Balada Pujian



Memuji adalah sebuah aktifitas yang amat mudah dilakukan. Tak perlu mengeluarkan dana berlimpah atau pun tenaga banyak. Cukup gerakkan lidah kemudian lontarkan pujian demi pujian pada seseorang, paripurna sudah kita memujinya. Dalam perspektif agama, memuji pun bernilai pahala. Mengucapkan tahmid sebagai manifestasi pujian pada Allah adalah ungkapan yang acap kali kita untaikan. Dapat rezeki, Alhamdulillah. Ketemu jodoh, Alhamdulillah. Dapat nilai bagus, Alhamdulillah. Diterima kerja, Alhamdulillah. Untuk mereka yang keimanannya lumayan mendapat musibah dan ujian pun Alhamdulillah.
Salahkah kita memuji ? tentu tidak ! apa lagi jika yang kita puji adalah Dia Yang Maha Berhak dan Maha Pantas Dipuji, Allah azza wajalla. Pujian pada Tuhan identik dengan syukur. Karena ucapan tahmid pun termasuk salah satu manifestasi kesyukuran seorang hamba. Maka perbanyaklah memuji dan bersyukur kepada-Nya. Tidak ada alasan untuk kita mengingkari pemberian-Nya. Bersyukurlah, niscaya Tuhan akan melipat gandakan anugerah dan karunia-Nya kepadamu.
Bersyukur dimulai....
Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Keep Grateful to Allah.
Namun ketika pujian itu ditujukan pada sesama makhluk, piye ? ya ndak salah juga kok. Wong ketika kita memuji seorang hamba hakikatnya kita sedang memuji yang menciptakan hamba tersebut. Allah SWT. Karena yang menciptakan kecantikan, kegantengan, kebaikan, kepintaran, kecerdasan, semuanya kan Allah. Kalau bukan lantaran karunia-Nya sungguh manusia hanyalah makhluk lemah tak berdaya.
Tapi masalahnya begini, Sodara-sodaraku. Manusia biasa macam kita ini identik dengan hasrat pada gelar dan pujian. Sudah jadi hal yang sangat kita maklumi, seseorang yang memiliki sifat-sifat terpuji dan prestise-prestise mentereng akan mendapatkan strata sosial dan perlakuan publik yang lebih istimewa dibanding mereka yang tak punya.
Nah, yang harus kita cermati bersama adalah bagaimana kalau kita berposisi sebagai objek pujian ? saat kita dipuji apa yang harus kita lakukan ?
Setiap mengidolakan seseorang saya pasti memiliki segudang pujian untuknya. TGB misalnya, saya memuji kecerdasan beliau, kegantengan, dan wibawa beliau. Tidak hanya saya, ada ribuan orang di NTB yang memuji beliau seperti itu. Kadang-kadang saya sering bermimpi menduduki posisi sebagai TGB. Jadi ulama terkenal, kemana-mana orang-orang rebutan mencium tangan saya, lantas duduk di panggung-panggung kehormatan kala ada hajatan. Jadi perhatian semua orang. Ceramah saya didengarkan dan mampu mengajak masyarakat ke arah yang lebih baik. Tapi apakah benar tujuan dan mimpi saya murni seperti itu ? tidak kah saya ingin dikatakan sebagai “ulama muda”? atau intelektual handal ? atau penulis terkenal ?
Sodara-sodara, memuji mah gampang namun menyikapi pujian itulah yang sulit. Karena ketika kita dipuji, dengan begitu halus perasaan senang akan pujian mulai membuncah dalam dada. Sekali dua kali terasa biasa. Namun saat pujian itu datang berkali-kali bahkan bisa jadi datang dari orang-orang hebat bukan tidak mungkin rasa senang akan pujian yang kita kamuflase dengan istilah bersyukur itu bermetamorfosa menjadi ‘ujub, takabbur bin jumawa alias sombong. Tinggal menunggu waktu virus “ aku hebat ” akan menggrogoti setiap langkah hidup kita.
Naudzubillahi min dzalik.
Jangan sampai kita menjadi aktor dalam sebuah episode di hari perhitungan kelak. Berikut kurang lebih ilustrasinya ;
Pada hari itu Allah akan mempertanyakan kaum terpelajar tentang apa yang mereka lakukan dengan karunia pengetahuan yang diberikan kepada mereka. Mereka akan menjawab “ Kami menggunakannya di jalan-Mu ”. Namun Allah akan berkata “ Kau menggunakannya untuk mendapatkan tepuk tangan dan dikenal sebagai orang terpelajar ”. Ketika orang kaya ditanya apa yang mereka lakukan dengan kekayaan yang diberikan Allah, mereka akan berkata “ Kami menggunakannya di jalan-Mu ”. Namun, Allah akan berkata “ Kau menggunakannya agar orang menyebutmu sebagai seseorang yang baik hati dan dermawan ”.
Kemudian Allah akan bertanya kepada orang-orang yang memberikan nyawanya dalam perang suci. “ Bagaimana kau menggunakan hidup yang Kami berikan kepadamu ? ”. Mereka akan menjawab “ Kami mengorbankan diri kami demi-Mu ”. Namun, Allah akan menjawab, “ Kau mengorbankan hidupmu sehingga orang akan menyebutmu sebagai pemberani dan menghormatimu sebagai syuhada ”.
Pertanyaan Allah di atas bisa dikias menjadi  apa yang kita lakukan dengan bakat dan kemampuan yang Allah berikan ? saya punya minat menulis, apa yang saya lakukan dengan tulisan ini ? menuliskan kebaikan atau malah menulis agar dikira mampu menulis ? bahkan bukan tidak mungkin saya menulis agar menjadi penulis terkenal. Lah kalau sudah terkenal mau ngapain ? biar diundang kemana-mana dalam acara seminar dan bedah buku ? ya Allah ampuni jika niat baik di awal mulai luntur. Ini berlaku untuk kita semua, tidak hanya saya pribadi.
Kata Aa Gym, niat itu laksana ngirim surat. Salah tulis alamat ya bakalan salah sasaran. Maka tidak salah dalam beberapa kitab hadist bab yang dijadikan awal pembahasan adalah niat. Ini mengindikasikan urgensi niat itu sendiri. Sama halnya dengan urgensi kesucian dalam ilmu fiqih. Sesungguhnya segala perbuatan tergantung niatnya, begitu kata nabi kita.
Dan salah satu faktor yang sangat berpotensi mengusik kemurnian niat adalah faktor eksternal berupa pujian-pujian. Apalagi jika pujian itu datang terus menerus dan makin meningkat dari hari ke hari. Maka saya ndak heran, dulu kiyai di pondok pernah bernasihat “ Kalau kamu dipuji pukul orang yang muji kamu ! ”. Metafora ini menyadarkan kita betapa “bahaya”nya pujian. Bahaya buat orang yang dipuji. Karena dapat menimbulkan kesombongan dan kesombongan adalah salah satu perbuatan yang amat dimurkai Allah. Wong Iblis diusir bukan lantaran ia berzina atau minum khamr, tapi lantaran sombong, disuruh sujud ke Adam ndak mau gara-gara ia diciptakan dari api sedangkan Adam mah cuma dari tanah. Bahaya tenan kan sombong ? pun dengan segala hal yang dapat memicu kesombongan, sama-sama bahaya.
Terus apa yang harus kami lakukan, Bang ?
Pertama, jaga selalu niat, Dek. Perbarui niat setiap hari. Kalau Abang boleh share nih ya, setiap mau berangkat kuliah – kalau lagi ndak buru-buru – abang selalu menyempatkan diri memandang tulisan di dinding kos yang berisi beberapa goresan penyulut semangat. Itu abang lakukan biar semangat tetap terjaga dan Alhamdulillah lumayan berhasil. Pun dengan niat, setiap hari luangkan lah waktu untuk ngomong dengan hati masing-masing. Sebelum beraktifitas luruskan lah niat. Jauhkan keinginan-keinginan duniawi dari target. Cukup jadikan ia komponen penyemangat, jangan jadikan orientasi utama.
Selanjutnya mulai cari pola terbaik versi masing-masing saat mendapatkan pujian. Pujian ini macam ujian. Datangnya bisa tiba-tiba. eh iya ding, pujian pun sebenarnya adalah ujian. Ujian apakah kita mampu tawaddhu’ atau malah terjebak dalam kesombongan dan rasa jumawa. Latih hati dan diri pribadi saat menyikapi sebuah pujian. Artinya waktu ada yang memuji ya wes senyumin saja tapi sembari hati berisigfar dan memohon perlindungan dari sifat sombong. Cobain saja, semoga saja berhasil.
Mengakhiri goresan ini saya ingin mengungkapkan satu kegelisahan saya kepada Sodara-sodara yang sempat baca goresan ini. Apakah tidak mau dikatakan sombong adalah bentuk kesombongan pula ? sama seperti tidak mau dikatakan riya’, apakah itu termasuk riya’ juga ?
Ya Allah, kami yakin Engkau Maha Mengerti. Ampuni keimanan kami yang terlampau dangkal. Ampuni akhlak kami yang masih tak bernilai. Curahkan selalu taufik dan hidayah-Mu pada kami. Ammiinn.
Isy Karima... Hiduplah dengan mulia...

Jogjakarta, 26 April 2016
20:30 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

Postingan Populer