Resensi : Cinta dan Hati Istri-Istri Sukarno (1)



Judul         : Cinta & Hati Istri-Istri Sukarno
Penulis      : Reny Nuryanti, dkk
Penerbit   : Penerbit Ombak
Cetakan    : Cetakan pertama thn 2007, edisi revisi thn 2013
Halaman  : x + 280 hlm
ISBN          : 978-602-258-042-3

perhatikan bukunya, abaikan sarungnya

Buku ini berhasil menarik perhatian saya di antara ribuan judul lain di Grahatama Pustaka Jum’at lalu. Setiap Jum’at, jika tak ada mata kuliah Bahasa Parsi saya memang merutinkan diri berkunjung ke perpustakaan megah ini. Menghabiskan waktu dari siang hingga menjelang petang dengan membaca sembari sesekali cuci mata.
Buku ini ditulis secara berjama’ah oleh 5 orang penulis dengan background akademik ilmu sejarah. Mengisahkan tentang perjalanan dan lika-liku percintaan sang putra fajar. Sewaktu SD saya kira Sukarno itu cuma punya satu istri, Fatmawati. Karena beliaulah yang merajut sang saka merah putih untuk dikibarkan pada hari proklamasi. Tapi setelah membaca buku ini saya pun tahu ternyata Fatmawati adalah istri ketiga. Total istri Sukarno ada 9, Sodara-sodara. So, pejabat yang poligami dewasa ini mah belum ada apa-apanya dibanding beliau.
Untuk mengulas secara detail kisah percintaan dengan masing-masing istri beliau saya rasa sangat tidak memungkinkan. Capek ngetiknya regh. Maka izinkan saya menarik benang merah dari kisah-kisah tersebut. Jika Anda ingin tahu lebih lanjut silahkan baca sendiri bukunya.
Sukarno lahir saat fajar menyingsing, 6 Juni 1901 di Surabaya dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Waktu kecil beliau acap kali sakit-sakitan, tahu sendiri kan mitos jika anak kecil sering sakit-sakitan ? konon ia tak nyaman dengan namanya. Karena itulah nama beliau berubah menjadi Sukarno. Alhamdulillah setelah itu gak sakit lagi. Sukarno terkenal dengan wibawanya yang tiada banding, tak heran ia disegani di mata dunia. Kewibawaan yang dimiliki tak hanya membawanya pada karir politik yang gemilang namun juga mengantarnya menapaki episode demi episode dengan banyak srikandi dalam balutan kisah cinta yang tak kalah heroik dengan perjuangan kemerdekaan. Yuk kita mulai dengan istri beliau yang pertama
Siti Utari Tjokroaminoto
Ia adalah putri sulung seorang bangsawan dan pentolan Sarekat Islam ( SI ). Pertemuan dengan Sukarno dimulai kala ia dikirim oleh sang ayah melanjutkan pendidikan di HBS Surabaya dan indekost di tempat Tjokroaminoto. Sukarno  yang cerdas, santun, dan tegas kala itu jadi anak kos kesayangan tokoh SI tersebut.
Utari yang cantik, lugu, dan pemalu menjadi magnet tersendiri bagi Sukarno dan penghuni kos lain. Bahkan ia bersaing dengan salah seorang kawannya, Bahru Salam. Namun ending cerita pun menakdirkan Sukarno lah yang berhasil merebut hati Utari. Mereka menikah saat Sukarno berusia 19 tahun dan Utari 16 tahun.
Ada momen menegangkan kala akad nikah hendak dilakukan. Diawali oleh penolakan Sukarno kala diminta oleh penghulu melepas jas dan dasinya. Sang penghulu mengatakan bahwa dasi dan jas adalah pakaian orang Kristen. Tapi memang Sukarno keras kepala, ia bersikeras tidak mau melepas jas dan dasinya. Di sini saya sedikit gamang apa perbedaan tegas dan keras. Dari kejadian ini pun sebenarnya kita bisa menarik kesimpulan adanya firasat buruk dengan biduk rumah tangga yang akan segera mereka arungi bersama.
Menurut penuturan Sukarno ia tak pernah menjamah Utari meski tidur satu ranjang. Alasannya karena Utari masih kecil. Mungkin beliau hendak mencontohi kanjeng nabi kala meminang Aisyah. Tapi mereka yang tahu tabiat Sukarno terhadap wanita malah tak mempercayai sama sekali bahwa Utari masih suci di tangan Sukarno. Siapa yang benar siapa yang salah ? entahlah, hanya Sukarno dan Utari yang tahu.
Singkat cerita Sukarno pun melanjutkan pendidikannya ke THS Bandung – kini ITB pada jurusan teknik arsitektur. Utari pun mendampingi sang suami. Di Bandung ia indekost di kediaman Sanusi – sahabat Tjokroaminoto – dan istrinya Inggit Garnasih. Nah selama di Bandung inilah awal ketidak cocokan Sukarno terhadap Utari mulai membuncah. Sukarno berdalih Utari masih kekanak-kanakan, ia lebih suka main lompat tali, pokoknya persis kayak anak kecil. Ia pun curhat pada sang ibu kost, Inggit Garnasih. Lama kelamaan malah Sukarno mulai jatuh cinta pada ibu kosnya yang lebih dewasa belasan tahun di atasnya.
Karena merasa tidak bisa mempertahankan rumah tangga yang canggung itu, Sukarno pun menceraikan Utari dan membawanya pulang ke Surabaya. Tak ada penolakan dari Utari. Ia pun pulang dengan hati pecah berkeping-keping. Janji manis Sukarno saat pacaran dulu kini tinggallah memori dalam ingatan. Beberapa tahun berselang ia pun menikah dengan Sigit Bahru Salam yang notabene saingan Sukarno dulu.
Inggit Garnasih
Pernah dengar kalimat ini “ Aku kembali ke Bandung... dan kepada cintaku yang sesungguhnya ”. kalimat ini jadi senjata andalan Ridwan Kamil membangga-banggakan Bandung. Saya yang saat itu belum tahu asbabunnuzul kalimat itu terlontar dari bibir Sukarno pun ikut takjub. Warbiyasah nih Bandung. Eh ternyata setelah membaca buku ini saya pun paham maksud kalimat tersebut ya buat Inggit Garnasih. Sang ibu kos yang membuatnya jatuh cinta dan juga telah jatuh cinta pada Sukarno.
Mereka menikah pada 24 Maret 1923. Dalam surat nikah dicantumkan usia Sukarno yang baru 22 tahun jadi 24 tahun. Dan usia Inggit diturunkan satu tahun agar lebih muda menjadi 35 tahun. Dengan penuh ketegaran, Sanusi – suami lama Inggit – mengikhlaskan pernikahan dengan usia terpaut satu lusin itu.
Apa yang membuat Sukarno tertarik pada ibu kosnya ? tak dipungkiri sikap keibuan dan kedewasan  yang dimiliki Inggit jadi magnet tersendiri bagi Sukarno. Sangat bertolak belakang dengan Utari yang kekanak-kanakan. Inggit mengambil peranan penting dalam menyokong Sukarno memperjuangkan kemerdekaan. Baik materi maupun immateri.
Saat Sukarno ada masalah ia sanggup menjadi ibu, sahabat, sekaligus istri yang baik bagi Sukarno. Ia paham bahwa kehadiran wanita menjadi magnet dan sumber kekuatan luar biasa dalam perjuangannya. Pun kala Sukarno masuk dan berpindah dari satu penjara ke penjara lain, Inggit ikut serta menemani kesayangannya. Mulai dari penjara Sukamiskin, kemudian diasingkan ke Ende, Flores NTT, sampai ke Bengkulu.
Di Bengkulu Sukarno berbaur dengan masyarakat lintas etnis, budaya, dan agama. Ia pun bergabung dalam Muhammadiyah setelah kedatangan Hasan Din bersama istri dan putrinya, Fatimah ( Fatmawati ). Oiya, Inggit ini tidak mampu memiliki keturunan. Dia dan Sukarno mengadopsi dua anak, satu kala di Bandung dan satunya lagi saat di Flores.
Bertemu dengan Fatimah yang cantik dan muda membuat Sukarno kembali bergairah. Sebelumnya Sukarno dan Inggit sepakat menjadikan Fatimah sebagai anak angkat melengkapi dua anak angkat mereka yang sudah ada. lambat laun Sukarno pun semakin tertarik dengan Fatimah, hal ini diendus oleh Inggit namun kala ditanya Sukarno hanya mengelak dan menepis prasangka sang istri.
Hingga tiba pada suatu waktu Inggit harus ke Jogja mengantarkan salah satu anak angkatnya melanjutkan pendidikan. Sebulan lamanya ia pergi, Sukarno tak ikut karena banyak urusan di Bengkulu. Sekembali dari Bengkulu itulah Inggit semakin merasakan perubahan dalam diri Sukarno. Ia jadi lebih dekat dengan Fatimah. Bara api cemburu mulai membakar hati Inggit. Tapi ia paham seperti apa tipikal Sukarno, mustahil menghentikannya yang sudah kadung terpesona dengan Fatma begitupun Fatma. Inggit adalah tipe wanita yang tak rela dimadu. Ia pun meminta cerai. Dengan terpaksa Sukarno pun menceraikan Inggit dan mengembalikannya ke Bandung kemudian menikah dengan Fatimah yang diubah namanya menjadi Fatmawati.
Bro, ngomong-ngomong sudah empat lembar nih goresan. Sepertinya saya akan meresensi buku ini dalam 2-3 goresan. Jadi untuk hari ini cukup sampai disini dulu ya. Insya Allah besok dilanjutkan. Terima kasih.
Isyakarima... Hiduplah dengan mulia !!!

Di malam minggu yang sepi
Jogja, 09 April 2016
20:32 WIB

King Izzu

Komentar

Postingan Populer