3 Tahap Mengenal Diri



Dalam kitab suci dan beberapa hadist dijelaskan bagaimana manusia diciptakan. Raga terbuat dari tanah, lalu pada suatu ketika Allah meniupkan ruh-Nya kepada raga tersebut. Terciptalah kita yang terdiri atas dua unsur, unsur tanah dan unsur ruh Allah. Komponen fisik dan komponen jiwa.
Tanah sendiri merupakan komponen yang paling rendah. Iya to ? makanya Iblis ndak mau menghormati kita, wong dia tercipta dari api. Api yang menyala begitu gagah, mampu membakar dan membuat suasana jadi panas. Sedangkan tanah ? apa yang bisa dilakukan oleh tanah ? diinjak-injak saja dia tak mampu melawan. Mungkin begitu persepsi Iblis.
“Kok tahu Bang ? Jangan-jangan Abang Iblis”
Hus. Ngawur ! mana ada Iblis bisa ngetik. Iblis mah kerjaannya menggoda orang yang ngetik. Dia makhluk abstrak.
Sedangkan ruh merupakan ciptaan abstrak Allah pula. Kita tak bisa mendefiniskannya, kewajiban kita adalah meyakini dengan keimanan. Hal ini akan ditolak mentah-mentah oleh para atheis dan sebagaian kaum yang mendewakan realitas. Mereka ndak percaya agama juga Tuhan. Bahkan Nietzsche dengan nyinyir berteriak “ Tuhan sudah mati. Kita yang membunuhnya ”. Para atheis ini muncul sebagai antitesa dari doktrin gereja di daratan Eropa dulu. Dan sebenarnya para atheis ini adalah orang-orang cerdas, sayangnya mereka cuma menggunakan logika untuk berfikir. Sedangkan kita sebagai umat Islam harus percaya terhadap hal-hal transenden. Dalam surat Al Baqarah pun dijelaskan beberapa ciri orang bertaqwa salah satunya ya percaya pada yang ghaib. Hal-hal yang tak terlihat oleh mata kepala. Wes, sekarang kita termasuk orang beriman ndak ? keimanan itu tidak membutuhkan pembuktian terhadap objek keimanan. Diyakini saja cukup.
Sebelumnya kita harus mengetahui bahwa segala dinamika kehidupan ini ada yang bersifat imanen ( nyata ) dan transenden ( abstrak ). Yang imanen ya yang bisa kelihatan oleh mata, teraba oleh tangan, pokoknya wujud fisiknya bisa kita buktikan. Sedangkan transenden ya diluar kenyataan dalam konteks kasat mata. Surga-neraka, malaikat-ibilis, dosa-pahala, dan lain-lain.
Kembali ke pembahasan, sebagaimana yang sudah kami uraikan diawal bahwa manusia tercipta dari dua komponen penting. Tanah yang hina dan ruh Allah yang suci. Oleh karena itulah manusia ada yang menonjol sisi kehinaannya, pun ada yang unggul sisi kesuciannya. Namun yang harus kita pahami adalah semua manusia memiliki potensi menjadi sangat hina atau menjadi sangat suci. Karena kita tercipta dari komponen yang sama.
Nabi SAW pun pernah bersabda yang kurang lebih isinya begini, semua anak manusia itu lahir dalam keadaan suci, orang tuanya lah yang kemudian berperan akan menjadikannya yahudi, nasrhani, majusi, dan lain-lain. esensi manusia itu suci, Sodara-sodara.
Maka sangat relevan sekali sebuah sabda baginda Rasul, “ barang siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya ”. Di beberapa terjemah yang lain kata “mengenal” diganti dengan “mengetahui”. Nah pertanyaannya sekarang sudah sejauh mana kita mengenal pribadi masing-masing ? mengenal disini ndak sekedar tahu nama, orang tua siapa, lahir kapan, ukuran sepatu berapa, ndak sesederhana itu. Mengenal diri lebih dalam dan sangat mendalam, itulah goal dari sabda nabi di atas. Berhasilkah kita ?
Sodaraku, kebetulan saat ini saya tengah membaca sebuah buku sufi. Judulnya Tiada Sufi Tanpa Humor. Cuma belum habis terbaca makanya resensinya belum saya buat. Pun nanti kalau buat resensinya ya ndak lengkap banget, soalnya buku ini memiliki banyak bab dan sub-bab. Tiga kalimat untuk buku ini ; menggelitik sanubari, menertawakan diri sendiri, agar terus berlari menuju ilahi.
Salah satu sub bab di buku tersebut berjudul 3 tahapan mengenal diri. Apa saja sih itu ? yuk cekidot !
Pertama-tama, kita menemukan bahwa ego cenderung menjadi pemimpin yang berkuasa dan dapat mendorong kita melakukan kesalahan. Termaktub dalam al Qur’an ( QS 12:53 ) dengan istilah nafs al-ammarah. Ego keras kepala, disebut juga penguasa yang memerintah. Sederhananya kita “menyadari” akan adanya ego yang cenderung ingin berkuasa dan mengarahkan kita ke hal-hal yang ndak baik. Ini nafsu ( ego ) yang teramat rajin jadi momok bagi setiap manusia, utamanya yang mengidap kelabilan iman.
Melalui kewaspadaan yang gigih, kita dapat mengubah ego menjadi asisten pribadi kita. Tahap pertama ini bisa menjadi sama bermanfaatnya seperti ketika kita membersihkan kantor, rumah, atau garasi yang berantakan ; kita melakukannya dengan berusaha keras untuk kemudian bisa merasakan kemajuannya. Artinya, setelah menyadari akan ego (nafsu) yang menjerumuskan itu, mulailah memperbaiki diri. Caranya gimana ? Waspada dan mawas diri. Tanamkan dalam hati “ saya ndak boleh dijajah sama hawa nafsu sendiri, saya yang harus mengendalikannya, bukan saya yang dikendalikan! ”
Tahap kedua lebih menantang karena mengharuskan kita menjaga kebiasaan baik dan tidak membiarkan kebiasaan yang tidak berguna menumpuk kembali. Kita menyadari kita memiliki pilihan. Dan melalu eksplorasi dan pengalaman, kita belajar untuk memilah pilihan kita. Umumnya kita menghabiskan banyak waktu dalam tahap kedua ini, saat ego dan jiwa bersaing untuk memperoleh perhatian kita. Dalam kitab suci ego ini diistilahkan nafs al-lawwamah (QS 75:2 )
Pada tahap terakhir, kita berusaha untuk memperoleh kedewasaan spiritual saat kita berusaha untuk menyelaraskan ego yang sudah setengah dijinakkan agar sejalan dengan diri kita yang lebih tinggi sehingga ego menjadi instrumen jiwa. Tujuannya bukanlah untuk merusak atau membuang ego, tetapi untuk mengubahnya dengan mengembangkannya menjadi kehendak yang lebih tinggi. Dalam kitab suci, tahap ini disebut dengan nafs al-mutma’innah ( QS 89:27).
Begitulah 3 tahap mengenal diri ala sufi yang disadur dari kitab suci. Pertama-tama kita mengenal dan menyadari akan nafsu dan egoisme. Kemudian menyesali diri sendiri lantaran dosa, alfa, dan segala macam khilaf yang telah kita perbuat lantaran menuruti kemauan nafsu. Lalu mencapai derajat nafsu yang tenang ( nafs al-mutma’innah ) tentunya dengan proses panjang dan usaha maksimal.
Ada sebuah kisah, tersebutlah Mullah menjadi seorang ulama dan penyair masyhur. Semua orang senang mendengar tausyiah dan nyanyiannya. Tak terkecuali gubernur. Hingga suatu ketika gubernur menemui Mullah dan menyampaikan pujiannya serta tak lupa menawarkan hadiah apa yang diinginkan sang Mullah pasti akan dipenuhi oleh sang Gubernur. Apa jawaban Mullah ? Bukan emas dan harta, akan tetapi Mullah justru meminta sang Gubernur untuk tidak mengikuti tausyiahnya lagi. Gubernur terkejut bukan main, iya takut telah salah bertutur kata sehingga menyinggung perasaan Mullah. Namun Mullah menggeleng “ Sama sekali tidak, Semuanya adalah kesalahan saya. sebelum anda mulai menghadiri ceramah ini, saya berdoa dan bernyanyi hanya untuk meminta ridha Allah. Tapi sekarang saya lebih tertarik untuk menyenangkan Anda karena Anda mungkin akan memberi hadiah duniawi kepada saya. jadi tolong, Yang Mulia, berikan saya waktu untuk memurnikan kembali niat saya, setelah itu saya akan mengajak Anda untuk menyembah Allah bersama kami lagi ”.
Man ‘arofa nafsahu, ‘arofa robbahu. Siapa yang kenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya. Kenali diri yang punya potensi jadi hina dan istimewa di waktu yang sama. Kenali diri yang memiliki hak untuk memilih dan memilah. Lalu kenali betapa diri ini mampu untuk menentukan akan kemana hati dan kaki ini dibawa melangkah. Semoga Allah senantiasa meridhoi. Amiinn
Isy Karima.. Hiduplah dengan mulia

Jogjakarta, 27 April 2016
16:49 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer