Resensi : Cinta dan Hati Istri-Istri Sukarno (2)
Fatmawati
Kalau di dalam
senyuman yang indah dari gadis cantik itu terdapat pula Tuhan, apakah dengan
mengagumi senyuman itu aku berdosa karena berbuat kejahatan ? Tidak kalau
begitu, apabila aku mencintai senyuman indah gadis cantik itu, apabila senyuman
itu pancaran dari Tuhan dan Dia menciptakan gadis cantik itu sedangkan hanya
mengagumi ciptaan-Nya itu, mengapakah dianggap dosa kalau aku memetiknya ? ( Cindy Adams, Bung Karno,
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia : 1966 )
“ Engkau menjadi terang
di mataku. Kau yang akan memungkinkan aku melanjutkan perjuanganku yang maha
dahsyat ” lirih Bung Karno pada Fatmawati
“ Rayuan yang mematikan ”
kenang Fatmawati setelah 40 tahun lebih love stroy itu berlalu.
Pasca bercerai dari
Inggit Ginarsih, Sukarno pun memetik Fatmawati. Disuntingnya dan dijadikan
istri sah pada bulan Juni 1943, tepat saat ia berusia 43 tahun. Sebulan setelah
perkawinan, Fatma beserta orangtuanya diboyong dari Bengkulu ke Jawa Timur dan
berkumpul bahagia dengan keluarga Sukarno. Setahun kemudian lahirlah bayi
laki-laki buah cinta mereka berdua yang diberi nama Guntur Sukarnoputra.
Kehadiran buah hati di tengah-tengah keluarga mereka menambah kebahagian
pasangan ini.
Menyusul kemudian
lahirlah Dyah Permana Megawati Setyawati Sukarnoputri – akrab dipanggil Megawati
Sukarnoputri, lalu lahir juga Dyah Permana Rahmawati Sukarnoputri, dan beberapa
tahun berselang giliran Dyah Mutiara Sukmawati Sukarnoputri yang di-launching
ke dunia. Lengkap sudah kesibukan Fatmawati mengurus keempat buah hatinya
sekaligus menjadi first lady ( ibu negara ) karena pada saat itu
Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya.
Pada saat mengandung
Sukmawati, Fatma mendengar berita selentingan bahwa ada seorang wanita
berkerudung bersama Bung Karno menuju Istana Cipanas. Cerita itu tak
ditanggapinya. Karena menurutnya hal itu biasa saja terjadi, Bung Karno banyak
kenalan dengan organisasi wanita. Ia percaya bahwa Sukarno masih tetap
mencintainya sama seperti 12 tahun silam. Saat Sukarno pertama kali mengucapkan
“ Aku cinta padamu, Fat...”
13 Januari 1953 anak
laki-laki keduanya lahir dan diberi nama Guruh Sukarnoputra. Belum genap dua
hari umur Guruh, sewaktu Fatma sedang terbujur lemas di ranjang akibat
persalinan, di pagi buta Sukarno datang. Lalu Sukarno menghampiri dan duduk di
depan Fatma. Tanpa di duga, Sukarno berkata “ Fat aku minta izinmu, aku akan
kawin dengan Hartini ”. Tak terbayang bagaimana perasaan Fatma kala itu.
Dengan sisa-sisa
kekuatannya Fatma berkata “ Fat tidak ingin dimadu. Kembalikan aku pada orang
tuaku! ” Namun Sukarno menjawab “ tetapi aku cinta padamu dan aku juga cinta
Hartini ”.
Cinta Sukarno kini telah
bercabang. Ia tak tahan harus terbakar api cemburu setiap hari. Pada hakikatnya
tidak ada perempuan yang rela dimadu. Ia pun memutuskan meninggalkan istana. Anak-anaknya
dibiakan di istana, karena mereka akan lebih baik dan terjamin hidupnya jika
tinggal di dalam istana.
First lady itu tercampakkan oleh cinta baru yang
ditemukan Sukarno pada diri Hartini. Ia sama seperti Inggit, tak rela dimadu.
Apa yang menimpa Inggit kini pun dirasa oleh Fatmawati. Maka pada tahun 1980
Fatmawati menyempatkan diri berkunjung ke Inggit dan bersujud di kakinya
meminta maaf atas kesalahannya di masa silam.
Hartini
Menginjak usia lima
dasawarsa, kecintaan Sukarno terhadap perempuan cantik semakin menjadi-jadi.
Sukarno sendiri terus terang mentakan “ Ya, aku senang melihat wanita cantik.
Aku akan merasa lebih berdosa bila berpura-pura dengan mengatakan tidak atau
bersikap seakan tidak senang. Berpura-pura seperti itu namanya munafik dan aku
tidak mau munafik ”
Perjumpaan dengan Hartini
dimulai kala Sukarno beserta rombongan istirahat di Solo sebelum melanjutkan
perjalan ke Yogyakarta. Di kediaman wali kota, Hartini bersama ibu-ibu lain
menyiapkan makanan untuk sang presiden. Sukarno sangat puas dan menikmati
sajian tersebut, utamanya sayur lodeh yang dibuat sendiri oleh Hartini. Sukarno
pun berkenalan dan menampakkan gelagat menyukai Hartini.
Dengan pesona dan
kharisma yang dimiliki Sukarno, meski tertaut umur yang cukup jauh tak jadi penghalang
cinta mekar di hati dua insan itu. Hartini menolak mengatakan bahwa ia merebut
Sukarno dari Fatma, karena meski sudah menikah dengan Sukarno, Hartini tidak
menjadi first lady. Fatma tetap menjadi first lady meski ia tak
pernah kembali menginjakkan kaki di istana. Dalam kunjungan luar negeri Sukarno
pun tak mengajak Hartini untuk menghormati Fatma.
Kebahagiaan Hartini mulai
terampas ketika kekuasaan Sukarno memudar seiring peristiwa 1965 dan terbitnya
Surat Perintah Sebelas Maret ( Supersemar ). Meskipun perlahan Sukarno sudah
tidak berkuasa lagi namun cinta Hartini pada sang suami tidak ikut memudar. Ia
tetap mendampingi Sukarno, rajin menjenguknya meski harus melewati prosedur
ketat. Baik di istana Batutulis atau di Wisma Yaso. Sukarno tak pernah bercerai
dengan Hartini. Meski Hartini tahu selain dia masih ada lagi istri-istri Bung
Karno yang lain. baginya prestasi pendidikan formal bukan yang utama karena
yang utama adalah nilai kebahagiaan itu. Dan kebahagiaan seorang istri adalah
kala ia bisa berbakti pada suami dalam segala kondisi.
Kartini Manopo
Waktu itu, gadis asal
Sulawesi Utara ini adalah pramugari Garuda paling populer. Ia juga menjadi
model lukisan Basuki Abdullah, salah seorang seniman hebat kala itu. Suatu
ketika Sukarno melihat lukisan Kartini yang dibuat oleh Basuki. Ia terpesona
dan ingin bertemu langsung dengan Kartini. Tak sulit bagi seorang presiden
untuk mencari Kartini. Dengan mengerahkan anak buah dan perangkatnya Kartini
pun ditemukan.
Kartini dan Sukarno
menikah secara tidak resmi, karena saat itu Sukarno telah memiliki dua istri
sah, Fatmawati dan Hartini. Sebagai orang yang sangat menjunjung adat, keluarga
Manopo tidak menghendaki adanya istilah istri ke-2, apalagi ke-3, sekalipun
menikah dengan presiden. Ini juga jadi alasan pernikahan tidak resmi mereka.
Setelah menikah Sukarno
membelikan rumah di daerah Menteng. Disitulah Sukarno rajin menyambangi dan
memberi nafkah untuk Kartini. Menurut Kartini, Sukarno adalah pria yang
romantis dan gentleman. 5 tahun pasca perkawinan Kartini pun mengandung,
namun karena kondisi negara sedang tidak stabil Sukarno meminta Kartini
melahirkan di luar negeri saja. Maka pada bulan Maret 1967 Kartini berangkat ke
Jerman Barat. Ia dibolehkan pulang jika telah mendapat “lampu hijau” dari
Sukarno. Namun sekian lama terlunta-lunta di negeri orang lampu hijau itu tak
kunjung datang.
Suatu ketika ia
mendatangi paranormal di Jerman, paranormal itu mengatakan bahwa suaminya akan
terlepas dari penderitaan. Ia tak tahu maksudnya, dengan modal nekat ia membawa
sang anak yang diberi nama Totok Suryawan kembali ke tanah air. Apa hendak dikata,
ia menemukan Sukarno telah jadi rakyat biasa dan jadi pesakitan di Wisma Yaso.
Ia tak ingin menambah beban Sukarno, maka ia pun hidup mandiri untuk
membesarkan buah cinta mereka. Baru pada tahun 1978, kisah cinta Sukarno dan
Kartini terkuak.
Bro, ane sarapan dulu ya,
insya Allah hari ini diselesaikan kok resensinya.
Di pagi yang
hangat
Yogya, 10
April 2016
09:02 WIB
King Izzu
Komentar
Posting Komentar