa yang mereka pelajari masih hangat-hangatnya jadi perbincangan.
Kita ketahui bersama dalam sejarah, revolusi Iran terjadi lantaran ketidak puasaan masyarakat terhadap Syah Reza Pahlevi yang menjadi pemimpin Iran dengan sistem pemerintahan monarkhi. Ayatullah al Khomeni menjadi pimpinan pergerakan melawan rezim pemerintah. Syah Reza Pahlevi merupakan sosok yang dekat dengan Amerika sehingga negara adidaya tersebut bersedia membantu persenjataan dalam menghadapi pergerakan Ayatullah al Khomeni yang anti Amerika.
Ada satu gerakan yang digencarkan oleh Al Khomeni kala itu dalam membangkitkan semangat masyarakat Iran. Bukan gerakan perang ataupun perlawan melainkan gerakan sholat subuh berjama’ah. Jutaan orang di Iran bersatu padu melaksanakan sholat subuh berjama’ah. Maka tatkala usai solat subuh tentara Syah Reza Pahlevi membrondong jama’ah dengan senjata-senjata mematikan. Lantas apa yang terjadi ? mereka tidak kabur. Pun juga pontang-panting ke sana ke mari mencari tempat berlindung. Tidak sama sekali, Saudara-saudara. Mereka malah maju menerjang tentara-tentara tersebut. Ribuan meninggal terkena peluru tapi tidak membuat yang lain jeri untuk maju. Malah tentara-tentara Syah Reza Pahlevi yang jeri. Melihat ribuan manusia terkapar mati karena peluru tapi yang lain seolah tidak takut mati. Seakan berlomba menjemput kesyahidan.
Jika kita mencermati, ketika itu terjadi benturan dua budaya. Pengikut Ayatullah al Khomeini dengan budaya berwujud prilaku ( keberanian dan semangat jihad ) dan tentara Syah Reza Pahlevi dengan budaya berwujud artefak ( persenjataan dan teknologi canggih bantuan Amerika ). Lihatlah siapa yang menang dan siapa yang tumbang ? Ayatullah Al-Khomeni berhasil membuat Syah Reza Pahlevi melarikan diri ke Mesir hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir di sana.
Benturan dua budaya yang terjadi pada revolusi Iran, antara budaya berwujud prilaku dengan budaya berwujud artefak ( teknologi canggih ) ternyata memenangkan budaya berwujud prilaku. Saat itu saya bertanya. Bukan bertanya sih tapi lebih mengarah kepada meminta persetujuan beliau terhadap kesimpulan yang saya tarik kala mendengar pemaparan beliau. Dari dua budaya yang berbenturan itu ternyata menghasilkan budaya berwujud prilaku sebagai pemenang. Artinya prilaku yang berbudaya lebih penting dan lebih dahsyat efeknya daripada artefak-artefak hasil budaya modern abad ini ? beliau mengiyakan.
Maka tatkala kita di Indonesia ingin maju, berhasil, sukses, dan jadi pemenang, bukan membuat artefak berwujud teknologi canggih yang harus dilakukan. Namun memperbaiki prilaku kita sendiri. Tak bisa dipungkiri prilaku masyarakat Indonesia mulai dari orang biasa hingga pejabat tinggi banyak yang menyimpang dan tidak mencerminkan prilaku yang berbudaya. Pemegang amanah banyak korupsi. Jual beli jabatan. Di ranah pendidikan ketidak jujuran dan konspirasi demi kelulusan 100 % dalam ujian nasional pun jadi budaya. Sudah jadi rahasia umum lah. Saya pernah mengikuti UN kok :D. Mau sefavorit apapun suatu sekolah kalau siswanya gak lulus UN bisa menurunkan reputasi sekolah tersebut. Terpaksa konspirasi dilakukan dengan berbagi pihak agar bisa lulus 100 %. Demi terjaganya nama baik.
Selain itu masih banyak lagi prilaku-prilaku masyarakat Indonesia yang –mungkin-  bukannya tidak berbudaya, namun “kurang” berbudaya. Di jalan raya, di sekolah, di kampus, di rumah ibadah, dan tempat-tempat lain.
Melalui goresan ini saya ingin mengajak saya sendiri dan kita semua untuk belajar dari revolusi Iran. Revolusi Iran terjadi karena semangat dan prilaku mereka yang berani dan gigih. Bukan karena persenjataan lengkap bin canggih. Pun juga dengan kemerdekaan Indonesia. Merah putih mampu berkibar gagah saat ini sejak 70 tahun lalu dikarenakan perilaku pejuang-pejuang yang telah mendahului kita. Perilaku mereka yang semangat, berani, pantang menyerah, patriot, dan ikhlas dalam berjuang.
Bang, tapi kan Iran itu negara mayoritas Syiah bang ? Yang bilang Iran itu mayoritas sunni siapa, Dek? Tapi sudahlah, jangan sibuk berdebat sunni-syiah. Dua-duanya Islam kok. Tuhan kita sama, Qur’an kita sama, Nabi kita pun sama. Yang salah adalah kita sering membaca artikel tentang Syi’ah dari orang-orang yang memang gak suka sama Syi’ah. Gak heran tatkala ada intelektual Islam yang menyerukan perdamaian atau jalan tengah antara sunni-syiah serta merta akan di-judge sebagai “antek-antek syiah ”. Laqob tersebut pernah diarahkan kepada mufassir kebanggan Indonesia dan Al Azhar Prof. Dr. Quraish Shihab. Pun juga kepada Prof Qomaruddin Hidayat, dan beberapa tokoh lain. Padahal beliau-beliau itu orang-orang cerdas. Kita saja yang mau dibodohi dan dijajah oleh “keegoisan beragama”. Duh mungkin sebentar lagi saya bakal di-judge sebagai antek-antek syiah juga nih gara-gara nulis kayak begini. Hahaha.
Kalau mau maju mari ubah prilaku. Miliki prilaku yang berbudaya dan berintegritas. Kalau prilaku kita sudah berbudaya insya Allah pola pikir dan artefak yang kita hasilkan pun akan memiliki budaya tinggi. Wallahu A’lam.
Yuk, saya mau jumatan dulu, biar ganteng di hadapan Allah.
Tetap semangat,,,, isy karima.. hiduplah dengan mulia...

Jogjakarta. 18 Maret 2019
11:39 WIB

King Izzu

Komentar

Postingan Populer