Hierarki Dakwah
Bismillahirrahmanirrahim
Dakwah merupakan inti
ajaran Islam. Karena melaluinya lah Islam menyebar ke berbagai penjuru.
Melintasi samudera, menembus jarak ribuan kilo meter, hingga menyusup dalam
keberbudayaan pemeluknya. Kalau bukan karena dakwah, Islam yang lahir di Arab
Saudi tak mungkin sampai ke negeri tercinta ini. Bahkan kanjeng Nabi Muhammad
SAW. dalam salah satu hadist beliau mewariskan tugas dakwah ini kepada kita –
umat beliau.
Balligu ‘anni walau
kanaa ayatan. “
sampaikan apa yang kalian dapatkan dariku, meski hanya satu ayat ”. Kalau
redaksi hadist ini keliru tolong saya ditegur dan dibenarkan ya Sodara-sodara.
Disamping itu, dalam QS. Ali Imran[3]: 110 termaktub konsep umat terbaik yang
terimplementasi melalui amar ma’ruf nahi mungkar. Menegakkan kebenaran
memberantas kemungkaran. Itu kan hakikat dakwah juga to ? saya harap
kita sepakat mengakui bahwa dakwah adalah ibadah, amal soleh, dan perbuatan
mulia.
Secara etimologi dakwah
artinya “ menyeru ”. Bukan mengintervensi, intimidasi, apa lagi radikalisasi. Ayat
Al Qur’an yang kerap dijadikan landasan perintah dakwah adalah QS. an-Nahl
[16]: 125
“ Serulah kepada jalan
Tuhanmu dengan kasih sayang ( al-hikmah ) dan kalimat-kalimat yang baik (
mau’izhah hasanah ), dan debatlah mereka dengan perdebatan yang baik ....”
Ayat diatas dengan
gamblang memerintahkan dakwah. Tapi dakwah bukan sembarang dakwah,
Sodara-sodara. Ada kriteria yang harus dipenuhi agar dakwah yang kita lakukan sesuai,
sejalan, dan senada dengan firman Allah di atas. Kriteria tersebut antara lain kasih
sayang, kalimat yang baik, dan – bila terpaksa – berdebat dengan cara yang
baik. Intinya dakwah itu kudu baik. Sekali lagi, BAIK !
Menurut Prof. Qurais
Sihab dalam Tafsir al-Misbah, ayat tersebut menjelaskan tiga metode
dakwah ; pertama, dakwah bil-hikmah, dakwah dengan hikmah. What
the meaning of hikmah ? hikmah is diperuntukkan bagi kaum cerdik
pandai ( kalau pake bahasa Inggris ntar dikira sombong lagi ). Kedua, dakwah
dengan mauizoh hasanah. Nah ini nih, di kalangan orang Jawa, kalau
kebetulan ada pengajian, tausyiah, atau kajian, sang penceramah disebut sebagai
orang yang menyampaikan mauizhoh hasanah. Adapun mauizoh hasanah itu
sendiri maksudnya ya konten ceramahnya. Esensi pengajian yang disampaikan. Nah
disini saya mengacungkan jempol buat orang Jawa karena menempatkan istilah
tersebut dengan sangat kontekstual. Menurut Prof Qurasih Shihab, mauizhah ini
diperuntukkan bagi kaum awam. Nasihat-nasihat yang menyentuh hati, menggelitik
qalbu, menyetrum jiwa ( duh, listrik kali disetrum -_- ). Sedangkan metode yang
terakhir ialah jidal alias debat. Tapi bukan debat bebas, pun tidak
dimaksudkan debat sistem asean ala kompetisi-kompetisi kekinian. Debat disini
maksudnya ialah dakwah dengan diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan
atau dalih lawan diskusi/debat dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik
yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh lawan debat.
Hadirin para fakir kuota
yang dirahmati Allah !
Perintah dakwah
dipertegas pula melalui hadist nabi Muhammad SAW. tentu kita sudah sangat
familiar sekali bukan dengan hadist yang isinya jika kamu melihat satu
kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, lisan, dan yang terakhir dengan hati.
Sudah pernah dengar kan ? kalau belum cek kitab hadist ! bang gak ada kitab.
Browsing di google ! kagak ada kuota, Bang ! Kuota enthasmu ! kamu
baca blog ini emang gak pake kuota ? jangan cari-cari asalan buat
membenarkan kemalasanmu lah, Dek.
Nah, Sodara-sodaraku.
Sebagaimana yang kita ketahui Al Qur’an dan hadist merupakan pedoman hidup. Keduanya
bersumber dari Allah SWT. Tidak mungkin ada kontradiksi antara keduanya. Dalam
metode tafsir Al Qur’an, hadist berfungsi sebagai penguat. Mereka berkorelasi
satu sama lain. Jika ada yang bertentangan bisa jadi pemahaman kita yang masih
dangkal, atau hadist yang kita baca tidak hasan-sohih, atau Al Qur’an
yang kita baca ternyata terbalik ( -_- ). Pokoknya gak ada kontradiksi. Berkorelasi
mah iya.
Otomatis hadist tentang
dakwah tersebut menguatkan firman-Nya terkait tema yang sama. Nah hal sepele
macam ini yang kerap diabaikan oleh para pejuang-pejuang dakwah. Bukan
mengabaikan redaksinya tapi esensinya, regh. Hampir mereka semua hafal
redaksi hadist dan firman tersebut, tapi paham gak dengan muatan,
konten, dan konteksnya ? kalau paham, itu udah benar-benar paham atau bisa jadi
salah paham ? lah ini yang perlu kita intropeksi bersama.
Mengutip dari buku Edi AH Iyubenu berjudul Cerita Pilu Manusia
Kekinian – yang notabene goresan ini pun banyak terinspirasi dari tulisan
beliau – yang diterbitkan oleh Diva Press. Buku ini saya beli beberapa hari
lalu, persis penarikan terakhir di ATM lantaran setelah itu gak bisa
ditarik lagi. Tapi alhamdulillah sekarang sudah dapat kiriman dari orang tua di
rumah, terima kasih bapak, mamak, dan keluarga. Semoga selalu dalam lindungan
Allah dan diberikan kemurahan rezeki. Ammiinn
Ammiinn, aammmiinn ya
robbal ‘alamin. Bang ? kok jadi curhat, lanjutkan ! fokus bang, fokus !
Hehe, Ngapunten, Dek.
Abang emang gini orangnya suka kebawa suasana. Yuk, lanjut. Penulis buku
tersebut adalah sosok yang komplit menurut saya, dia pernah nyantri, seorang
penulis sastra, dan mahasiswa program doktor ilmu filsafat. Beh, teori filsafat
ia kemas begitu ringan bagi orang awam macam abang ini. Beda waktu abang baca
buku filsafat yang lain. Gak muden, Dek. Nah dalam buku ini beliau
mengaitkan dalil perintah dakwah dengan dua teori. Pertama, teori
kuasa/pengetahuan nya mbah Michel Foucault. Kedua, teori batas punyanya
Muhammad Syahrur.
Menurut Foucault, manusia
akan bertindak berdasar pada sistem relasi antara kekuasaan di satu sisi dan
pengetahuan di sisi lain. Keduanya menyublim, saling bertaut.
Sederhananya begini,
level pengetahuan kita akan menghasilkan “level kekuasaan” pada diri kita. Baik
secara ekonomi, politis, hingga sosial. Misal, seorang disebut kiyai karena
pengetahuan agamanya. Lalu ia dimuliakan, didengerin, dipatuhi sehingga punya
kuasa mempengaruhi tatanan sosial di lingkungannya. Atau bisa juga sebaliknya,
orang yang berkuasa bisa mempengaruhi sebuah pengetahuan. Menteri pendidikan,
punya kuasa to ? nah beliau berhak tuh mengotak-atik sistem pendidikan di
Indonesia. Tentunya atas izin presiden dan persetujuan DPR yang hakikatnya sama
saja, sama-sama berkuasa. Ada hierarki dalam teori ini baik dari kekuasan ke
pengetahuan ataupun sebaliknya.
Contohnya, mas Edi
mengilustrasikan begini : saya punya istri yang males sekali shalat. Apa yang
harus saya lakukan ? awalnya ya menasihati dengan baik-baik. Eh, kok ndak mau
dengerin. Lalu saya nasihati dengan kata-kata yang lugas dan tegas.
Alhamdulillah berhasil, berarti dakwah saya berhasil to ? tanpa menimbulkan
guncangan relasi. Nah sekarang gimana kalau yang malas sholat itu istri
tetangga saya ? apakah cara saya berdakwah kepadanya sama kayak cara saya
berdakwah pada istri saya ? tentu harus beda Sodara-sodara. Inilah maksud
relasi kuasa-pengetahuan. Saya punya kuasa atas istri sendiri tapi tidak
demikian halnya dengan istri tetangga saya. Kecuali kalau saya jadikan istri
tetangga itu istri kedua. #Ops, ( Abaikuen , bagian ini bukan saya kutip dari
tulisan beliau kok )
So, kita harus tahu bahwa
hierarki dalam dakwah tak bisa dipisahkan dengan realitas sosial : siapa saya,
bagaimana posisi saya, kuasa saya, hingga apa dampaknya kalau saya
melakukannya.
Sedangkan teori batas
Syahrur mengatakan bahwa hukum Islam harus digali berdasar patokan “ batas atas
” dan “batas bawah” ( had al ulya wa had as-sufla ) . Di antara batas
atas dan bawah inilah umat boleh menafsirkan, memandang, serta memahami. Yang
penting tidak melewati batas atas dan bawah. Lah dalam hadist tersebut batas
atasnya kan tangan, batas bawahnya mata. Maka berdakwah jangan pakai bom, pun
jangan cuma pakai mata. Dakwah pakai mata mah sama artinya menyaksikan
kemungkaran tanpa reaksi apa-apa. Cuma ngeliat doang. Istigfar pun tidak. Tentu
teori ini jangan kita pahami secara tekstual semata.
Sebagaimana yang
diuraikan di atas bahwa dalil Al-Qur;an dan Hadist itu berkorelasi.
Berhubungan, saling berkaitan. Dan sifatnya hierarkis. Artinya, Al Qur’an
posisinya lebih kuat ketimbang hadist. Sehingga kalau tadi Al Qur’an menegaskan
kriteria dakwah harus baik, maka entah dakwah dengan tangan, lisan, atau hati
harus baik juga. Kalau tangan ente berdakwah pakai pistol, mercon, apalagi bom,
apa itu baik ? hah ? baik gak ?? Jika ente berdakwah pakai lisan dengan
mencaci maki, mengina, dan mengklaim diri paling benar sampai-sampai membuat
pihak lain tersinggung apa itu juga baik, regh ?
Dakwah ini tugas kita
bersama. Tapi mari, penuhi kriteria ideal dakwah tersebut. Pahami esensi dakwah
dengan baik dan bijak. Semangat tanpa kebijakan menyikapi hanya akan membuahkan
ke-radikal-an, entah radikal sikap atau tindak.
Jadi kesimpulannya
apa, Bang ?
Dakwah itu selo, santai, gak
maksa ! dakwah itu baik, disampaikan dengan cara yang baik. Sekarepmu mau
pake tangan, lisan, atau hati sing penting BAIK.
Semoga Allah melimpahkan
taufik hidayah-Nya untuk kita. Ammiinn
Isy Karima... hiduplah
dengan mulia
Di malam yang
biasa aja
Jogjakarta,
08 April 2016
19:53 WIB
King Izzu
Komentar
Posting Komentar