BERJUANG SAMPAI AKHIR ( 3 )




Tidak ada jeda istirahat untuk aku dan Putri. Kami sudah tertinggal 2 hari dibanding peserta lain. Proses belajar sudah dimulai sejak hari senin lalu, sedangkan kami baru pada hari rabu bisa mulai mengikuti kursus. Global English, lembaga kursus yang kami pilih, adalah salah satu lembaga paling dikenal seantero Pare. Bukan karena mereka yang terbaik, namun letak head office nya yang berada di jalan Brawijaya, cukup strategis, tepat di pusat desa Tulung Rejo, Kecamatan Pare, Kediri.
Kemarin, resepsionis memberi 3 karcis untuk masuk kelas. Punyaku dan Putri persis sama. Pukul 07:00 ada kelas pronounciation 1 dengan tutor mr. Rafella. Dilanjutkan kelas pre-speaking pada pukul 08:30, tutornya adalah ms. Ayu. Terakhir, pukul 10:30, grammar 1 dengan tutor mr. Dikdik, tutor yang satu camp denganku. Yang selalu menguncir rambutnya kemana pun ia melangkah. Genji kurang kalsium.
Tempat belajar ketiga pelajaran tersebut berbeda-beda. Pronounciation dan pre-speaking berpusat di Female 2 belakang. Female 2 adalah camp untuk peserta wanita yang paling luas dibanding camp lain. Berada tepat di depan head office. Halaman yang luas dan bersih memberi kenyamanan tersendiri bagi peserta kursus. Sepeda diparkir sejajar di sebelah timur, utara, dan barat. Masing-masing tutor telah meng-kavling daerah kekuasan mereka. Pembatasnya adalah tali rafia biru.
Di hari pertama, kami langsung belajar Lax Vowel, salah satu materi dalam pronounciation 1. Kalau ada yang belum tahu, pronounciation itu mirip seperti pembelajaran tajwid. How to speel, bagaimana mengeja, membaca, dan mengintonasikan suatu kata dalam bahasa Inggris. Jangan kira hanya bahasa arab yang punya makharijul huruf, bahasa Inggris pun punya, bahkan saya rasa makharijul huruf di bahasa Inggris jauh lebih unik dan menarik.
Dalam bahasa Inggris ada dua mazhab besar. American style dan British Style. American style terkenal dengan aksennya yang terkesan keren. Film-film barat kebanyakan menggunakan aksen ini. untuk belajar pronounciation american style kami menggunakan kamus long man. Sedangkan british style dikenal dengan gaya bahasa yang lebih elegan. Mr. Rafella sendiri mengajar british style, karena itulah kami menggunakan kamus Oxford ketika di kelas beliau. British style tidak mengenal huruf (r).
Dimata saya Mr. Rafella adalah tutor yang asyik. beliau tidak hanya memberi materi namun juga motivasi. Wajahnya multi eskpresi. Disatu sisi ia kelihatan menyeramkan saat melotot, seperti marah padahal sebenarnya tidak. di sisi yang lain senyumnya cukup memikat, begitu klaim beliau, meskipun saya dan mungkin seluruh member tidak sependapat dengan pengakuannya. Dengan tegas mr Rafella mengaku bahwa dia adalah playboy. Hampir di setiap angkatan ia memiliki gebetan. Entah benar adanya atau hanya canda belaka. Motivasi yang paling saya ingat jelas dari beliau adalah “ berjuang itu sampai akhir, jangan sampai final test ”. raga seakan bergetar mendengar motivasinya. Bergetar karena termotivasi dan juga karena perut kosong. Laper rek.
Dari mr Rafella saya dan Putri belajar bagaimana cara membaca simbol di dalam kamus Oxford. Tak henti-hentinya kami mengangguk ketika paham bagaimana cara membaca satu simbol. Anggukan kami seolah berkata oalah, ternyata gini to cara ngebacanya. Materi yang Mr Rafella ajarkan bagaikan modal bagi kami untuk bisa mempelajari sendiri ketika nanti telah selesai belajar pronounciation disini. Aku bertekad harus ada follow up after finished from this place. Kalau gak gitu bisa terbang hilang melayang ilmu yang ku tuai 2 minggu disini.
Sehabis kelas pronunciation, aku dan Putri segera beranjak ke kavling yang lain. Miss Ayu sudah menunggu disana. Tutor muda dengan badan kelebihan lemak namun tetap terlihat cantik. Kulitnya putih, matanya bulat besar. Ia lebih mirip beruang syari’ah yang baru usai hibernasi. Hijab warna merah mencolok adalah andalannya. Konon hobinya adalah makan dan tidur. Terkadang makan sambil tidur, kadang pula tidur sambil makan. Sungguh hobi yang sangat mulia, bukan ? patut untuk dicontoh.
Di hari pertama kami langsung disuruh menghafal 50 kosakata. Untungnya sebagian kosakata tersebut sudah kami ketahui sebelumnya. Metode menghafal kosakata yang diterapkan miss Ayu adalah dengan meng-couple-kan para member. Karena aku dan Putri terlambat jadilah hari itu kami dipasangkan. Setelah merasa sama-sama hafal, aku dan Putri pun saling menguji hafalan. Ajaib, vocab yang kami hafal terasa lebih melekat di ingatan. Sekarang aku paham, jika hendak menghafal kita membutuhkan patner untuk menyimak dan menguji. Jauh lebih menyenangkan menghafal seperti ini daripada otodidak. Aku dan Putri jadi patner yang lumayan kompak.
15 menit berlalu, season kedua adalah speech. Oh my god. Aku dan Putri berpencar ke kelompok yang lain. Kami diharuskan berbicara dalam bahasa Inggris dengan tema charity (amal) dengan durasi 4 menit. Setelah itu menjawab pertanyaan dari member-member lain tentang speech yang kami bawakan. Saya sekelompok dengan satu orang bapak berumur sudah cukup dewasa, seorang pemuda yang mirip sekali wajahnya dengan adik kelas ternakal di pondok dulu, dan 3 orang wanita. Salah satu wanita tersebut berasal dari Karawang namun kuliah di Jogja. UNY atau UMY, saya kurang ingat. Yang pasti, dia big size juga. Sepantaran dengan miss Ayu.
Tibalah giliran saya. gak ada istilah tidak siap. Saat miss Ayu berteriak start, kami harus mulai berbicara. Bismillah, dengan bahasa Inggris terbata-bata dan ala kadarnya saya bercerita tentang penggalangan dana yang dulu pernah saya lakukan semasih di Pondok. 4 menit terasa begitu lama. Tak jarang saya bertanya kepada miss Ayu ataupun member lain ungkapan yang belum saya tahu dalam bahasa Inggris. Dengan senang hati mereka memberi tahu jika mengetahuinya. Saat season pertanyaan tiba member yang lain pun mulai membrondol saya dengan banyak pertanyaan. Namun satupun pertanyaan tersebut tidak ada yang terkait dengan tema speach, charity. Mereka malah bertanya tentang saya. wajar, saya adalah wajah baru di kelas mereka. Saya bisa memaklumi ke-kepo-an mereka.
“ are you arabian poeple ? ” salah seorang member bertanya
“ oh no, i’m indonesian, originally ” saya membantah
“ oh, i think like that, because your nose is...” kata seorang member wanita seraya jarinya memanjang-manjangkan hidung. Ia hendak mengatakan mancung namun  tidak tahu apa bahasa inggris mancung.
“ oh ya, because when i was still baby, my grandmother often mencet-mencet my nose, maybe because that my nose like this ” aku menunjuk hidung sendiri.
“ ooo..” koor mereka.
Pukul 10:00 kelas miss Ayu selesai. Aku dan Putri memutuskan untuk mencari makan. Kami sempat berdebat kecil di depan office. Bukan berdebat sih, tapi diskusi.
“ what do you want to eat? ” tanyaku
“ up to you ” jawab Putri
“ oh, please, don’t say up to you, you have to choice where and what we will eat, i’ll follow your choice ” aku meminta.
“ but, i don’t know what i want ” pandangan Putri mulai menerawang ke berbagai arah, mungkin mencari tempat hinggap yang pas untuk mengisi perut.
“ you want to eat rice or soto maybe ? ”
“ up to you, izz ” nampaknya Putri adalah wanita yang setia. Tanggapannya sedari tadi masih saja sama sampai sekarang. Sama sekali gak berubah.
“ oke, come on, i think never mind if we try to eat in front of this place, look !! ” aku menunjuk sebuah rumah makan yang cukup besar. Tepat di samping GE. Namanya To***is. Di depan rumah makan tersebut terpasang banner “ harga mulai Rp. 2.000 ”. dimana-mana yang pertama kali akan dilihat seorang laki-laki ketika makan adalah harga, bukan menu. Serius. Dengan harapan harga terjangkau dan tempat yang nyaman aku pun mengajak Putri menyebrang jalan menuju tempat kami akan sarapan.
Aku terbelalak bukan main. Mata menatap nanar daftar harga yang disediakan. Es teh 4.000. gila ! di Jogja bisa dapat 2.000, apalagi di Bonbin, 1.500 juga dapat. Aku coba cari daftar minuman yang harganya 2.000. beberapa detik kemudian menu itu pun ketemu. Ternyata 2.000 rupiah adalah harga segelas air putih. Cerdas juga si empunya tempat ini memasang iklan. Memang benar harga di tempat ini mulai 2 ribuan, namun 2 ribuan itu untuk segelas air putih tok. Kepalang tanggung saya dan Putri pun segera memesan. Tak apalah, nambah pengalaman, paling tidak next time maybe kami gak makan disini lagi. Kalau ada yang lebih murah kenapa cari yang mahal ? ini prinsip anak rantau.
Kesabaran saya dan Putri diuji lagi dengan lamanya pesanan kami datang. Hanya 30 menit waktu istirahat yang kami punya untuk kemudian beranjak ke kelas grammar 1. Sayangnya makanan itu datang saat jam istirahat kami sudah habis. Saya pun memutuskan untuk menikmati makanan tersebut lebih dahulu. Mubazir, sudah terlanjur dibeli mahal-mahal masak gak dimakan. Perut kami harus diberikan haknya sesegera mungkin. Kalau tidak nyawa kami bisa dalam bahaya.
Setelah berdiskusi dengan Putri dan meminta maaf terlebih dahulu kepadanya, saya memutuskan hari itu kami belum bisa masuk kelas Grammar. Di karenakan waktu yang sudah terlambat dan kami juga belum tahu pasti dimana kelas Grammar 1 di selenggarakan. Kemarin petugas di office memberi ketarangan yang kurang jelas. Sehabis makan kami akan mencari informasi ke office, sekalian bertanya tentang extended class ( kelas tambahan ). Untuk diketahui, letak kelas Global English tidak berpusat pada satu tempat, melainkan berpencar di beberapa titik namun masih di kawasan Desa Tulung Rejo ini.
Kala itu Putri sudah menyewa sepeda, sedangkan saya belum. Ini alasan kami selanjutnya tidak bisa mengikuti kelas grammar. Jadi bukan bolos karena malas, tapi keadaan. Putri bersedia menemani saya berjalan mencari tempat penyewaan sepeda. Terik mentari menerpa tubuh, peluh bercucuran. Namun aku yakin, peluh ini adalah peluh yang kelak menjadi saksi di hari perhitungan. Saksi perjuangan dalam menimba ilmu pengetahuan.
“ kak Izzuddin...”
Terlihat 4 orang wanita melangkah ke arahku dan Putri. Siapa mereka ? seingatku mereka bukan barisan para mantan di masa lalu. Bukan pula ibu-ibu pedagang makanan yang dulu pernah aku hutangi.
“ kak Izzuddin, kan ? ” satu orang dari mereka bertanya sembari menunjukku.
“ ii.. iya ” aku mengangguk dan melongo. Siapa kalian ?
“ kita dari Mispalah, Praya kak, ee,, kenapa gak pernah ke Pondok lagi? ” mereka seolah tahu kebingungan dalam benakku. Logat mereka begitu familiar di telinga. Itu logat orang Lombok asli.
Siang itu aku bertemu dengan 4 santriwati ponpes mispalah praya. Pimpinan Pondoknya, Ustadz TGH Habib Ziadi kenal baik denganku. Sudah dua kali aku bersilaturahim ke sana untuk sharing dengan seluruh santri/watinya. Bertemu dengan sesama orang Lombok di tanah rantau kayak ada manis-manisnya gitu. Meskipun sebelumnya belum saling mengenal. Tak lupa saat itu aku memperkenalkan Putri kepada mereka. Tak lama berselang aku mohon pamit hendak melanjutkan pengembaran mencari sepeda.
“ iya, kak, hati-hati ” mereka melepas kami melanjutkan pencarian.

Jogjakarta, 26 januari 2016
16:50 WIB


Komentar

Postingan Populer