Resensi : Cerita Pilu Manusia Kekinian



Judul                     : Cerita Pilu Manusia Kekinian
Penulis                  : Edi AH Iyubenu
Penerbit               : IRCiSoD ( Diva Press Group )
Cetakan                : ke-1 Februari 2016
Halaman              : 264 hlm
Nah, kalau buku yang satu ini saya beli langsung di Toga Mas Kota Baru beberapa waktu lalu. Lumayan, dapat diskon 15 %. Penulisnya adalah Pak Edi AH Iyubenu alias Edi Akhiles alias Edi Mulyono alias pendiri Diva Press. Beeehh,,, keren kan ? pemilik salah satu penerbit besar bin terkenal di Jogja. Baru pagi ini tuntas saya baca dan untuk meresensinya saya kebingungan sodara-sodara, karena buku ini berisi kumpulan artikel/opini tentang permasalahan manusia kekinian. Tak kurang dari 38 judul tulisan. Mau diresensi semua itu ? ndak bisa lah, soalnya ada juga beberapa tulisan yang hanya berjumlah 1-2 lembar saja, gimana cara ngeresensi sesuatu yang udah ringkas coba ?
Pencitraan level 69

Tapi resensi tidak hanya mereduksi kuantitas isi, melainkan juga menuangkan kesan dan kritik usai membacanya. Nah perlu anda ketahui Pak Edi ini kelahiran Madura, sebuah pulau yang kental dengan nuansa ke-Islam-annya. Eh ndak ding, konon agama orang Madura itu bukan Islam, tapi NU. Nahdliyin militan bejibun di sana, menandakan orang Madura memiliki loyalitas tingkat tinggi. Baru kemarin saya membaca artikel ini di laman mojok.co. orang Madura itu calon menantu idaman.
Ia pernah nyantren di Jombang, menuai ilmu-ilmu agama ala kiyai-kiyai NU. Lalu hijrah ke Jogja dan kuliah di IAIN Yogyakarta ( kini UIN Sunan Kalijaga ) pada Fakultas Syari’ah jurusan Perbandingan Mazhab. Kemudian melanjutkan program magister ( S2 ) pada kampus yang sama dengan fokus studi Filsafat Agama dan kini tengah menempuh program doktoral di UIN juga dengan fokus studi islamic studies. Saya curiga jangan-jangan Pak Edi ini satu kelas sama paman saya, soalnya beliau juga lagi S3 dengan jurusan yang sama dengan Pak Edi.
Buku ini ditulis dengan begitu apik. Background akademik sang penulis yang seorang santri, sastrawan, sekaligus mahasiswa ilmu filsafat menjadi formula unik dalam melihat dan menyikapi problematika manusia kekinian. Namun sebelumnya saya rasa perlu kita diskusikan bersama siapa dan seperti apa sih “ manusia kekinian ” itu ?
Istilah kekinian sering digunakan akhir-akhir ini. Beberapa bulan lalu di JEC ada Festival Jajanan Kekinian, pun seseorang yang mengikut trend mode dewasa ini kerap berdalih supaya tampil kekinian. Adapun dalam buku ini yang dimaksud manusia kekinian ialah manusia yang jadi budak modernitas, rasinoalitas, dan konco-konconya. Mereka yang menjalani hidup dengan menjadikan angka-angka sebagai indikator keberhasilan. Dan tidak menutup kemungkinan kita pun termasuk korban kebiadaban mazhab modernitas ini.
Jika sedikit lebih kritis berfikir kita akan mendapati banyak aspek kehidupan yang telah tergrogoti oleh watak modernisme, positivisme-logis-matrealis yang digawangi oleh Descartes. Prinsip Ekonomi, misal ( Saya tidak bermaksud menyinggung para pegiat dan mahasiswa Ilmu Ekonomi. Jangan kebakaran jenggot, mari kita diskusi sembari menyeruput kopi ). Sejak kelas X Madrasah Aliyah, dalam pelajaran Ekonomi saya sudah didoktrin bahwa prinsip ekonomi ialah “ mengeluarkan modal SEDIKITNYA untuk mengeruk untung SEBANYAK-BANYAKNYA ”. dan saya mengamini doktrin ini sampai tadi pagi.
Prinsip ini berorientasi pada apa yang kita “ dapatkan ”. Berusaha semaksimal mungkin meraih sebanyak-banyaknya hasil. Maka jangan heran melihat jutaan anak Adam larut dalam rutinitas mencari pundi-pundi rupiah hingga lupa norma-etika, keluarga, juga orang tua. Dengan mudahnya kita lebih memilih menghadiri meeting dengan relasi kerja daripada berkumpul bersama keluarga atau menengok orang tua yang tengah sakit. Sudah jadi rahasia umum untuk keluarga kekinian, bahwa suasana berkumpul bersama keluarga adalah barang mahal. Maka bersyukurlah jika Anda masih memiliki jadwal rutin duduk dan ngopi bersama keluarga.
Padahal hakikat bisnis sesungguhnya adalah apa yang kita “berikan”. Buat apa sih kerja cari duit sana-sini ? menimbun kekayaan ? atau menambah angka demi angka dalam saldo di bank ? sedangkan kita tahu bahwa materi semacam itu tak kan kita packing kalau sudah pamit dari dunia fana ini. Eh, tapi ini berlaku bagi Anda yang tidak atheis ya, kalau Anda tidak atheis seharusnya anda sepakat sama saya. Mencari profit itu penting agar bisnis tetap berjalan, tapi itu sekedar mekanisme, bukan orientasi. Mekanismenya cari untung, nah orientasinya ya buat berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Duit, rezeki, dan ilmu yang berkah itu adalah jika digunakan untuk kebaikan orang banyak. Pahalanya bakalan ngalir terus cuy. Eh tapi ini prinsip ekonomi konvensional. Kalau Ekonomi Islam apa punya prinsip tersendiri ? atau mirip dengan prinsip ekonomi di atas ? saya awam masalah ini.
Menurut hemat saya buku ini sangat cocok dibaca oleh berbagai kalangan. Benar sekali, sebagian besar problematika kekiniaan dibahas di sini. Tidak Cuma masalah ekonomi seperti di atas namun juga permasalahan kaula muda yang kadang-kadang galau karena jomblo ataupun mantan. Dibahas dengan ringan dan menyentuh hati. Ada sub judul yang bertajuk Sejarah Mantan, Menjomblolah Seperti Surat an-Nur, Jomblo Baik untuk Jomblo Baik, dll, dlsb. Penasaran bagaimana ulasannya ? baca sendiri! Saya lagi males bahas mantan.
Ada pula permasalahan horizontal agama yang makin hari makin rame saja gaungnya di dunia virtual macam Facebook, Twitter, blog, belum lagi share-share info yang hanya dalam hitungan detik tersebar luas melalui WhtasApp, BBM, Line, dsb. Konflik Sunni-Syiah juga dibahas, pun doktrin Asy’ariyah-Wahabi. Bukan kah ini nih yang jadi trending topic perdebatan umat beberapa tahun terakhir ?
Saya tertarik pada satu sub judul “ Pelajaran Sedekah Ustad Yusuf Mansyur : Kritik Wacana Sedekah ”. Di sini si penulis mencoba se-moderat mungkin mengulas permasalahan yang sempat ramai di media sosial. Tahu tho ustad YM itu seperti apa semangatnya mengajarkan sedekah ? warbiyasah semangatnya, Sodara-sodara. Nah hal ini pun disambut kurang baik oleh beberapa pihak dengan alasan yang masuk akal. Lah orientasi sedekah itu kan untuk mendekatkan diri pada Allah, bukan untuk menambah materi. Sedangkan Ustad YM mendoktrin dengan sedekah yang bakal dibalas sampai 700 kali lipat. Hal ini memang senada dengan firman Allah. Tapi mereka yang menentang teknik UYM, termasuk Cak Nun, khawatir dengan aksi ustad muda satu ini, bisa-bisa ajarannya malah menggeser esensi sedekah yang sesungguhnya.
Dengan mempesona Pak Edi AH Iyubenu mengibaratkan begini. Para orang tua sering to mengiming-imingi anaknya dengan materi agar mau beribadah ? ayo nak solat nanti Papa kasih duit,.. nak, kalau puasamu full nanti mamah belikan baju, dsb ? tujuan orang tua mengiming-imingi seperti itu bukan lah memateri-kan ajaran agama, tapi untuk menyemangati si anak agar mau beribadah. Nah nanti kalau si anak sudah besar, dia akan terbiasa melaksanakan ibadah tanpa mengharap duit, atau baju baru lantaran puasa. Karena dia sadar ibadah adalah kebutuhan dan kewajiban, bukan suatu pekerjaan yang harus diberi imbalan.
Nah begitu analoginya. Seseorang yang bersedekah kemudian berharap dapat balasan 700 kali lipat ibarat anak kecil, jangan pikirkan hakikat sedekah dulu, yang penting bagaimana menumbuhkan semangat bersedekah. Nah jika Allah berkehendak, lambat laun mereka akan sadar bahwa sedekah itu gak Cuma memberi terus dibalas sama Allah, namun sedekah adalah bentuk kecintaan pada Allah, mau dibalas atau tidak terserah Allah. Sederhananya gini, Ustad YM tengah mengajarkan sedekah pada taraf syariat sedangkan Cak Nun dalam taraf hakikat. Jalaludin Rumi mengajarkan untuk mencapai taraf hakikat ente harus melalui syariat dulu. Nah sekarang udah lah ! jangan protes berlebihan lagi sama UYM, Beliau tengah mengajar orang bersedekah dalam ranah syariat. Apa itu salah ? salah ndasmu, ya ndak lah. Terus Cak Nun ? beliau juga ndak salah. Yang salah itu kita, terlalu cepat merasa sok pintar dan sok bisa. Ini juga permasalahan manusia kekinian.
Buku ini layak dibaca oleh semua orang, tak peduli demografi ataupun taraf ekonomi. Ini ibarat vitamin buat hati yang terlalu lama gersang dan karatan lantaran sibuk mengejar dunia. Baca dan beli gih ! murah kok, 40-ribuan, kalau dapat diskon bisa jadi 30-ribuan.
Terima kasih Pak Edi AH Iyubenu atas bukunya, semoga jadi amal jariyah untuk pelungguh. Pelungguh itu bahasa sasak, Pak Edi. Maknanya setamsil Panjenengan dalam bahasa Jawa.
Isy karima ... hiduplah dengan mulia.

Di siang yang mendung
Jogja, 13 April 2016
12:11 WIB

King Izzu

Komentar

Postingan Populer