Resensi : Giri, Raja dan Sunan Besar yang Terlupakan
Judul : GIRI, Raja dan Sunan Besar yang
Terlupakan
Penulis : Yudhi AW
Penerbit : DIVA Press
Tahun terbit : cet-1 Oktober 2011
Halaman : 360 hlm
Buku semibiografi yang
ditulis oleh alumni Sastra Arab UGM ini saya pinjam dari Grhatama Pustaka. Satu
paket dengan buku Cinta dan Hati Istri-Istri Sukarno yang tempo hari sudah
paripurna saya resensi ala kadarnya. Sebagai manusia non Jawa, saya belum tahu
benar kisah-kisah inspratif wali songo, 9 ulama penyebar ajaran Islam paling
berpengaruh di tanah Jawa. Memori ini lebih banyak terisi oleh kisah-kisah
heroik perjuangan dan karomah ulama kharismatik di Lombok yang juga – menurut
keyakinan masyarakat di sana – termasuk dalam deretan waliyullah, Almagfurullah
Maulanasyaikh TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid.
Sesuai dengan judulnya,
Sunan Giri tak hanya ulama. Lebih dari itu, beliau merupakan keturunan
bangsawan dan raja besar Majapahit, Hayam Wuruk. Jika silsilah keturunan
diurutkan, beliau adalah cucu urutan ke lima, artinya, kakek dari kakeknya
Sunan Giri ialah raja besar Majapahit, Hayam Wuruk. Gimana, paham ndak ? kalau
ndak paham ya wes, intinya Sunan Giri itu keturunan raja dan bangsawan.
Beliau berguru pada Sunan
Ampel yang di kemudian hari menjadi mertuanya. Dalam novel ini dikisahkan
bagaimana semangatnya seorang Jaka Samudera ( nama kecil Sunan Giri ) menimba
ilmu pada Sunan Ampel. Tak ada santri yang lebih semangat ketimbang beliau.
Utamanya dalam ilmu fiqih dan tafsir. Maka kedatangan Jaka Samudera adalah
berkah bagi pesantren Sunan Ampel, karena ketika belajar, beliau adalah santri
yang rajin bertanya. Tak ayal pertanyaan yang diajukan menjadi pemantik
pertanyaan-pertanyaan dari santri lain. Maka geliat menimba ilmu begitu terasa
di seantero pesantren.
Sunan Ampel adalah ulama
yang memiliki kepekaan mata bathin. Suatu malam beliau tak bisa tidur. Mata
seolah tak ingin terpejam meski malam semakin larut. Usai menunaikan dzikir dan
qiyamullail beliau memutuskan blusukan ke asrama santri-santrinya.
Berpindah dari satu asrama ke asrama lain. Sejauh ini masih aman, deretan
santri terlelap penuh kekhusyu’an di atas pembaringan sederhana mereka dengan
berbagai gaya. Hingga tiba-tiba Sunan Ampel menyaksikan selarik cahaya dari
langit dan masuk ke salah satu asrama.
Beliau beristigfar
berkali-kali, khawatir itu adalah tipu muslihat syaithan, namun sejurus
kemudian beliau yakin itu adalah pertanda dari Gusti Allah. Tak lain cahaya itu
mengarah ke Jaka Samudera. Lambat laun barulah Sunan Ampel tahu bahwa Jaka
Samudra merupakan keponakannya yang hilang, adapun ibu Jaka Samudera saat itu hanya
lah ibu angkatnya.
Cahaya dari langit itu
memang benar-benar pertanda. Hanya Sunan Ampel yang bisa melihatnya. Kelak Jaka
Samudera lah yang melanjutkan dakwah Sunan Ampel di tanah Jawa.
Sunan Ampel menjodohkan
Jaka Samudera dengan putrinya yang bernama Murtaisyah. Islam membolehkan
pernikahan antar sepupu. Namun menjelang pernikahan ada satu kejadian yang
membuat Jaka Samudera sempat kebingungan. Cerita ini mirip sekali dengan kisah
seorang pemuda yang memakan buah yang mengalir di sungai, kemudian merasa
bersalah dan mencari tahu siapa pemilik buah tersebut. Dan akhirnya untuk
mengikhlaskan buah tersebut sang pemuda harus menikah dengan putri sang pemilik
pohon. Saya tidak tahu kejadian ini benar adanya atau tidak, karena ya kok
mirip banget gitu kronologinya ? Anda tahu kan kelanjutan cerita di atas, di
kemudian hari, dari pasangan itu lah lahir Imam Syafi’i. Salah satu dari 4
orang imam mazhab Fiqh yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Jadilah
Jaka Samudera alias Sunan Giri menikah dengan dua wanita sekaligus.
Di novel ini juga
diceritakan Sunan Ampel memiliki dua istri. Sehingga izinkan saya menarik satu
hipotesa, berdasar pada fakta historis, banyak tokoh yang menikah lebih dari
satu kali, mulai tokoh agama hingga tokoh politik sekaliber Sukarno.
Almagfurullahu Maulanasyaikh di Lombok pun selama hayat beliau tak kurang 4
kali melangsungkan pernikahan. Maka hipotesa saya adalah jika ingin jadi orang
hebat, ikuti jejak beliau-beliau itu, termasuk dalam kuantitas istri. Hoho,
ajaran sesat ini jangan diikuti. Abaikeun saja.
Dikisahkan juga, suatu
ketika Sunan Giri diperintahkan berdagang ke Kalimantan oleh ibu angkatnya. Ia
pun berangkat bersama dua orang abdi
sang ibu. Akan tetapi sesampai di sana bukan transaksi jual beli yang
beliau lakukan, melainkan menyedekahkan seluruh beras yang dibawa. Hanya
beberapa rempah-rempah yang diperjual-belikan. Hal ini membuat dua abdi-nya
pusing tak bisa tidur. Bagaimana tidak ? bos mereka yang tak lain ibu angkat
Jaka Samudera terkenal pelit dan tidak punya toleransi jika berkaitan dengan uang.
Mereka pasti kena omelan berjam-jam, bahkan bisa saja dipecat.
Uang hasil penjualan
digunakan membeli beberapa barang khas Kalimantan untuk di bawa ke tanah Jawa.
Seandainya mereka menjual seluruh barang dagangan tentu kapal mereka akan
penuh, tapi karena 1/3 barang itu dibagi-bagikan percuma oleh Jaka, hanya
kurang separuh dari kapal itu yang terisi. Sesampai di Jawa hal menakjubkan pun
terjadi. Barang bawaan yang tadinya sedikit tiba-tiba bertambah berkali-kali
lipat. Disitulah tanda karomah Jaka Samudera mulai terlihat.
Sunan Giri tak hanya
belajar dari literatur dan mendengarkan ceramah sang guru. Beliau pun dikenal
sebagai pengembara, dari tanah Melayu hingga Sumbawa. Tak ayal hal ini membuat
nama beliau dikenal harum oleh kaum bangsawan. Raja sendiri memberi gelar “
raden ” pada beliau atas permintaan Sunan Ampel. Hal itu dilakukan Sunan Ampel
bukan semata lantaran mengejar duniawi apalagi embel-embel prestisius. Itu
adalah strategi dakwah yang dijalankan Sunan Ampel. Di sini lah kita bisa
belajar bahwa dakwah itu ndak Cuma ceramah dan menyampaikan, tapi jika ingin
dakwah berjalan optimal dibutuhkan strategi. Salah satu strateginya ya lewat
jalur politik, melakukan pendekatan pada pemegang kekuasaan.
Contoh, tengoklah Arab
Saudi. Apa perbedaan kita – Indonesia – dengan Arab Saudi ? kebanyakan orang
Indonesia teologinya Asy’ariyah, Fiqihnya Syafi’i, Tasawufnya Ghazali. Nah
kalau Arab teologinya Wahabi, Fiqihnya Hanbali, Tasawufnya ndak diakui. Peniadaan
tasawuf dalam ortodoksi Arab berkaitan erat dengan ketatnya teologi Wahabi
menolak segala apa yang mereka nyatakan “ bukan Islam autentik ”, atau permudah
dengan menyebutnya “bid’ah” ( Edi AH Iyubenu : 148 )
Kenapa kok bisa gini ?
itulah pengaruh penguasa, pemangku kebijakan politik di suatu tempat. Coba
kalau kerajaan Su’udiyah itu bukan Wahabi, lain ceritanya Arab hari ini. Bisa
jadi ini salah satu alasan banyaknya para tokoh agama yang terjun ke dunia
politik. Berdakwah lewat politik. Dan hasilnya ? ah sudahlah, bukan tugas saya
menilai. Tugas saya – dan kita semua – adalah mendoakan para pemimpin dan
pendakwah agar amanah dalam menjalankan tugas mereka masing-masing.
Sunan Giri memiliki
perbedaan cara berdakwah dibanding Sunan Kalijaga. Beliau dikenal sangat anti
dengan khurafat, bid’ah, tahayyul, dan berbagai – hal yang beliau anggap
termasuk – kesyirikan. Sedangkan Sunan
Kalijaga lebih melakukan dakwah melalui pendekatan seni, karena beliau tahu
benar masyarakat Jawa adalah masyarakat yang masa lalunya – bahkan hingga hari
ini – kental dengan pengaruh animisme dan dinamisme.
Novel ini menceritakan
dengan baik dan apik biografi hidup Sunan Giri. Tapi seperti biasa, tak mungkin
novel setebal 360 halaman mampu saya reduksi total hanya di atas 4 kertas. Bagi
yang hendak membaca lebih lanjut silahkan cari bukunya.
Adapun beberapa amanah
dan teladan yang bisa kita petik dari biografi Sunan Giri adalah ; keyakinan
pada kekuasaan Allah yang tiada bertepi, semangat menuntut ilmu tanpa memandang
usia, tempat, dan keadaan, ta’zhim
dan adab beliau pada guru, serta strategi dalam berdakwah. Untuk
strategi sendiri sebenarnya tidak berlaku pada ranah dakwah saja melainkan pada
aspek yang lain pula. Ente mau dagang, usaha, atau berbisnis apalah namanya
mutlak membutuhkan strategi. Nah strategi ini ente bisa dapetin lewat
pengalaman, belajar, dan berani mencoba bin ndak takut salah. Sederhananya
mencari pola sembari selalu menyerahkan semuanya pada Allah.
Oke, demikian resensi
teramat singkat ini, saya sengaja lebih banyak mengemukakan amanah yang bisa
kita petik dari pada jalan ceritanya. Karena bukan kah “ amanah ” yang
terpenting dalam secarik cerita, iya tho ? kalau mau cerita yang
dramatik lah monggo pantengin wae Utt*ran, Anak Jal*nan, atau
drama-drama Korea. Tapi kalau mau amanah dan teladan silahkan baca kisah-kisah
para tokoh hebat. Salah satunya yang saya recomended adalah buku
biografi Sunan Giri ini.
Selamat sore, Isy
karima... hiduplah dengan mulia
Di sore yang
mendung
Jogja, 12
April 2016
16:56 WIB
King Izzu
Komentar
Posting Komentar