Resensi : Tiada Sufi Tanpa Humor



Judul              : Tiada Sufi Tanpa Humor
Penulis          : Imam Jamal Rahman
Penerjemah  : Fahmy Yamani
Penerbit        : Serambi
Cetakan         : cet-1, Maret 2015
Halaman       : vii + 240 hlm
seperti biasa, minjem di Grhatama, Gan !

Buku ini merupakan kumpulan tulisan penuh nasihat inspiratif yang disadur dari kisah-kisah para sufi. Sufi sendiri merupakan istilah yang disematkan pada mereka yang menjalani hidup di atas pondasi hakikat. Juga dapat dikatakan pengimplementasi ajaran tasawuf. Namun perlu untuk dicatat bahwa sufisme bukanlah aliran dalam Islam.
Dua aliran utama dalam Islam adalah sunni ( 85% ) dan syiah ( 15% ); perbedaan keduanya dapat ditelusuri pada perselisihan tentang siapa yang menjadi pemimpin sepeninggal Nabi Muhammad pada 6322 M. Kedua aliran mengajarkan Islam yang sama, tapi konflik historis menciptakan luka emosional yang sangat lambat untuk disembuhkan dan perbedaan teologis kecil antara kedua kelompok tersebut sering dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk kepentingan ekonomi dan politik.
Adapun sufi sendiri bisa kita temukan dalam kedua aliran tersebut, bahkan di luar Islam pun demikian, utamanya Kristen, Yahudi, Buddha, dan Hindu. Buku ini mengulas berbagai problematika manusia zaman ini yang dibalut dengan uraian menyentuh hati dan kisah-kisah dari sang Mullah. Mullah disini maksudnya Nasrudin, tokoh sufi yang ceritanya begitu kesohor. Ada berbagai versi tentang asal usulnya, meski banyak kisah yang dibawakannya fiktif namun esensi dari cerita-cerita tersebut tak dapat kita abaikan begitu saja.
Beberapa bagian utama dalam buku ini antara lain; Kondisi Manusia yang Fana, Perubahan dalam Kesadaran, Kelemahan dan Kerapuhan, Kewaspadaan Atas Lembaga Keagamaan, Latihan Spiritual, Kebijaksanaan untuk Perjalanan Batin, Mengenal Allah, Aktif dalam Dunia, dan Waktunya untuk pulang.
Meresensi semua isi buku ini tentu tidak mungkin saya lakukan. Namun jangan khawatir, berhubung saya baik hati dan rajin baca buku kayak Rangga, dengan penuh rasa ta’zhim kepada panjenengan sekalian akan saya tuliskan beberapa kisah inpiratif dari sang sufi. Selamat menikmati.
Kisah ini bercerita tentang Aga Akil yang dikenal sebagai orang suci di desa Mullah. Pada suatu hari, Mullah melihatnya bergegas pulang di bawah guyuran hujan dan berteriak padanya, “ Kenapa orang suci seperti dirimu melarikan diri dari berkah Allah ? Bukankah Al-Qur’an mengatakan air yang turun dari langit adalah tanda rahmat dan berkah suci dari Allah? ”.
Karena mengkhawatirkan reputasinya, Aga Akil mengangkat kedua tangan untuk memuji Allah di bawah guyuran hujan dan memperlambat langkahnya. Keesokan harinya dia terserang flu. Hari itu turun hujan kembali dan melalui jendelanya, Aga Akil melihat Mullah berlari pulang.
“ Kenapa kau menjauh dari berkah Allah? ” teriak Aga Akil. “ Apakah kau tidak menghormati hadiah ilahi ? ”
Mullah menjawab “ Justru karena alasan itulah aku bergegas pulang. Aku tidak ingin mengotori air suci ini dengan kakiku ”.
Renungan yang dapat kita petik dari kisah sang Mullah diatas adalah “ Sayang sekali jika kau ingin menjadi orang lain. kau tidak melihat wajahmu sendiri, kecantikanmu sendiri. Namun tidak ada wajah yang lebih indah daripada wajahmu itu ( Rumi ) ”. Dalam hidup, kita acap kali – baik sadar ataupun tidak – menjelma jadi orang lain. Melakukan suatu hal untuk jaim di hadapan orang. Memasang wajah palsu, senyum palsu, dan perangai palsu. Semuanya dilakukan agar kita terlihat baik di mata manusia. Padahal itu hanyalah kesia-siaan belaka. Jadilah dirimu sendiri, pelihara kemurnian karakter dan keunikan perangaimu. Lalu bergaulah dengan mereka yang pantang menjadi orang lain.
Kisah selanjutnya menceritakan sang Mullah bekerja sebagai penasihat istana, kepercayaan raja. Suatu hari ia bertemu dengan elang kerajaan untuk pertama kalinya dan berpikir bahwa ini adalah burung merpati yang sangat aneh. Karena berpikir dirinya membantu sang raja, dia memotong cakar, sayap, dan paruh elang sampai dia berseru puas “ Akhirnya, kau sekarang lebih terlihat seperti merpati yang indah. Tidak diragukan lagi, pengurusmu pasti telah mengabaikanmu selama ini ”.
Seberapa sering kita berperilaku seperti Mullah saat bertemu dengan hal asing ? Kita sangat tergantung pada keyakinan, sikap, dan preferensi yang telah kita kondisikan sebelumnya. Baik lantaran pengaruh keluarga, suku, agama, dan media. Padahal kita hidup di dunia yang teramat besar nan luas. Dunia yang penuh dengan keindahan, variasi, keragaman, dan keunikannya. Istilah kekinian dan kedisiniannya “ kurang piknik ”. kita terlalu puas bermain di kampung sendiri, merasa cukup dengan sedikit pengetahuan yang dimiliki, dan kekeh pada truth claim yang hegemonik. Padahal kitab suci sendiri telah mengabarkan tentang heterogennya kosmos di alam semesta.
Maka, Sodara-sodaraku yang dimuliakan Allah, mari singkirkan tirani fanatisme dan etnosentrisme. Camkan, betapa Maha Asyiknya Dia. Bayangkan jika Allah menciptakan dunia dan seisinya monoton semua. Wajah yang sama, buah yang sama, pohon yang sama, juga karakter dan persektif yang sama. Aduhai tidak kah ia terasa membosankan ? persis laiknya drama cinta Thailand yang makin hari makin ndak asyik. Mari legowokan dan wellcome-kan diri pada keberagaman ciptaan Tuhan, agar hidup terasa lebih asyik dan berwarna. Jangan seperti Mullah yang hanya tahu merpati saja, tatkala melihat Elang malah berfikir ia burung yang tak normal dan harus diselamatkan. Bahaya tenan !
Kisah berikutnya masih dengan nilai moral yang sama.
“ Istri tersayang ” kata Mullah, “ Aku telah menemukan cara paling sempurna untuk memainkan biola! ”. Keluarga dan teman-temannya pun diundang untuk acara pada malam hari diiringi musisk yang indah dan mereka mendengarkan penuh harap saat Mullah dengan percaya diri mengangkat alat musik ke dagunya dan mulai bermain. Satu nada dimainkan, menyenangkan tetapi tidak terlalu indah. Mullah menggesekkan busur pada dawainya kembali dan keluar nada yang sama. Berulang-ulang dia memainkan nada yang sama dan semua orang mulai gelisah dengan rasa tidak nyaman dan malu. Akhirnya, istrinya bertanya mengapa dia tidak menggerakkan jemarinya pada dawai yang berbeda seperti yang dilakukan musisi lain. “Ya,”, jawab Mullah, “semua musisi lain masih berusaha untuk menemukan nada yang sempurna, tapi aku telah menemukannya!”.
Bayangkan ! betapa membosankan dunia ini jika Sang Pencipta merasa puas dengan “sebuah nada yang sempurna” dalam penciptaan-Nya. Maka syukurilah keragaman. Jangan egois ingin menjadi satu dan seragam. Hormati perbedaan lalu bernafaslah dengan ketaqwaan dan keimanan terbaikmu.
Hal Menarik
Setiap pembahasan dalam buku ini diuraikan dengan singkat, padat, dan ngena ke hati. Sehingga memudahkan kita jika ingin “pause” sejenak dan melanjutkan membacanya di lain waktu. Juga di setiap penghujung uraian, ada rubrik renungan dan latihan. Renungan sendiri berisi pesan moral dari uraian tersebut yang tak jarang mencantumkan kalimat bijak para sufi maupun ayat-ayat suci dalam Al-Qur’an. Latihan sendiri beiris tips-tips dari penulis bagaimana mengaplikasikan renungan tersebut dalam kehidupan nyata.
Tidak semua kisah Mullah menggambarkan kecerdasan dan kejenakaan beliau. Banyak juga cerita yang justru menginterpretasikan betapa “bahlul”nya sang sufi. Meski begitu tetap saja banyak hikmah dan ibrah yang dapat kita petik. Dan sekali lagi saya tegaskan, sebagian kisah-kisah tersebut ada yang nyata pun banyak yang fiksi. Yang paling penting ya hikmahnya.
Dan satu hal yang saya sadari setelah membaca buku ini. kita bisa belajar dari kesalahan orang lain agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Maka saat mendapati salah seorang saudara kita berbuat kesalahan ada baiknya jangan di-judge. Bantulah ia bangkit dan kembali pada jalur yang benar dan jangan lupa pelajari mengapa ia salah agar dirimu tak seperti dirinya.
Tetap semangat. Isy Karima.. Hiduplah dengan Mulia !!!

Jogja, 29 April 2016
22:23 WIB

King_Izzu

Komentar

Postingan Populer