Saat Syaikh Buka Buku



Pesantren itu berdiri kokoh di atas bebukitan. Membuat orang-orang yang melintas harus mendongakkan kepala membaca papan nama yang terpasang tepat di sisi barat berdekatan dengan gerbang utama. Di depannya berdiri sebuah yayasan pendidikan Islam yang berusia lebih muda. Gerbang mereka saling berhadapan. Meski pada hakikatnya dua lembaga pendidikan itu bersaing. Semoga saja bersaing dalam amar ma’ruf nahi munkar.
Sebuah sungai kecil terhampar tak jauh dari lembaga pendidikan itu. Sungai multi fungsi. Biasanya digunakan sebagai mesin cuci massal oleh masyarakat setiap harinya, kalau malam tiba, giliran segelintir santri yang mendapat izin dari pembina asrama mencuci helai demi helai pakaian mereka di sana. Pondok itu tidak kaya. Bahkan teramat sederhana. Jangan harap menemukan limpahan air PDAM di dalamnya. Air seperti itu jadi barang berharga yang digunakan untuk menghilangkan dahaga semata. Adapun untuk mencuci, mandi, pun mandi junub, para santri menggunakan air kali yang mengalir deras tak pernah surut. Salah seorang ustad mereka pernah berkata “ Hari ini kalian mandi dengan air sungai, tapi kelak, insya Allah kalian bisa mandi pakai air dari sungai Nil ”. kamu mengangguk pura-pura paham. Demi terlihat pintar di hadapan sang pembina yang masih membujang. Padahal sungai Nil dimana kami tak tahu. Maklumlah masih santri baru.

***
Menjadi santri merupakan salah satu proses seleksi alam. Di tahun ajaran pertama jumlah santri baru bisa mencapai ratusan. Sampai-sampai asrama over kapasitas. Memaksa deretan santri harus tidur saling himpit, peluk, bahkan tindih-menindih. Untunglah kala itu virus LGBT belum booming. Sehingga bisa dipastikan seluruh santri tidak memiliki prilaku seksual yang menyimpang. Terbukti jika berdiskusi mereka lebih banyak membahas tentang “ wanita ” daripada “ nahwu-shorf ”. saat Ustad mendekat memeriksa jalannya diskusi barulah mereka serius kembali. Bukan serius ding, lebih tepatnya pura-pura serius.
“ Ini nih, kenapa dibaca Zaedan ? ”
“ Kalau ini bacaannya apa ? ”
“ Cara membedakan Muzakkar-muannas itu gimana, sih? ”
“ Hey ! kamu salah bacanya, ini harus dibaca kasrah karena ada huruf jar ”
Masih banyak lagi argumen-argumen pencitraan terlontor dari bualan mereka.
Sang Ustad tersenyum mendengar “diskusi” santri-santrinya. Ia berhasil membuat mereka mau belajar. Memang pemaksaan adalah langkah awal mendisiplinkan anak didik. Persis bagaimana ia dididik dulu. Ustad pun melangkah menuju kelompok lain, tangannya terlipat ke belakang. Satu menggenggam tasbih satunya lagi membawa sajadah. Sajadah itulah yang ditakuti para santri. Sekali sajadah menghantam, peci beludru melayang. Meski lunak namun kala sajadah itu mencium punggung sekonyong-konyong santri yang terkena akan melenguh panjang “ uuuhhh ”. disusul cekikian tertahan dari santri lain. Muncullah mitos bahwa sang Ustad punya “ilmu” khusus kala menjepretkan sarungnya.
Saya sendiri ditakdirkan Allah menjadi bagian dari Pondok sederhana ini. Terdaftar sebagai  angkatan ke-19 bersama hampir seratus nama lain. Meski ketika lulus yang tersisa tinggal 62 kepala. Awalnya angkatan kami memang banyak. Tak heran kami dibagi jadi 3 kelas saat duduk di jenjang pertama Madrasah Aliyah. Setelah diacak oleh pihak TU, saya bersama puluhan teman lain berdomisili di kelas B. Konon ini kelas favorit, begitu kata teman-teman angkatan, adik kelas, kakak kelas, bahkan tukang kebun kala itu, Tuaq ( baca: om ) Dar.
Kok bisa begitu bang ?
Mereka beranggapan seperti itu karena sewaktu di penghujung MTs dulu yang notabene kami dibagi 3 kelas juga, para santri yang kebetulan “jawara” di masing-masing kelas terkumpul di kelas B ini. Abang mewakili kelas A, Habib mewakili kelas B, dan Daniel mewakili kelas C.
Ciyee abang, sombong !!!
Sombong Enthasmu, Dek !! meski begitu kami sama sekali tak terlibat persaingan panas. Toh juga banyak yang berprestasi di kelas tersebut selain kami. Tapi kalau boleh diibaratkan dengan konteks kekinian, Danil, saya, dan Habib ibarat trio MSN di Barcelona. Bedanya trio MSN garang di lapangan hijau, kalau trio DIH ( Danil, Izzuddin, Habib ) garang di hati para cewek. #Eh. Gak ding becanda.
Suatu ketika guru Biologi mengadakan ulangan harian. Ustazah yang kala itu belum nikah sudah memberi ultimatum dari seminggu sebelumnya. Saya masih ingat materi yang hendak diujikan berkaitan dengan Kingdom binatang, Antropoda, Porifera, apa lagi ya ? Duh, kelamaan belajar bahasa Onta jadi lupa istilah-istilah Biologi. Pokoknya itu sudah. Cari di google kalau mau tahu lebih lanjut.
Ustazah ini terkenal dengan “dua kepribadian”. Kepribadian pertama adalah kemahirannya dalam menjelaskan materi Biologi yang begitu rumit dan bejibun jadi lebih sederhana dan enak didengar. Membuat kami betah berlama-lama mendengar ceramah biologis dari beliau. Kepribadian yang kedua adalah – mohon maaf sebelumnya, semoga saja ustadzah tidak baca tulisan ini – kejudesan yang melekat erat seolah tak pernah lepas dari beliau. Hingga ada teman yang nyeletuk, “ jangan-jangan ustadzah lagi haid, makanya sensitif gitu ” teman yang lain menyanggah “ Masak iya haid tiap minggu? ”. bahkan komen yang sedikit ekstrem pun muncul.
“ Duh, kalau judes begitu kapan beliau menikah ya ? ”
“ Kamu aja yang nikah sama Ustazah, mau gak ? ” tanya saya
“ Ehmm, kalau beliau mau kenapa gak ? ” jawabnya tertawa lepas. Kurang asem emang teman yang satu ini. Semoga dia selamat dunia akhirat.
Ulangan harian pun segera dimulai. Kala itu saya duduk sebangku dengan Pahrul Hadi, akrab dipanggil syaikh. Lantaran jenggotnya yang terkibas indah kala diterpa angin persis orang-orang Arab yang oleh kami – para santri – biasa menyebut mereka syaikh, serta lamanya solat berjama’ah yang kami dirikan kala dia jadi imam. Lah bukannya bagus bang lama-lama solat ? iya dek bagus, tapi kan dulu iman kami masih labil-labil gitu, hehe.
Ustazah kembali memberi perintah dan larangan keras menyontek. “ Haram mutlak! ”. kami manggut-manggut. Meski beberapa kawan saling mengerlingkan mata. Contekan sudah disiapkan oleh mereka, jika kondisi aman saatnya beraksi. Alhamdulillah saya saat itu hanya jadi penonton meskipun sekali-dua kali pernah minta jawaban ( bagian yang ini jangan ditiru ). Cuma sekali dua kali kok. Itupun kalau kepepet. Maklum belum taubat waktu itu. Yang ada dalam pikiran kami hanya bagaimana mendapat nilai bagus.
Se-syaikh-syaikhnya seorang Pahrul Hadi kala kepepet pun akhrinya ambil jalan pintas juga. Ia kebingungan mencari jawaban. Bertanya pada saya pun percuma, pun pada kawan yang lain. Akhirnya dengan hati-hati tangannya mengendap ke kolong meja dan meraih buku catatan. Matanya dengan teliti melihat geliat ustazah di meja guru yang tengah asyik dengan HP nokianya. Sejauh ini masih aman. Ia mendesah tegang. Keringat bercucuran di sekujur wajah. Santri yang satu ini memang paling cepat keringatan. Jika kami butuh keliling lapangan hingga 10 kali untuk keringatan, bagi Pahrul cukup berikan dia 5 soal matematika, keringatnya akan jauh lebih deras ketimbang atlet marathon.
Abang lebay! Yee, bener, Dek. Suerr !!
Buku catatan itu kini sudah di tangan. Perlahan ia letakkan di atas meja yang aman dari pantauan ustazah. Saya nyengir-nyengir sendiri melihat tingkah lakunya. Meski harap-harap cemas juga sih. Berharap dia dapat jawaban dan bersedia menyedekahkan ke saya sekaligus cemas kalau sampai ketahuan. Masak syaikh nyontek ? bisa jadi rekor perdana di seantero pondok ini mah.
Ia mulai membuka lembar demi lembar buku catatan itu. Mencari jawaban dari soal ulangan harian. Tiba-tiba...
“ Pahrullllll !!!!! kenapa kamu buka buku ? ” bentak Ustazah yang sudah bangkit dari meja guru.
“ Yaoq, kan buka doang, Ustazah. Ini sekarang saya mau tutup lagi ” ucapnya nyengir seraya melipat buku itu kembali.
Ustazah yang tadinya merah padam hendak marah pun tertawa. Ada benarnya juga alasan syaikh ini. Ia berdalih hanya membuka buku, tidak mencontek. Ah alasan yang absurd. Namun paling tidak siang itu berkat aksi “ buka buku ” syaikh Pahrul, untuk pertama kalinya kami melihat Ustazah yang 99 % hampir sampai pada puncak emosi jadi tertawa terbahak-bahak.
Ulangan pun berlanjut. Buku sang syaikh disita oleh ustazah. Ia kembali keringatan. Kami pun ikut pusing. Dari 5 soal ada 2 soal yang belum saya jawab. Tak sengaja saya intip jawaban syaikh Pahrul di samping, ia tengah asyik menulis surat al fatihah sebagai jawaban. subhanaAllah. Soal biologi dijawab pakai bahasa arab, biar greget kali ya.
Itulah sepotong kisah dari penjara suci. Se-soleh-solehnya seorang santri pasti pernah nakal atau melanggar aturan. Biar itu menjadi warna dan mozaik tersendiri dalam cakrawala kenangan yang selalu terpatri dalam ingatan. Kini kami telah jadi alumni. Tersebar di berbagai perguruan tinggi untuk melanjutkan pengembaran menuntut ilmu. Insya Allah kini kami sudah move on dari dunia contek-menyontek, apalagi “buka buku” ala syaikh.

Jogjakarta, 05 April 2016
19:41 WIB

Yang merindu

King Izzu

Komentar

Postingan Populer