MALAM PERTAMA... ( 1 )
Long time no see. Begitu kata orang britania raya.
Terkadang juga never seen you around. Tapi kalau Upin Ipin yang ngomong
akan terdengar lama tak jumpe.
Assalamu’alaikum jogja,
assalamu’alaikum kos tercinta, assalamu’alaikum burjo, angkringan dan segala
pernak-perniknya. Kita bercumbu lagi duhai kota istimewa. Setelah hampir dua
minggu diri ini meninggalkanmu. Bukan untuk pulang apalagi mudik ke peraduan. Melainkan
hanya berpindah rantau. Bergeser habitat belajar. Menggores sedikit pengalaman
untuk harmoni alur kehidupan.
Kuota libur yang
diberikan kampus tertua ini memang sedikit berbeda dengan kampus lain. Hanya 3
minggu lebih beberapa hari. Tak sampai sebulan. Cukup kontras dengan salah satu
kampus negeri di ibukota yang libur hingga 2 bulan lebih. Belum lagi kampus
tetangga yang mahasiswanya tertawa lebar penuh kemenangan akan kepuasan rehat
pasca UAS. Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali pasrah pada keputusan
akademik kampus. Disyukuri saja, daripada gak libur sama sekali.
Kalau boleh jujur siapa
sih yang gak ingin pulang? Kembali ke kampung halaman. Bersua dengan
keluarga tercinta dan sahabat tersayang. Menyapa hidangan masakan ibu yang
lezatnya tiada tara. Bercanda ria bareng saudara. Membantu pekerjaan orang tua.
Merebahkan badan dalam rumah. Tempat terbaik, ternyaman, dan teraman bagi
setiap orang.
Begitupun diri ini. tapi
hasrat pulang seolah berkonfrontasi dengan sebuah pertanyaan dalam hati. “ kalau
pulang mau bawa apa ? ”. nothing, belum ada apa-apa yang bisa kubawa. 6
bulan pertama menjadi mahasiswa tidak banyak yang bisa kuperbuat. Yang ada
malah aku semakin menyadari banyak kekurangan dan kelemahan pada diri. Mau
tidak mau aku harus menyikapi itu semua dengan bijak. Pun juga dengan target
yang terpampang di dinding kamar kos. Harus bisa tercapai ketika nanti aku
pulang. Harus. !!
Takdir langit membawaku
hijrah ke Pare, Kediri. Disinilah cerita bermula....
Menempuh perjalanan darat
selama 8 jam membuat sekujur tubuh pegal tak karuan. Belum lagi perut kosong
dari awal perjalanan menambah ketidak nyamanan. Mual, pusing, lapar, tubuh
gemetaran, semua menjadi satu. Hamparan sawah dan rimbun pepohonan tak kuasa
membuat mata terpikat. Semua indra tersita menahan seluruh ketidak nyamanan
ini. ingin rasanya memuntahkan isi perut namun gengsi tingkat tinggi berhasil
meredamnya. Terkadang gengsi itu berguna juga.
Kecepatan minibus ini
mulai melambat seiring jalan yang dilalui bukan lagi aspal jalan raya ala
perkotaan. Sudah masuk desa. Tepatnya desa Tulung Rejo kecamatan Pare Kabupaten
Kediri. Masyhur dengan julukan Kampung Inggris. Di sini terdapat ratusan tempat
kursus bahasa Inggris. Tidak hanya itu, sejak beberapa tahun terakhir kursus
bahasa Arab, Mandarin, dan Kursus Matematika mulai tumbuh menambah keramaian
dan keberagaman lembaga kursus.
Aku dan Putri turun di
jalan Brawijaya. Tepat di depan Head Office GE. Seorang pemuda yang satu travel
dengan kami turun juga. Dalam sekejap aku berkenalan, namanya Wahyu. Berkulit
putih dan sedikit lebih tinggi dariku. Kami melangkah memasuki Kantor tersebut.
kami satu tujuan, sama-sama hendak kursus di GE. Kami juga senasib, sama-sama
datang terlambat dari jadwal. Harusnya kami tiba tanggal 10 Januari. Namun baru
dua hari setelahnya kami bisa kesini. Better late than never, lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali. Kami mantap melangkah.
Petugas resepsionis
menyambut. 3 orang wanita berkerudung. Ketiganya sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Ada yang mencatat, membolak-balik tumpukan kertas, ada juga yang
tengah mengoreksi lembar jawaban berisi pilihan ganda yang telah
disilang-silang. Aku dan Putri menyerahkan kode booking yang terdapat di
kuitansi pembayaran. Di sinilah aku, Putri, dan Syahnaz akan menghabiskan dua
minggu jatah liburan. Aku dan Putri mengambil kursus bahasa Inggris, sedangkan
Syahnaz bahasa Arab. Seusai registrasi kami pun harus mengikuti test interview
untuk menentukan kelas. Jujur, aku grogi ketika tes. Paling tidak ada dua
penyebabnya. Pertama, Aku belum bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris
dengan lancar dan, kedua, mbak yang me-interview cukup bening di pelupuk mata
dan tak hentinya mengulas senyum padaku. Ah, Membuatku salah tingkah. ( abaikan
alasan kedua. #inicumaBecanda #efekJomblo )
Entah ajaib atau
kebetulan, aku dan Putri satu kelas di semua program. Pre speaking, grammar 1,
dan pronounciation 1. Alhamdulillah, aku jadi gak kesepian. Begitupun
kuharap dengannya. Meskipun satu kelas di semua program, sangat imposibble kami
tinggal satu camp. Camp cowok dan cewek di pisah. Memang begitu aturannya. Tak
mengapa, toh di kelas kami masih bisa tetap bersua.
Oleh petugas office aku
diantar lebih dulu ke camp. Sebelum berangkat aku sempatkan diri berdadah
ria pada Putri, ia akan diantar oleh petugas yang lain ke campnya. Di sepanjang
perjalanan aku sempatkan menilik aktifitas kampung Inggris sore itu. Ratusan
orang hilir mudik. Pengendara sepeda mendominasi jalan. Ada yang ke arah barat
ada pula yang ke arah timur. raut wajah mereka menampakkan aura semangat dan
giroh yang tinggi. Aku bergumam, nampaknya ini akan menyenangkan. Paling
tidak begitu testimoni kawan-kawan yang sudah lebih dulu ke tempat ini. semoga
saja ekspektasi dan realita tidak berseberangan.
Kami mulai memasuki sebuah
gang. Keren. Bukannya sepi malah semakin ramai. Ada yang berjalan kaki dan
tentunya bersepeda. Aku melewati Head Office Mahesa. Salah satu lembaga kursus
yang cukup populer di kampung Inggris. Onang dan Rifa’i, adik kelas sewaktu di
pondok dulu pun pernah belajar disini selama satu bulan.
Penjaja pentol, roti
bakar, gorengan, seblak, dan berbagai panganan sederhana memarkir kendaran
mereka di pinggir jalan. Meski padat namun lalu lintas di jalan kecil ini cukup
rapi. Nampaknya mereka sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu dan selalu
menghormati pengguna jalan yang lain. Di beberapa sudut bertengger rumah makan
yang sedikit lebih bagus dari rumah makan yang lain. Jaraknya tidak terlalu
jauh. Dalam ilmu ekonomi persaingan usaha semacam ini dinamakan persaingan
sempurna. Entahlah, aku sudah mulai lupa pelajaran ekonomi kelas 1 Aliyah.
Tak kurang 5 menit aku
sudah sampai di camp. Sebuah camp yang sangat sederhana dan kecil. Padahal aku
pikir aku akan di tempatkan di camp yang bertingkat tiga dengan banyak
penghuni. Camp ini bernama Male TC alias Male 1. Aku disambut oleh dua orang
berperawakan kurus. Yang satu memperkenalkan diri dengan nama dikdik. Rambutnya
dikuncir. Ia lebih mirip Genji kurang kalsium. Satunya lagi enggan menyebut
nama. Dengan polosnya ia menjabat tanganku dan berkata “ sebut saja mawar ”.
apa kah pemuda ini alumni gang dolly ? semoga saja dugaan isengku keliru.
Aku di tempatkan di kamar
paling ujung, dekat kamar mandi. Disitu sudah ada seorang penghuni yang
ternyata baru datang satu jam yang lalu. Namanya Akbar, asal Jambi namun kuliah
di Malang. Ia datang ke Pare menggunakan sepeda motor. Dari motornya lah aku
tahu ternyata plat kendaraan Jambi adalah BH. Mesum sekali bukan ? kami
berkenalan sebentar dan berbasa basi yang tak penting. Beberapa menit kemudian
pemuda yang tadi bersama aku dan Putri di office datang menyusul. Ia di
tempatkan satu kamar denganku. Jadilah kami bertiga sebagai penghuni baru salah
satu kamar di camp Male 1 sejak sore itu. Kami semua mahasiswa, Wisnu dari UNS,
Akbar dari UB, dan aku dari UGM.
Sehabis sholat magrib
kami merebahkan badan di kasur mini. Menatap langit-langit yang sebenarnya
tidak ada. Ya, tidak ada langit-langit. Yang ada hanyalah barisan genteng
dilapisi plastik yang sudah berdebu entah berapa centi. Malam itu kami bergumam
kompak, betapa sederhananya camp ini. Nasihat guru besar di pondok dahulu
sekelabat melintas, menuntut ilmu memang harus dilalui dengan kesederhanaan dan
kepayahan demi kepayahan. Petuah itu sedikit membesarkan hatiku.
Ciitt..cittt.. kami
saling pandang. Suara itu begitu familiar. Iya, Suara tikus yang entah sedang apa membuyarkan
gumaman kami. Ekornya terlihat menggelantung diantara atap kamar. Ukurannya
medium namun tetap menggelikan. Semoga saja tidak mengganggu.
Ssrrr...ssrrr... perlahan
namun pasti puluhan nyamuk mulai mendekat. Terbang rendah kemudian hinggap di
kulit. Ada yang sekedar hinggap namun ada pula yang mencuri darah kami. Malam
pertama, kami bertiga disibukkan menepuk tubuh sendiri saat makhluk kecil nan
berisik ini landing. Ada yang tewas di tempat namun lebih banyak yang
berhasil lolos lalu terbang, mengejek kegagalan kami menghabisinya. Malam
pertama pun mulai mengukir cerita...
Jogjakarta,
24-01-2016
21:19
Komentar
Posting Komentar