Dakwah Itu Perkara Selera
Dakwah merupakan salah
satu aktifitas mulia dalam Islam. Ia merupakan proses menyampaikan kebenaran
kepada ummat dengan tujuan mengarahkan mereka ke jalan yang lurus dan diridhoi
Allah SWT. Para pendakwah umumnya adalah mereka yang paham ilmu agama. Di Indonesia,
populer dengan sebutan da’i, kiyai, ustad, dan lain sebagainya.
Posisi para pendakwah
dalam agama begitu dihargai. Dalam sebuah hadist dijelaskan bahwa Ulama
merupakan pewaris para nabi. Menghormati ulama berarti menghormati nabi. Karena
apa yang mereka sampaikan dan serukan balance dengan ajaran nabi
Muhammad SAW. Mereka adalah orang-orang yang memahami al qur’an dengan baik. Paling
tidak mereka gak termasuk dalam kategori orang-orang awam seperti kita
ini.
Esensi dari dakwah ialah
menegakkan agama Allah. Menguatkan yang hak dan meluruskan yang bathil. Mengutip
kalimat KH. Zainuddin MZ, “ yang salah dibenerin, yang bener tetap dibenerkan ”.
sebagai umat Islam yang baik kita harus meyakini dengan seyakin-yakinnya apa
saja yang termaktub dalam al qur’an adalah kebenaran mutlak. Begitupun dengan
ajaran nabi Muhammad SAW melalui hadist-hadist beliau.
Jika boleh
mengkonsepsikan dakwah, maka ia berada di posisi inti, bukan di bagian cabang. artinya,
dakwah adalah suatu perkara mulia yang dapat dilakukan dengan beragam cara dan
metode. Umumnya orang mengenal aktifitas ceramah, ia merupakan salah satu
bagian dari metode dakwah. Ada pula yang berdakwah melalui bahasa tulisan. Menggoreskan
kebaikan untuk dibaca khayalak ramai. Sungguh ada banyak jalan untuk berdakwah.
Dewasa ini dakwah melalui
ceramah kian berkembang. Muncul banyak ustad dengan ceramah memikat. Fenemona
ustad gaul menjadi trend sejak beberapa tahun terakhir. Style mereka
berdakwah pun beragam. Mulai dari pakian yang modis namun islami, sampai
persona yang mereka ciptakan untuk mengeksiskan diri di hati ummat.
Mereka mulai merambah
layar kaca. Namun dakwah di TV bukan sekedar esensi ceramah melainkan esensi
reting yang terkadang lebih diutamakan ketimbang mauidoh hasanah dari ceramah
itu sendiri. Disatu sisi ceramah bisa dinikmati oleh jutaan pasang mata di
depan layar kaca namun tidak jarang esensi ceramah tercoreng demi kepentingan
reting.
Ada satu hal yang membuat
saya agak merasa sedih akhir-akhir ini. seperti ada konfrontasi antara satu
pendakwah dengan pendakwah lain. Atau lebih tepatnya para pengikut satu dai
memandang tidak baik da’i yang tidak sejalan dengan da’i yang mereka sukai.
Pernah suatu ketika teman
facebook saya membagikan kutipan ceramah cak nun yang salah satu pointnya
adalah surga itu tidak penting. Menurut si empunya facebook saat itu cak nun juga
menyindir seorang ustad yang muatan ceramahnya tentang sedekah dan dahsyatnya
sedekah melulu. Kalau mau naik jabatan solat duha, kalau ingin dapat anak yang
soleh tiap saat sedekah. Kalau sedekah banyak Allah pasti balas. Anda pasti
tahu ustad mana yang dimaksudkan disini.
Status tersebut menuai
beragam komentar. Ada yang setuju, netral, bahkan sampai ada yang prontal
mengklaim cak nun itu sesat. Astagfirullahaladzim, saya hanya bisa mengelus
dada membacanya. Sehebat apa ilmu oknum yang berkomentar tersebut sampai
mengklaim cak nun sesat. Saya berani menjamin ilmu cak nun malah lebih tinggi
dari dia, insyaAllah.
Melihat fenomena seperti
ini, izinkan saya, orang awam yang tiada bosan belajar untuk sedikit memberi
tanggapan. insyaAllah ini tanggapan netral dan saya usahakan seobjektif
mungkin. Jika ada yang mau mengkritik atau membenarkan saya akan sangat senang
namun kedepankanlah etika dalam berdiskusi. Jangan emosi dilandasi kedangkalan
ilmu dan kesombongan iman.
Pembaca yang budiman,
bagi saya pribadi, ceramah itu masalah selera. Ada orang yang senang dengan
ceramah yang dibumbui humor mengocok perut mengundang tawa. Ada pula yang lebih
nyaman mendengarkan ceramah yang disampaikan dengan kelembutan nada bicara dan
intonasi yang tidak berapi-api. Disisi lain banyak yang lebih senang mendengar
ceramah dengan nada ketegasan dan kepastian suatu hukum dalam agama. Ceramah itu
perkara selera. Apa selera anda ? hanya anda yang tahu pasti.
Selanjutnya kita harus
memahami bahwa tidak semua penceramah datang dari latar belakang yang seragam. Sedangkan
background seorang penceramah memiliki pengaruh terhadap gaya penceramah
tersebut dalam menyampaikan dakwahnya. Begitupun dengan selera yang beliau-beliau
itu miliki. Sangat mempengaruhi metode dan arah dakwah yang mereka terapkan.
Ustad Yusuf Mansyur,
misalnya, latar belakang beliau adalah seorang pengusaha. Jatuh bangun beliau
berniaga dan berusaha, bahkan dalam sebuah artikel saya mengetahui dulu beliau
pernah menjadi tukang gorengan. Pernah pula menjadi seorang pegawai dengan gaji
hanya 45 ribu per bulan. Beliau adalah sosok yang memiliki keyakinan bahwa
Allah maha pemurah. Bertahun-tahun beliau bersedekah hingga akhirnya kini
beliau mengklaim telah berhasil membuktikan bahwa Allah akan memudahkan segala
urusan orang-orang yang ikhlas bersedekah. Tidak hanya menyampaikan pesan
melalui lisan semata, beliau juga membantu mereka yang ingin bersedekah melalui
lembaga-lembaga yang beliau naungi. Beberapa tahun terakhir beliau pun membuat
perusahaan bersama para jama’ah. Visi besar beliau adalah “ menuju 10 juta
komunitas, kita beli (kembali) Indonesia
”. saya tahu benar masalah ini karena saya pernah bergabung dalam salah satu
anak perusahaan multi finance beliau meski sekarang sudah tidak aktif lagi.
Prof. Quraish Shihab. Beliau
merupakan pakar tafsir jebolan Universitas tertua dunia, Al Azhar Kairo. Dalam tausyiah
beliau senantiasa mengedapankan dalil-dalil qur’an dan menggunakan metode
tafsir yang beraneka ragam namun disesuaikan dengan kondisi jama’ah yang
mendengarkan. Kemampuan intelektual beliau tidak perlu diragukan lagi. Ceramah beliau
cenderung serius, padat, dan berisi. Meski begitu, banyak pula orang yang
senang dengan ceramah dan style beliau dalam berdakwah.
Cak nun, dengan nama
lengkap Emha Ainun Nadjib. Beliau lahir di Jombang Jawa Timur. pernah menjadi
mahasiswa S1 di fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM namun hanya satu semester. Beliau
tak menyelesaikan studi S1nya karena lebih memilih berguru pada seniman,
budayawan, dan ulama-ulama di sekitaran Jogja. Beliau masyhur sebagai seniman
sekaligus budayawan. Saya pribadi yang notabene belajar di fakultas ilmu budaya
tahu benar bagaimana nyentriknya penampilan dari orang-orang berjiwa seni macam
cak nun. Tak Cuma penampilan yang nyentrik namun juga pemikiran mereka. Beruntunglah
cak nun adalah seniman bin budayawan yang paham agama. Sehingga ceramah beliau
tetap beresensi namun dibalut dalam keindahan budaya dan kenyentrikan seni. Sehingga
saat orang yang buta dengan alur fikir para seniman maupun budayawan mendengar
ceramah beliau tak jarang spontan mengklaim beliau sesat. Ya karena itu,
dibalut dengan bahasa yang cukup nyentrik.
Ketika seorang yang
berjiwa seni tinggi dan paham dengan budaya membahas sebuah topik, kita harus
mencerna dari perspektif budaya pula agar esensinya tepat dan akurat. Bukan lantas
menginterpretasi dengan perspektif yang lain. Jika itu yang terjadi maka hanya
akan menimbulkan konfrontasi demi konfrontasi. Sekali lagi, dakwah itu masalah
selera. Dan selera masing-masing orang berbeda. Tuhan menciptakan perbedaan
bukan sebagai pembenaran untuk saling menyalahkan dan menyesatkan, tapi sebagai
wasilah terciptanya kehidupan harmoni yang penuh warna. Damai itu indah. Toleransi
pangkal harmoni.
Sudahlah, stop meng-kafir-kan
atau mengkalim orang lain sesat. Kita ini bagikan peserta dalam sebuah
perlombaan yang arenanya dunia. Yang berhak memberi penilaian bukan peserta kan
? tapi juri. Allah lah juri kita yang tunggal dan maha benar. Gak ada gunanya
menyesatkan orang lain. Berdamailah dengan perbedaan. Pahamilah dakwah itu
tergantung selera masing-masing orang. Hormati perbedaan selera dengan arif dan
bijaksana.
Semoga damai tercipta. Harmoni
mengungkung ibu pertiwi. Rahmatan lil alamin menjadi nyata. Untuk islam di
tanah Nusantara.
Tetap jaga perdamaian dan
toleransi. Hiduplah dengan mulia. ‘IsyKarimaa.... !!!
Jogjakarta,
10 Januari 2016
21:54 WIB
Komentar
Posting Komentar