Semoga Ustad Bahagia
Desau angin menerpa
kuntum bunga mawar di pinggir lapangan. Bunga itu telah mekar sejak beberapa
hari lalu. Cantik nian menggelayut. Namun sayang terabaikan. Tak ada satu pun
yang berminat memetiknya. Bunga yang malang, dan ....
“ Aut! Aut ! ”
“ Cepat ! Lempar ! Lempar
ke sini, Ja ”
“ Ah, bodoh !! Ronaldo
macam apa ”
Bunga itu terhempas bola
plastik. Terjatuh dan terinjak tanpa ampun. Sungguh bunga yang malang. Sudah
ndak laku terinjak-injak pula. Habis sudah kecantikan bunga mawar di pinggir
lapangan itu oleh tendangan para pemain amatiran.
Lapangan itu dikelilingi
oleh gedung-gedung di sisi utara dan selatan. Di sebelah barat terdapat
panggung yang berdempetan dengan dua ruangan. Adapun di ujung timur hanya
tembok kurang 2 meter bertengger membelakangi kebun lebat milik warga. Jangan
kira lapangan itu berumput macam stadion sepak bola. Bukan juga tanah berdebu
ala arena wong deso. Lapangan itu dilapisi semen permanen yang mulai
terkelupas di beberapa titik.
Ada 16 pemain amatiran di
lapangan. Masing-masing tim terdiri atas 8 orang. Jangan heran dan merasa aneh.
Begitulah sepak bola di lingkungan pesantren. Fleksibel dan masa bodo dengan
peraturan. Ndak ada istilah maksimal jumlah pemain, offside, apa lagi
pelanggaran. Jangan tanya jersey juga. Kala santri sudah bermain bola, lapangan
seakan menjadi arena fashion show. Pakaian mereka beraneka ragam. Ada
yang main pakai kaos oblong, jersey KW berbagai klub bola, bahkan menggunakan
baju koko, sarung, plus songkok beludru yang dipasang miring. Tak lupa tangannya
membawa piring ke mana pun ia berlari. Karena seusai bermain ia harus beranjak
ke dapur umum mengambil jatah makan malam dari koki yang mereka laqob-i
“Pak Dapur”. Kalau kebetulan kokinya cewek maka laqob itu berubah
jadi “Bu Dapur”. Pergantian koki di dapur umum sudah jadi hal lumrah di
pesantren itu.
salah satu benturan antar santri kala main bola, lihat ! ndak ada satupun yang pakai celana pendek bukan ? ( sumber : dok. pribadi )
Ali menguasai bola lalu
menggiringnya ke daerah pertahanan sendiri. Mencari celah untuk memberi umpan
pendek atau terobosan bagi kawan yang menanti di depan. Tubuh Ali kecil, kurus,
namun matanya besar. Sangat tidak matching bukan ? jika bermain bola
posisi favoritnya adalah gelandang. Karena ia yakin posisi playmaker merupakan
kunci kemenangan.
Muja perlahan mendekati
Ali, sebagai striker naluri mencetak golnya sangat buas. Matanya tajam
memandang bola lalu kemudian menyerbu Ali berusaha merebut si kulit bundar. Ali
seperti tidak melihat pergerakan Muja. Ketika Muja sudah hampir berhasil
merebut bola, Ali menendang bola ke atas melewati kepala Muja. Ali tertawa
penuh kemenangan. Ia hanya pura-pura tak melihat. Muja geram bukan main,
secepat kilat ia mencoba merebut bola kembali namun Ali melewatkan bola di
celah kedua kaki Muja lalu kemudian berlari ke arah pertahanan lawan sembari
tertawa.
“ Gimana sih, Ja, katanya
ente Ronaldo ? ” ejek seorang santri yang menyaksikan di pinggir
lapangan. Muja terdiam, ia hanya tersenyum masam namun dalam hati menyumpahi
dirinya habis-habisan. Selama bermain bola di pesantren bisa dihitung dengan
jari berapa kali ia mencetak gol. Sungguh prestasi yang tak sejalan dengan prestasi
akademiknya. Juara kelas dan salah seorang santri andalan ustad kalau baca
kitab gundul. Ia begitu berhasrat jadi sosok yang sempurna. Pintar dalam
pelajaran, handal dalam sepak bola, bahkan beberapa hari ke depan ia berencana
belajar alat musik.
“ Hey ! Santri ! berhenti
mainnya ! sebentar lagi magrib ! ” seorang pria muda berkopiah hitam keluar
dari ruangan di panggung sebelah barat. Semua santri manut dan bergegas
beranjak. Bagi mereka perintah ustad laksana titah Tuhan. Wajib dilaksanakan. Satu
persatu memasang kembali sandal jepit yang mereka tanggalkan sewaktu bermain.
Ya, itu juga budaya main bola ala pesantren kampung, bermain dengan kaki
telanjang. Muja pun mencari-cari sandalnya yang entah dimana.
Masak hilang lagi sih
? baru juga beli tadi pagi. Gerutu Muja dalam hati.
***
Seminggu kemudian...
Jika pelajaran sore hari
tidak ada, main bola jadi aktivitas alternatif sekaligus menyenangkan bagi para
santri. Ustad pun tidak melarang selagi mereka masih mentaati aturan. Ustad
akan berang jika melihat santri bermain dengan celana pendek atau bermain kala
kelas lain sedang belajar. Di luar itu sesekali Ustad ikut menyaksikan
pertandingan amatiran antar murid-muridnya. Ia pun kala masih nyantri dulu
sering main bola kok. Maka menikmati senja di pesantren yang juga almamaternya
jadi momen asyik tuk bernostalgia.
Pun dengan sore itu.
Ustad Hanif duduk di pinggir lapangan. Ia tak sendiri. Seorang santri berbaju
koko menemaninya menikmati pertandingan. Santri itu membawa piring dan
sebungkus mie instan. Seperti biasa, sebentar lagi jadwal minta jatah pada Pak
Dapur akan tiba. Ia bisa sekalian minta air panas gratis untuk menikmati mie
instan.
“ Tumben kamu ndak main,
Ja ? ” tanya Ustad Hanif.
“ Lagi malas, ustad. Saya
juga sudah mandi ”
“ Loh, bagus kalau sudah
mandi, berarti lebih segar kan? Mainnya jadi lebih bergairah ”
“ Malas keringatan dan
mandi lagi, Ustad ” Muja menyeringai.
“ Gimana mau jadi pemain
profesional kalau keringatan saja malas, kalau Kamu mau mendapatkan sesuatu ya
harus berusaha dan berani menerima resiko ” ucap Ustad Hanif mantap.
“ Iya, Ustad. Fahimtu (
saya paham ), tapi biarlah saya ndak menggapai impian jadi pemain sepak bola,
biarkan Ali dan kawan-kawan lain yang jadi pemain. Nanti saya jadi pemilik klub
saja ”
Ustad Hanif tertawa.
Mereka terus menikmati
jalannya pertandingan. Seorang santri terjatuh dan meringis kesakitan. Ekspresi
kesakitannya persis pemain-pemain top dunia. Dan sejurus kemudian ia tertawa.
Kurang ajar, ia hanya menipu santri yang lain. Ustad Hanif dan Muja ikut tertawa
menyaksikan tingkah santri jail itu.
“ Berarti kalau mau
mendapatkan hati wanita kita harus berusaha juga ya, Ustad ? ”
Kembali Ustad Hanif
tertawa mendengar pertanyaan salah satu santri andalannya itu. Sebenarnya umur
mereka tak terpaut jauh. Hanif sempat menjadi senior Muja. Setamat dari pesantren
ia melanjutkan kuliah namun nyambi jadi pembina di pesantren tersebut atas
permintaan ustadnya. Maka jangan heran kenapa santri dan ustad itu bisa begitu
dekat.
“ Tob’an ( tentu )
”
“ Ngomong-ngomong,
sekarang Ustad sedang dekat dengan siapa ? ” iseng Muja bertanya. Ia yakin
Ustadnya ini pasti berkenan berbagi cerita.
“ Banyak lah, sekarang
kan saya sedang duduk di dekat kamu ” Hanif tertawa.
“ Maksud saya cewek,
Ustad. Ustad lagi dekat sama siapa ? maulah saya tahu siapa calon Ustazah kami
”
“ Ini lihat sendiri, ada
beberapa wanita yang sering sms saya ” Hanif menyerahkan handphone bututnya.
Dengan senang hati Muja
menerima dan langsung membaca inbox di HP sang Ustad. Ada beberapa sms wanita
di HP itu. Meski SMSnya sekedar basa-basi. Tiba-tiba ia melihat satu nama di
kotak masuk yang sangat dikenalinya. Fatimah. Ya Rabbi, hatinya bergetar. Ia
tengok tanggal sms itu dikirim, sekitar dua minggu yang lalu. Itu artinya saat
mereka tengah libur panjang. Bukan kah saat itu sms Muja tak pernah dibalas
Fatimah. Tapi kenapa ia malah smsan dengan ustad Hanif? Apa benar gosip yang
didengarnya beberapa hari lalu bahwa Fatimah mengagumi sang Ustad lebih dari
seorang guru. Apalagi umur mereka tak beda jauh.
“ Fatimah pacarnya siapa,
Ja ? ” tiba-tiba Ustad Hanif menggagetkan Muja
“ Nnn.. Ndak tahu Ustad,
sepertinya ndak ada ” jawab Muja mencoba menguasai diri. Pertanyaan sang Ustad
memperkuat dugaannya.
“ Memangnya kenapa, Tad ?
” tanya Muja
“ Ndak, saya hanya ingin
tahu. Ayok ! siap-siap ! setengah jam lagi azan magrib ” Ustad Hanif bangkit
setelah mengambil HP bututnya dari tangan Muja kemudian beranjak lebih dulu.
Muja mematung seorang
diri. Menatap kosong ke depan. Sejak kelas 1 MTs ia sudah memendam rasa pada
Fatimah. Semua kawannya tahu itu. Bahkan Fatimah juga sangat mengetahuinya.
Empat kali ia menyatakan cinta empat kali pula penolakan ia terima. Kini ia
tahu sepertinya Fatimah tak kan pernah menginginkannya. Meski hanya menduga
namun fakta Fatimah sengaja mengabaikan smsnya sudah cukup jadi bukti. Bukan
tidak mungkin sang Ustad juga menaruh hati pada Fatimah.
Dan sekali lagi bola
plastik itu menghantam sekuntum bunga mawar yang baru kemarin mekar. Terjatuh
tepat di kaki Muja. Kelopak merah meronanya mencium tanah. Bunga itu telah
gugur ketika mekar. Sama seperti perasaannya.
Semoga Ustad
bahagia. Lirih Muja.
Ia beranjak seraya berharap sajian Pak Dapur bisa sedikit menawar kekecewaannya.
Jogjakarta,
20 April 2016
17:38 WIB
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar