KEBETULAN, IYA KAH ? ( 5 )



Rerumputan masih basah oleh tetesan embun pagi. Sisa-sisa fajar mulai meredup tergantikan cahaya mentari yang perlahan menampakkan keperkasaannya. Sayup-sayup celoteh burung camar bersenandung merdu di angkasa. Jutaan liter air terus mengalir mengikuti arus sungai. Berdebam, bergerak tanpa henti. Air adalah salah satu makhluk yang paling tawakkal seantero jagat. Ia selalu mengalir mengikuti arus, tak pernah protes apalagi membelot. Hingga sampai pada muara yang telah ditentukan oleh takdir langit. Begitulah cara mereka bertasbih. Bertawakal pada Sang Maha Pengasih.
Aku terpekur di beranda camp. Tepat di pelupuk mata terparkir 4 unit sepeda sewaan. Kalau tidak ada penyedia layanan penyewaan sepeda tentu kebanyakan kami akan kewalahan. Bukan hanya Global English, seluruh lembaga kursus rata-rata memiliki tempat belajar yang terpencar di berbagai titik. Hikmahnya kami jadi bisa belajar sembari jalan-jalan menusuri keromantisan sudut-sudut kampung Inggris.
“ Mr Izzu what are will you do today? ” Akbar datang dan duduk disampingku.
“ Actually, i have appoinment with my friends, we want to refresehing, but i don’t know where we will go, i just follow their choice ”
“ And, how about you Mr Akbar ? ” aku bertanya balik
“ i don’t know, maybe just stay in camp, i confused ” ungkapnya tersenyum masam.
Pukul 07:00 WIB aku memacu sepeda. Kali ini menuju campnya Syahnaz, sahabat kami yang mengikuti kursus bahasa Arab. Letak campnya tidak begitu jauh dari campku. Sejenak aku teringat beberapa peristiwa berminggu-minggu yang lalu.
Kala itu yang berencana hendak ke Pare adalah Aku, Isma, dan Nurfadina. Kami bertiga lah yang sudah berkoar-koar sejak jauh-jauh hari. Saking semangatnya. Namun menjelang hari keberangkatan, Dina membatalkan niat, ia memilih pulang ke kampung halaman. Apa mau dikata, kami hanya bisa menghormati dan mendoakan semoga Dina sampai kepulauan Riau dengan selamat dan membawa oleh-oleh yang banyak.
Beberapa hari kemudian aku mendapat kabar sahabat kami, Zahra, juga ingin bergabung. Jadilah saat itu yang akan berangkat adalah Aku, Isma, dan Zahra. Selanjutnya Syahnaz dan Wulan menyusul. Tapi mereka hendak mengikuti kursus bahasa Arab. Fix, 5 orang, besar kemungkinan akan berangkat. Namun rencana tinggalah rencana. Beberapa hari sebelum pendaftaran di tutup Zahra mengundurkan diri, ia tidak mendapat izin dari keluarganya. Pengunduran diri Zahra membuat Isma bergeming. Ia nampak begitu ragu dan bingung. Tidak cukup dengan Isma, Wulan pun ikut-ikutan ragu, bahkan ia lebih parah lagi, seperti kehilangan mood hendak ke Pare. Aku saksikan langsung keraguan ternyata bisa menular. Menular dengan begitu cepat laksana rambatan bunyi melalui udara.
Tanpa banyak pikir aku daftar seorang diri kala itu. Syahnaz pun menyusul. Fix, kami berdua sudah resmi mendaftar. Tinggal transfer administrasi saja. Namun tiba-tiba Syahnaz pun ikut berubah pikiran. Ia kurang nyaman kalau kami hanya berangkat berdua. Mungkin dia takut aku apa-apain kali ya, entahlah, padahal aku kan lelaki baik-baik. :D aku lelaki yang selalu menjunjung tinggi kehormatan wanita. Sungguh ! ini statement sekaligus promosi juga sih :D.
Jujur, aku sedikit gamang ketika itu, namun aku gak mungkin mengubah keputusan. Orang tua sudah terlanjur transfer uang untuk keberangkatanku ke Pare. Hingga akhirnya nasihat bapak lah yang membesarkan hatiku. Via telpon bapak berujar.
“ bismillah aja, izz ! berangkat walau seorang diri ! banyak teman-temanmu yang berencana ke Pare tapi ternyata kamu yang jadi berangkat, anggap saja itu pertanda awal yang baik dari Allah untukmu. Yang penting niat kamu bagus, lurus, semata-mata mencari ilmu. Setelah itu ya tawakkal ! serahkan semuanya sama Allah. Percayalah, nak, Allah selalu menjaga orang-orang yang menuntut ilmu, kamu berada dalam perlindungan-Nya, jangan takut, jangan ragu, mantapkan niat dan kuatkan semangat, demi ilmu ”
Bapak selalu bisa menyulut api semangat dalam jiwa. Bahkan api itu kini berkobar hebat. Memberikan energi keberanian pada diriku untuk tetap berangkat meski pun seorang diri. Aku akan tetap beranjak, walau tak ada yang menemani. Gak akan aku kecewakan orang tua dan keluarga di rumah. Sebisa mungkin aku akan berusaha. Kalau pun toh aku mati di tengah perjalanan semoga menjadi mati syahid. Aku sampai berfikir seperti itu saking tulusnya.
Ketika aku hampir pasti berangkat seorang diri disitulah sebuah ketetapan Allah tereksekusi. Putri, sahabat kami asal Semarang mengatakan bahwa ia tertarik berlibur ke Pare untuk mendalami bahasa Inggris. Aku sempat menjelaskan kepadanya tentang teman-teman yang urung berangkat karena berbagai alasan. Syukurnya kala itu Putri lumayan mantap untuk tetap berangkat. Syahnaz yang tadinya hampir membatalkan rencana ke Pare pun berubah pikiran lagi. Ah, dia memang labil, tapi gak  apa-apa lah. Toh akhirnya kini kami bertiga sudah memijakkan kaki di kampung Inggris, Pare.
Mr Dikdik suatu pagi pernah mengajarkan sebuah idiom kepada kami di camp, blessing in disquise. Semua pasti ada hikmahnya. Begitu pun kehadiran kami di Pare. Kalau hendak diklaim sebagai kebetulan bisa jadi iya. Namun sungguh, sebagaimana yang diungkapkan bang tere liye, tidak ada satupun kebetulan yang benar-benar kebetulan di dunia ini. dengan siapa kita bertemu, apa yang kita alami, rasakan, dan hadapi, itu semua sudah tercatat dalam lauhil mahfudz. Tidak ada yang kebetulan. Semua sudah diatur dalam alur kehidupan.
Aku, Putri, dan Syahnaz bisa datang ke Pare pun bukan karena kebetulan. Kami yakin Allah tengah menyiapkan hikmah yang banyak untuk kami. Meski mungkin kami belum terlalu bisa menyingkap hikmah-hikmah tersebut. tidak mungkin Allah menetapkan sebuah suratan tanpa ada tujuan baik bagi hamba-hamba-Nya. Dan menurut Allah, di liburan kali ini yang terbaik untuk Izzuddin, Putri, dan Syahnaz adalah memijakkan kaki di Pare.
Masing-masing dari kami memiliki kenalan tersendiri, utamanya di camp. Putri, misalnya, ia pernah bercerita tentang miss Ratna dan miss Kumala. Aku, bertemu dengan mister Wisnu, Akbar, dan beberapa hari kemudian bertemu dengan mister Sanjay yang notabene orang Lombok asli. Syahnaz pun begitu, di hari pertama ia tidak hanya langsung akrab dengan ratusan mufradat namun juga berbaur dengan kawan-kawan di Al Azhar, tempat ia kursus.
Di hari-hari pertama Syahnaz terkena homesick akut. Sampai-sampai pipi dan matanya membentuk sungai nil yang meluap-luap. Kami bisa memaklumi. Ini kali pertama Syahnaz bepergian jauh dari rumah tanpa keluarga. Aku tahu benar bagaimana rasa kangen yang Syahnaz alami. Tadinya, aku dan Putri khawatir kalau-kalau Homesick yang Syahnaz idap malah menggangu kursusnya, membuatnya tidak konsen atau malah ingin kabur dari Pare. Namun syukurnya kekhawatiran tinggal lah isapan jempol belaka. Yang terjadi justru antiklimaks. Benar-benar antiklimaks.
Adalah sosok lelaki keturunan Arab yang berhasil membuat Syahnaz merasa nyaman kursus di Al Azhar. Ya, rekan sejawatnya itu bernama Fikri. Mirip dengan nama teman kami di kampus, namun konon kata Syahnaz fisik dan perangainya jauh berbeda. aku dan Putri tidak pernah bertemu langsung dengan si keturunan Arab, hanya melihat fotonya saja. Tapi kalau boleh jujur sepengelihatanku Fikri amat mirip dengan Ustad Habib Ziadi, pimpinan ponpes Mispalah Praya yang beberapa bulan lalu melepas status dudanya. Apakah si Fikri ini jangan-jangan duda juga ya ? ah, ku tepis pikiran ngasal di benak ini.
Bahasa tubuh Syahnaz tidak bisa berbohong. Celoteh curhatnya, senyumnya kala menceritakan detik-detik yang ia habiskan bersama si Arab, dan juga gelengan kepalanya yang seolah hendak berkata, ya Allah, kok ada ya cowok yang baik kayak gitu, sopan sama cewek, enak di ajak ngobrol, pengertian, hafal qur’an,  ganteng lagi, subhanaAllah, benar-benar calon imam idaman.
Aku hanya bisa berkata pada Syahnaz, syukuri apa yang kau dapati hari ini. Allah pasti punya tujuan mempertemukanmu dengan Fikri. Namun apa yang terjadi di masa mendatang akan tetap menjadi misteri hingga waktu yang akan mengeksekusi takdir ilahi. Jika memang ia jodohmu, Allah pasti dekatkan. Namun kalau bukan, mau sebesar apapun usahamu kalian gak mungkin bisa bertemu. Putri mengangguk, setuju, sepaham, sepakat dengan apa yang ku sampaikan.
Selain si ganteng Arab yang membuat Syahnaz betah adalah dagang pentol yang setiap jam 5 sore selalu menyambangi campnya. Tak henti-hentinya Syahnaz memuji kelezatan pentol itu. Udah murah, enak lagi. Suatu ketika ia pun sempat membelikan pentol tersebut untuk kami. Eh, sebenarnya untuk Putri saja sih tapi aku ikut mencicipi.  Aku tahu Syahnaz adalah orang yang paham kuliner. Ia bisa membedakan mana yang enak, kurang enak, dan gak enak. Beda dengan lidahku. Bagiku mah yang penting gak pahit aja, semua makanan enak tenan. Makin murah makin enak. Prinsip anak kos yang merantau.
Dalam hati aku bergumam, Allah pun pasti punya tujuan mempertemukan Syahnaz dengan dagang pentol tersebut. atau jangan-jangan, dagang pentol tersebut adalah jodohnya Syahnaz di masa depan. Haha. Maybe imposibble lah, kalau Syahnaz disuruh milih antara dagang pentol atau si ganteng Arab aku berani taruhan ia pasti memilih si Arab. Sungguh. Mari tanyakan pada Syahnaz.
Beberapa menit kemudian aku tiba di depan camp Syahnaz. Menunggu beberapa saat seraya mengumpulkan tenaga yang cukup. Karena sebentar lagi tugas berat sudah menanti ku. Syahnaz sempat khawatir di boncengku olehku, malah ia menawarkan diri untuk jadi depan. Aku dibonceng dia. Oh no, aku gk pernah di bonceng sama cewek sebelumnya.
“ Naik aja, Naz, aku kuat kok, percaya deh !!, aku tanggung jawab, kita pasti selamat sampai depan ” aku meyakinkan Syahnaz
“ Haqqon ? ” Syahnaz menilik dari balik kacamatanya. Ada setumpuk keraguan disitu. Wajar juga si dia ragu, wong tubuh kurus kayak gini.
“ iya, bener, naik deh, bismillah, meskipun kurus tenaga cowok itu lebih gede dari cewek ” jawabku sekenanya
“ iya udah deh, tapi hati-hati ya ”
“ oke bos ”
Syahnaz mulai duduk di sadel belakang sepedaku. Aku tarik nafas dalam-dalam. konsentrasi penuh. Memusatkan pikiran dan mensugesti diri bahwa aku kuat. Kamu pasti bisa, zu, kamu strong. Hamsah.!!! Sejurus kemudian saraf-sarafku terasa menstimulus energi ke pergelangan kaki. Tempat tumpuan tenaga akan ku keluarkan. Kaki pun mulai mengayuh. Baru satu kayuhan sepedaku hendak oleng ke kanan.
“ eee...ee... zuu.. zuu.. hati-hati ”
“ tenang Naz tenang, gak apa-apa kok ” hiburku sekenanya
“ gak apa-apa gimana, mau jatuh gitu ” Syahnaz mulai protes
“ iya kan mau doang tapi gak jatuh beneran, nah ini mulai normal kan ”. saat itu aku teringat pelajaran Fisika. Benda yang bergerak akan mengalami penurunan massa. Itulah hukum yang berlaku pada pesawat terbang. Karena ia bergerak makanya massanya berkurang dan bisa terbang. Begitupun kala sepeda ini bergerak masa kami pun berkurang. Aku bisa menstabilkan keseimbangan. Meskipun terkadang masih juga oleng kiri oleng kanan. Tak kurang 3 kali kami istirahat, Syahnaz hendak mengganti posisi duduk. Hal yang terberat adalah memulai kayuhan sepeda. Diperlukan tenaga ekstra kala itu, namun ketika sepeda sudah bergerak semua akan terasa ringan.
“ kita mau kemana sekarang, naz ? ”
“ ke Gumul aja, kita naik bis, bagus lo, ada bangunan kayak di Eropa gitu ”
“ sip, aku manut aja, yang penting jalan-jalan ”
Aku terus mengayuh sepeda sekuat tenaga. Putri sudah menanti di depan campnya. Pagi itu kami putuskan untuk jalan-jalan. Mengusir penat setelah beberapa hari bergelut dengan bahasa-bahasa asing.

Jogjakarta, 28 Januari 2016
21:18

Komentar

Postingan Populer