Propaganda Media



Sebagai ibu kota negara, DKI Jakarta memiliki daya tarik tersendiri yang tak dimiliki provinsi lain. Tak heran jika hal ini menjadi magnet kuat bagi para pemburu kursi kekuasaan. Kontestasi pemilihan umum gubernur jadi ajang pertaruhan memenangkan kursi DKI 1. Apalagi pasca fenomena batu loncatan yang dilakukan Jokowi. Dari wali kota, transit sebentar jadi gubernur hingga sekarang menduduki kekuasaan paling tinggi di Indonesia. Fenomena ini mengindikasikan Jakarta sebagai lahan bagus dan potensial untuk meniti karier politik.
Saya bukan orang Jakarta. Tapi saya pernah tinggal di Jakarta sekitar dua minggu, kurang lebih 2 tahun lalu atau tepatnya kala Jokowi mengalahkan Prabowo dalam pemilihan presiden. Tidak banyak pengalaman yang saya dapatkan kala itu, tapi saya tahu dan bisa merasakan bagaimana macet dan bisingnya ibu kota baik siang maupun malam hari. Bahkan saya girang bukan main saat melihat banjir untuk pertama kali. Sekarang mah kalau ketemu banjir boro-boro seneng, saya ngedumel dalam hati. Pernah sekali waktu pulang kuliah saya dan Isyana ( motor saya ) terjebak banjir di jalan Solo, tepat depan Amplaz ( Ambarukmo Plaza ), kan kasihan si Isyana, kalau mesinnya rusak toh saya juga yang tekor.
APBD DKI Jakarta pun ndak tanggung-tanggung. 79 triliun lebih. Wali kotanya saja diberi 50 juta per-pekan untuk kondangan warga. Artinya kalau ada warga ngundang wali kota ke hajatannya, si wali kota pasti ngasih amplop kan ? Nah jangan kira itu duit pribadinya, bro. Itu udah ada anggarannya. Pun juga dengan gubernur, presiden, dan anggota dewan. Sudah ada anggaran buat ngasih amplop ke hajatan warganya.
Maka julukan Daerah Khusus memang pantas disematkan pada Jakarta. Ada banyak pengkhususan yang diberikan pemerintah pusat kepada ibu kota tercinta itu. Lantas apakah provinsi lain harus iri ? saya rasa ndak perlu. Besarnya APBD DKI sebanding dengan besarnya problematika yang mendera. Kemacetan, banjir, watak keras masyarakat, kriminalitas. Yang terbaru ya reklamasi teluk Jakarta, dan lain-lain.
Koh Ahok sebagai petahana berniat maju pada pilgub 2017 mendatang. Sayang beribu sayang beliau ndak mau pakai partai. Padahal Hanura dan Nasdem sudah menyatakan siap mendukung. Belum lagi PDIP, mengingat kedekatan Ahok dengan Megawati. Tapi itulah Ahok, bersikeras ndak mau pakai partai. Beliau mengatakan akan maju bersama “Teman Ahok”, relawan yang saat ini tengah sibuk mengumpulkan 1 juta KTP untuk Ahok.
Siapa lawan Ahok ? Risma, Ridwan Kamil, dan bu menteri Susi jadi pesaing terkuat dari sisi elektabilitas. Sayang Risma dan Kang Emil sudah menyatakan tak akan maju di pilgub DKI 2017 mendatang. Bu Risma mau fokus di Surabaya pun dengan Kang Emil, masih ingin menyejahterakan para jomblo di Bandung. Walhasil menurut banyak lembaga survey belum ada calon yang sanggup menyaingi elektabilitas Ahok.
Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, Haji Lulung, hingga musisi Ahmad Musaddeq, eh salah ding, Ahmad Dhani maksudnya, kini tengah aktif cari perhatian pada masyarakat Jakarta. Kecuali Ahmad Dhani, sepertinya belio cari perhatian dikarenakan kurang kerjaan, makanya mau ikut-ikutan nyagub. Namun sampai detik ini elektabilitas Ahok masih tak tersaingi.
Hal ini jadi kesedihan tersendiri buat para oknum dan etnis yang ndak rela Ahok jadi gubernur. Entah karena alasan teologis atau lantaran gaya ngomong Ahok yang apa adanya dan cenderung ndak bisa disaring. Mereka kini disibukkan mencari figur pesaing Ahok yang tepat dijadikan lawan. sepertinya kalau Ahok ndak jadi gubernur mereka akan sujud syukur masal di Monas.
Saya sempat mendengar kabar dari Lombok bahwa TGB ( Gubernur NTB saat ini ) digadang-gadang akan diajukan sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Mendengar hal ini saya senyum sendiri. Ada dua alasan mengapa saya tersenyum. Pertama, mereka yang membawa kabar ini nampak jelas begitu bangga dengan TGB. Sampai-sampai mereka lupa kalau pun TGB hijrah ke Jakarta ya mereka juga kehilangan panutan to ? Kedua, saya senyum lantaran – kalau boleh jujur, menurut saya – hal tersebut lumayan imposible.
Lah kok gitu, Bang ?
Begini, Dek. Sekarang kita hidup di zaman digital. Kita bernafas di era media. Siapa yang menguasai media, yang wajahnya sering nongol, entah pemberitaannya baik atau buruk dia lah yang mendapatkan popularitas. Dan Kalian tahulah Jakarta itu diliput tiap hari oleh semua media. Kalau daerah-daerah pinggiran macam NTB dan lainnya itu mah sekali seminggu masuk berita.
Saya pernah mendapat pelatihan propaganda dunia virtual kala masih di Jakarta oleh sebuah stasiun TV swasta nasional. Selama dua minggu jadi orang TV saya benar-benar takjub dengan behind the seen-nya. Betapa dunia TV begitu mempropaganda asumsi dan opini publik. Terpilihnya Jokowi pun tak bisa dilepaskan dari peran media yang mengangkat-angkat nama beliau.
Belum lagi melalui dunia maya. Facebook meski sudah cukup usang tapi masih jadi primadona. Terbukti beberapa waktu belakangan saham Facebook selalu mengalami kenaikan. Pun dengan twitter dan juga instagram. Kalau mau terkenal sekarang ndak perlu bayar media TV atau online. Cukup cari perhatian di media sosial Ente pasti terkenal. Salah satu faktor mengapa Ridwan Kamil begitu dicintai masyarakat Bandung dan luar Bandung adalah facebook dan akun medsosnya yang lain. Coba perhatikan setiap postingan beliau, selalu saja mampu membuat yang membaca tersenyum tanpa mengurangi esensi yang hendak disampaikan.
Sedangkan TGB ? beliau adalah tipe pemimpin yang bekerja. Saking bekerjanya hingga ndak punya waktu untuk cari perhatian di media sosial. Media yang memberitakan beliau pun sangat minim. Kalau saya perhatikan, hanya Republika dan Jawa Pos yang beberapa kali memberitakan beliau. Itu pun saya yakin lantaran ada kepentingan dibaliknya ( duh, suuzon sesekali ndak apa-apa ). Kalau kebetulan ada even nasional di NTB baru deh profil beliau diberitakan. Artinya saat ini gubernur kita belum bisa mempropaganda media yang notabene salah satu alat peningkat elektabilitas. Bukan belum bisa sih tapi mungkin ndak mau, bagi beliau lebih baik kerja kerja dan kerja. Sesuai amanat presiden.
salah satu petuah dari koh Ahok

Masyarakat kini semakin cerdas. Kita tidak lagi hidup dimana kebanyakan masyarakat manut dan patuh pada pimpinan mereka. Dalam hal ini kiyai, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Coba ingat-ingat ! dulu, Prabowo didukung hampir seluruh kiyai besar, kecuali Hasyim Muzadi dan beberapa kiyai lain, tapi coba lihat hasilnya ? kalah to ? ini menandakan masyarakat semakin cerdas. Maka cara menarik simpati dan perhatian masyarakat pun harus lebih cerdas juga.
Kekuasaan kini sangat dipengaruhi oleh media. Seandainya nih semua media kompak memberitakan TGB saya yakin elektabilitas beliau akan naik. Tapi kan ndak mungkin ? Jakarta lebih strategis dan punya nilai jual. Semua kembali pada kepentingan komersil. Ah sebegitu kapitalisnya kah dinamika hidup kekinian ?
Bagi para TGB Lovers – termasuk mungkin saya -, izinkan saya menghimbau kepada Kalian, jika beropini mbok ya realistis sedikit. Bukan saya menapikan peluang TGB go to Nasional tapi persentasinya kecil, Sodara-sodara. Ya lantaran media itu. Tidak ada upaya propaganda. Ayolah bantu dan kawal TGB menuntaskan masa baktinya yang tersisa beberapa tahun lagi. Semoga visi misi beliau tercapai. Nah setelah itu apa beliau mau melanjutkan karier politik atau kembali jadi pengajar ya kita serahkan pada beliau.
Propaganda media ini ndak selalu berdampak negatif, Sodara-sodara. Andai dimanfaatkan dengan tepat dan akurat bukan tidak mungkin berdampak maslahat. Sampai sejauh ini saya haqqul yakin Ahok akan terpilih sebagai DKI 1 selanjutnya. Karena media membesarkan dan mempropaganda figur beliau. Mau sekeras apaun Riziq Sihab protes, demo, bersama FPInya koar-koar Ahok kafir kemudian diberitakan oleh media, makin sayang masyarakat sama Ahok.
Ah, Sudahlah. Kita jadi penonton saja. Eh ndak ding, saya ndak punya TV, jadi penyimak saja lah. Kita tunggu epsiode demi episode selanjutnya dari daerah khusus ibu kota Jakarta.

Jogja, 25 April 2016
20:34 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

Postingan Populer