MISS KUNTI ( 6 )
Bus melaju dengan
kecepatan tinggi. Lalu lintas yang tak begitu ramai seolah mengizinkan sang
supir mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Gerakan kaki menginjak pedal gas
berkolaborasi apik dengan ayunan tangan memainkan persneling. Ah, aku jadi
ingat. Kala masih bocah cita-citaku ialah menjadi supir bis umum. Setiap kali
mudik ke rumah nenek, aku dan keluarga selalu menumpang angkutan umum. Aku tak
pernah alfa berdecak kagum setiap melihat supir memacu kendaraanya. Pesona para
supir itu bagai ultramen di mataku. Kalau kebetulan bisa duduk di samping supir,
aku akan memperhatikan dengan seksama setiap gerakannya. Bahkan aku hafal maksud
dan fungsi angka 1,2,3,4,5 dan R di persneling.
Sang asisten supir ( baca
: kenek ) berdiri tepat di hadapanku. Punggungnya bersandar di pintu bis. Mata
dan tangannya berduet apik menghitung pundi-pundi rupiah yang telah tergenggam.
Setiap lembar 50 atau 100 ribuan ia masukkan ke tas yang melingkar di samping
pinggang. Sedangkan nominal yang dibawahnya dibiarkan menumpuk dalam genggaman.
Diskriminasi nilai uang. Teringat kembali, saat orang kurus ini masih bocah,
aku sempat berandai, jika gak bisa jadi supir angkot semoga aku bisa
jadi kondektur. Kala itu, di pikiranku, kondektur adalah orang paling kaya
seantero dunia. Cukup berdiri di pintu keluar orang-orang akan memberinya uang.
izzu yang masih polos beranggapan uang tersebut adalah milik sang kenek. Lambat
laun, seiring berjalannya waktu, selepas masa pubertas melanda, aku pun tahu
ternyata uang itu hanya numpang lewat dalam genggaman sang kenek. Cita-cita
menjadi kenek resmi ter-delete bersama impian menjadi supir angkot.
Seperti rencana awal,
tujuan kami adalah Gumul. Sebuah tempat yang terletak di pusat kota Kediri. Aku
benar-benar awam tentang Gumul ini. mendengarnya pun baru tadi pagi kala
membonceng Syahnaz di atas sepeda. Yang pasti tempat itu bukan Pantai, air
terjun, apalagi pegunungan. Menurut penuturan Syahnaz ada bangunan yang konstruksinya
mirip dengan bangunan di Eropa sana.
Perjalanan ke Gumul
memakan waktu sekitar setengah jam. Hamparan sawah seakan berlarian di pelupuk
mata. Aku bahagia menatapnya. Seakan menatap sawah di belakang rumahku yang di
Lombok Timur. ah, Rindu pada kampung halaman selalu rajin menghinggapi
perasaan. Tak peduli tempat dan waktu. Mengobok-obok hasrat untuk pulang.
Bahkan pernah sampai memancing derai air mata. Kediri gak jauh beda
dengan Lombok. Disini masih banyak sawah, kebun, juga pegunungan. Bedanya satu,
di Lombok gak ada candi tapi di Kediri ada.
“ Gumul, gumul ” sang
kondektur membuyarkan lamunan.
“ Alhamdulillah akhirnya
sampai juga ” Syahnaz menyeringai. Putri nampak meregangkan otot-ototnya. Aku
menebar pandangan ke luar mencari-cari mana sih bangunan yang dimaksudkan
Syahnaz, tapi kok gak terlihat juga. Yang ada hanya persawahan dan aspal
biasa.
Kami turun dari bis
dengan elegan. Satu pun gak ada yang muntah. Padahal kami gak minum
antimo sama sekali. Itu kabar yang cukup baik.
“ eh, itu, liat deh ! ”
Syahnaz bersorak kegirangan menunjuk sebuah bangunan di kejauhan sana.
Kami bertiga berdiri
sejajar, membuang pandangan jauh ke depan. Menatap penuh pesona bangunan yang
benar-benar mirip seperti bangunan di Eropa sana. Entah bangunan apa namanya
aku gak tahu. Yang pasti aku pernah melihatnya di film-film barat
seperti Spongebob, Dora, dan Marsha and The Bear. Oke, untuk bagian ini sama
sekali gak lucu. #abaikeun.
Bangunan itu bertengger
sekitar 500 meter dari tempat kami berdiri. Tidak ada pilihan lain. Untuk
sampai kesana kami harus berjalan kaki. Terbang gak mungkin, sayap ku
masih di bengkel. Apalagi menghilang lantas sim salabim sampai disana, aku
bukan dukun. Pakai sapu terbang ? Omaygat, ane bukan Hary Poter rek.
Setelah memastikan dua sahabatku itu kuat dan bertenaga kami pun mulai
melangkah. Mentari pagi seolah tertawa bahagia menyaksikan senyum kami.
Dedaunan melambai-lambai menyambut derap langkah. Semut-semut kecil menepi
seakan memberi jalan. Entah bentuk penghormatan atau melindungi diri agar tak
terinjak oleh kaki-kaki elegan ini. lalu lintas yang belum begitu padat
memudahkan kami menyebrang.
Nama lain tempat ini
adalah simpang 5, lebih tepatnya simpang 5 gumul. Karena di tempat ini terdapat
5 persimpangan jalan. Di tengah-tengahnya berdiri sebuah bangunan yang mirip
gapura raksasa. Sayang, sepagi itu masih sepi. Hanya satu dua orang terlihat berfoto
ria. Kami memutarinya sejenak kemudian berselfie secukupnya. Matahari mulai
meninggi.
“ duh, Laper, cari makan
yuk ” Syahnaz berujar.
Ku pandangi sekitar
simpang 5. Namun, sejauh mata menerawang tak nampak warung makan walau hanya
sebiji pun. Perut mulai meronta minta diberi jatah. Kami memutuskan menyebrang
dan mencari makan di salah satu persimpangan. Biar bagaimanapun perut adalah
prioritas utama. kami gak mungkin bisa menikmati liburan dalam kondisi
lapar. Kami harus bertahan hidup. Dan makan adalah cara kami melakukannya.
Sebenarnya kami memiliki
sahabat asli Kediri, Zamzam. Dialah yang kami harapkan menjadi guide
selama di sini. Paling tidak memberi informasi destinasi yang patut untuk kami
sambangi. Sayang saat itu ia berada di Jogja untuk urusan keluarga. Jadilah
sabtu itu kami menjadi bagpacker sejati. Menjelajah kediri tanpa guide
bermodal tawakkal pada Allah.
Sehabis mengisi perut
kami memutuskan untuk masuk ke sebuah water park tidak jauh dari situ. Dengan membayar 35 ribu
kami berhak menikmati berbagai wahana yang disediakan. Kami memutuskan untuk
duduk-duduk di salah satu gazebo di tengah kolam. Berbincang-bincang, ngobrol
ngalor ngidul, sambil sesekali memperhatikan orang-orang yang tengah menikmati
kebersamaan dengan keluarga tercinta mereka.
Pandangan kami sempat
tersita oleh tingkah seorang bocah laki-laki yang main air dengan sedikit (
mohon maaf ) binal. Didampingi sang ibu, anak itu menuju sebuah pancuran, tepat
di hadapan kami. Si bocah putih itu mulai membasahi kepalanya dengan air dari
pancuran. Setiap kali air membasahi kepala lantas mengalir ke sekujur wajah ia
memejamkan mata dengan penuh penghayatan. Seakan menikmati basah yang mendera
badan. menikmati sensasi dingin yang menggerayangi tubuh. Sungguh menggemaskan.
Membuatku ingin secepatnya memiliki momongan agar bisa membawanya main air,
tentunya bersama istriku kelak. :D. Aku menggeleng menepis bayangan itu. Belum
saatnya, perjalanan masih panjang, calon pun belum ada, bahkan yang mau pun
belum ada, buat apa menghayal sampai sejauh itu, zu.
Kami tak memubazirkan 5
tiket wahana yang ada di tangan. Diawali masuk ke studio foto. Berpose dengan
berbagai gaya dan berjuta ekspresi. Kamera HP Syahnaz menjadi pahlawan kala
itu, untunglah ia manut saat sehari sebelum jalan-jalan aku memintanya menge-charge
sampai penuh bateri Hpnya. Putri pun aku instruksikan menge-charge power
banknya, jaga-jaga kalau HP Syahnaz lowbet. Karena prinsip kami, gak foto
kurang afdhol. Bukan bermaksud sombong namun begitulah cara kami bersyukur.
Bukankah Tuhan memerintahkan hamba-Nya untuk menceritakan nikmat yang telah Dia
berikan ? wa amma bini’mati robbika
fahaddist.
Setelah puas berpose kami
menuju Bioskop 3 dimensi. Hanya ada kami dan satu keluarga kecil yang menonton.
Itu kali pertama aku menggunakan kacamata 3 dimensi. Ah, serasa masa kecil
kurang bahagia. Tapi bagiku, gak apa-apa masa kecil kurang bahagia yang
penting masa depan harus bahagia. Harus.
Akhirnya, tiba juga yang
aku tunggu-tunggu. Scary House. Alias rumah hantu. Kami bertiga masuk meski Putri
dan Syahnaz sempat ragu. Mungkin mereka takut pingsan di dalam. Syahnaz apa
lagi, mungkin ia khawatir jika pingsan aku tak cukup kuat untuk membopongnya.
Mereka nampak sedikit lebih tenang setelah petugas mengatakan hantu yang di
dalam hanya berupa benda saja, tidak ada manusia. Jujur, keterangan itu cukup
membuatku lebih tenang. Sebenarnya aku takut, tapi gengsi menampakkannya di
depan dua wanita ini. hehe. Cowok masak takut, ih , gak lah.
“
Bismillahirrahmanirrahim ” kami mulai melangkah. Baru dua kali kaki berderap
suasana mistis langsung tercipta. Lampu yang padam nyala padam nyala, juga
suara miss kuntilanak yang tertawa monoton. Yups, monoton. Hanya hihihi saja.
Belum pernah aku mendengar kuntilanak tertawa hahahaha, atau hehehe, apalagi
wkwkwk. Dan aku berharap gak akan pernah mendengarnya. Sungguh. Aku
serius. Aku gak berharap sama sekali.
Kami terus melangkah.
Bertemu dengan pocong-pocongan. Dengan santainya aku mengucap salam pada si
pocong, sayang tak ada jawaban, aku pun tidak berharap ia menjawab. Aku gak pakai
pampers untuk menahan kencing di celana seandainya om pocong menjawab. Ku lihat
Syahnaz dan Putri menjerit histeris. Wajar wanita begitu. Tak lama berselang
kami berjumpa lagi dengan spesies hantu yang lain. Ada wewe gombel, suster
ngesot, pocong kedua, dan tentunya, kuntilanak. Aku tahu benar Putri paling
takut sama kuntilanak. Ia menjerit lebih hebat lagi kala melihat miss kunti,
sapaan akrab Putri untuk hantu cantik itu. Aku tersenyum penuh kemenangan.
Paling tidak sampai detik ini aku belum menjerit. Hantu-hantu ini sama sekali gak
membuatku takut. Aku terus melangkah kalem. Orang Kurus ini serasa
meningkat kadar ke-keren-an nya.
Hingga tibalah di sebuah
persimpangan terakhir. Aku melangkah penuh jumawa, langkahku seakan bicara, emh,
gak ada yang bisa nakutin seorang izzu, gak adaa !!. Putri dan Syahnaz
mengikuti di belakang. Kami mulai menderapkan langkah kaki memasuki lorong
terakhir. Di saat itulah langkah jumawaku terhenti oleh sebuah tatapan yang
sangat tajam. Matanya merah melotot, kulitnya putih pucat, rambutnya tergurai
panjang tak beraturan, backsound hihihi seketika semakin mengeras ditambah
redup cahaya kemerahan seakan mencekam hendak menerkam kami yang seketika
gemetaran. Aku kaget bukan main. Asem.
Sejurus kemudian aku
berbalik dan melangkah keluar diikuti Syahnaz dan Putri. Langkah ku tak
sejumawa sebelumnya. Dalam hati aku menggumam, all is well, all is well, all
is well. Masih kaget, takut juga sih, bayangan miss kunti yang terbaring
tadi seakan menggantung di pelupuk mata. Darah berdesir. Jantungku memompa
lebih cepat dari biasa. Aku bergegas keluar dari Scary House itu. Setelah
sampai di luar barulah kami merasa aman. Aku, Putri, dan Syahnaz berdiam
sejenak. Bertolak pinggang. Menatap satu sama lain. Tertawa. Mengingat
kekonyolan yang barusan terjadi di dalam. hidup terkadang perlu untuk
ditertawakan. Syukurnya satu pun diantara kami gak ada yang pingsan
apalagi kencing dalam celana. Keringat dingin mengucur. Nafas mulai teratur.
Langkah berderap lagi, kali ini keluar, entah kemana. Yang pasti kami terus
melangkah hingga nanti menemukan ide hendak kemana langkah kaki ini dibawa.
Bayang-bayang miss kunti mulai menghilang sedikit demi sedikit.
Jogjakarta,
29 Januari 2016
21:51 WIB
King_Izzu
Komentar
Posting Komentar