Bahtera Hidup
Suatu ketika saya pernah
berdiskusi dengan seorang kawan lama. Lebih tepatnya pacar lama. Kini sudah
jadi mantan. Saya yang mutusin. Saya mutusin untuk terima keputusan dia bahwa
dia mutusin saya ( nyontek kalimat bang dzawin). Obrolan kami di BBM dimulai
dengan pertanyaannya apakah dalam perkuliahan, saya mempelajar mustolahul
hadist juga ? saya menjawab, setelah diawali tawa “ hahaha”, ini bukan kampus
Islam, ini kampus umum, tidak ada pelajaran semacam itu.
Pertanyaan yang ia
lontarkan cukup membuat gejolak rindu pada pelajaran-pelajaran semacam itu
tersulut hebat. Mustolahul hadist, fiqih, ushul fiqh, tafsir, ushul tafsir, ta’lim,
dan masih banyak lagi. Rasanya saya ingin membeli kembali kitab-kitab tersebut untuk
mengimbangi koleksi buku umum yang saya miliki. Saya berprinsip, lebih baik
duit habis untuk membeli buku daripada membeli baju atau pernak-pernik
berorientasi fisik semata. Buku merupakan salah satu sumber ilmu. Jendela dunia.
Saya lebih bangga punya koleksi buku daripada koleksi jersey sepak bola.
Eh. Tapi, tunggu dulu !!
bukannya di laptop ini ada maktabah Syamilah ? kalau ada kenapa saya harus beli?
Di dalamnya terdapat ribuan koleksi kitab klasik Islam. Ya Allah, sesibuk apa
kamu zu sampai hampir melupakannya ? hati menyeringai, bathin beristigfar. Diawal
tahun ini saya membumbungkan hasrat untuk kembali menekuni kitab-kitab islam
klasik seperti di pondok dulu. Semoga dan insya Allah bisa. Ilmu agama dan ilmu
dunia harus berjalan seimbang. Namun orientasinya tetap satu. Meraih ridho
Allah, bahagia dunia akhirat.
Tak terasa tinggal 2
matkul UAS pun usai. Tanggal 7, al hikam wal amtsal dan 11 Januari Tasrif. Insya
Allah jika tak ada aral melintang pasca UAS tasrif saya, Putri, dan Syahnaz
akan mengembara ke Pare, Kediri Jawa Timur. Kampung Inggris. Kami ingin
memperbaiki kualitas bahasa inggris disana. Saya dan Putri akan mengambil
kursus bahasa Inggris sedangkan Syahnaz kursus bahasa Arab. Liburan yang hanya
3 minggu memaksa kami tidak bisa mengambil program paket 1 bulan. Terkadang ada
rasa iri melihat teman-teman dari kampus lain yang mendapat kuota libur lebih
banyak. UIN Jakarta misalnya, mereka libur 2 bulan. Pun juga dengan Unsoed di
Purwokerto yang diberi jatah libur satu setengah bulan.
Adapun hari ini free
class. Saya tidak ke kampus seperti biasa. Tapi raga beranjak ke tetangga
kampus, UNY. Tepatnya di GOR UNY. Beberapa tahun lalu di GOR inilah Evan Dimas
dkk menjalani pemusatan latihan di bawah arahan coach Indra Sjafri. Sayang
saat itu saya belum menjadi mahasiswa Jogja. Kini apa kabar mereka ? entahlah. Sepak
bola Indonesia tengah mati suri. Denyut nadinya terhenti sejenak. Namun sejenak
yang bisa jadi bermakna sebaliknya. Terhenti untuk waktu yang tak terhingga. Loh,
kok tulisan ini jadi melebar ke sana ke mari ya ? maafkeun maafkeun. Kembali ke
laptop.
Di GOR UNY tengah
berlangsung Jogja Islamic Fair. Konon kata sahabat saya acara semacam ini
berlangsung 2 kali dalam setahun. Kami sengaja berkunjung di hari terakhir demi
mendapat diskon yang gede dan harga murah. Biasanya di hari-hari terakhir
pameran seperti itu stand-stand akan memberi diskon besar-besaran. Benar saja. Ratusan
buku diobral mulai harga 5 ribu. Ada pula buku-buku tebal yang harganya ratusan
ribu. Sayang tidak ada kitab gundul yang dijual sepanjang mata memandang.
Saya membeli sebuah Novel
Tere Liye berjudul Pulang. Di Toga Mas kemarin saya kehabisan novel ini saking
banyaknya yang ingin membeli. Kalau beli di Gramedia harganya pasti lebih
mahal. Untunglah di pameran ini saya mendapatkannya dengan harga Rp. 45.000.
cukup murah untuk kualitas novel sekaliber tere liye. Bagi anda penikmat novel tentu
mengenal sosok penulis dengan nama pena tere liye.
Di awal paragraf tadi
saya menyinggung tentang kawan lama bukan ? ia pernah memberi nasihat kepada
saya “ jangan terlalu banyak baca novel, baca buku-buku pelajaran saja, kak ”.
dua kali gadis tembem ini memberi nasihat yang sama. Bahkan dengan redaksi kata
yang persis mirip. Saat pertama kali saya masih bisa menerima saran tersebut
dengan ucapan terima kasih. Namun, kedua kali ia berkata demikian entah
darimana saya bak wanita yang tengah PNS. Eh PMS maksudnya. Dengan jawaban argumentatif
berbau sensitif saya menjawab “ dek, kakak ini jurusan sastra, skripsi kakak
nanti pasti tentang novel atau puisi, bagaimana mungkin seorang anak sastra gak
paham tentang novel ? jangan kira dalam novel gak ada pelajaran yang
dapat kita raih. Ada banyak malahan, jangan pernah beranggapan membaca novel
berarti menghabiskan waktu dengan sia-sia, jangan pernah, karena kakak gak setuju
dengan itu ”.
Sejurus kemudian saya pun
meminta maaf atas jawaban yang mungkin ia anggap sedikit tegas dan emosi itu
:D. Maafkan... :D. Saya orangnya lembut kok. Sueerr.
Jika ada yang bertanya
kenapa saya suka membaca novel ? bagi saya pribadi, membaca novel bagaikan
mengarungi samudera kehidupan dengan bahtera yang indah. Para novelis mampu
memberi sugesti positif dengan bahasa-bahasa mereka yang menawan. Sehingga,
hikmah ataupun pesan moral yang didapati dari novel tersebut lebih melekat dan menggantung
indah dalam memori. Bak bulan penuh menggantung di malam yang kelam. Memberikan
cahaya, menerangi yang gelap. Membuat kelam menjadi lebih indah dalam pandangan.
Perhatikan 2 paragraf
yang saya kutip dari Novel Tere Liye-Rindu.
“ Tentu saja bukan
perjalanan kapal ini yang kumaksud. Meski memang jarak Pelabuhan Jeddah masih
berminggu-minggu. Melainkan perjalanan hidup kita. Kau masih muda. Perjalanan hidupmu
boleh jadi jauh sekali, Nak. Hari demi hari, hanyalah pemberhentian kecil. Bulan
demi bulan, itu pun sekedar pelabuhan sedang. Pun tahun demi tahun, mungkin itu
bisa kita sebut sebagai dermaga transit besar. Tapi itu semua sifatnya adalah pemberhentian.
Dengan segera kapal kita berangkat kembali, menuju tujuan yang paling hakiki ” Guratta
tersenyum.
“ Maka jangan pernah
merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci atas kehidupan ini. boleh kecewa. Boleh
marah. Tapi ingatlah nasihat lama, tidak pernah ada pelaut yang merusak
kapalnya sendiri. Maka. Janganlah rusak kapal kehidupan milik kau, Ambo,
hingga dia tiba di dermaga terakhirnya ” (Rindu-Tere Liye, cet 24 hal : 284 )
Kita adalah pelaut dan
kehidupan yang Allah amanahkan adalah kapalnya. Segala fenomena dan gejolak
kehidupan adalah riak gelombang dalam
lautannya. Pelaut yang baik dan bijak tidak mungkin merusak kapalnya sendiri. Karena
itu hanya akan membahayakan jiwa. Bisa mati sia-sia.
Mari menjadi pelaut yang
bijak. Jangan rusak bahtera hidup kita. Hidup dapat hancur dengan keputus
asaan, tunduk pada hawa nafsu, dan kehampaan iman. Maka, jagalah 3 hal dalam
mengarungi hidup ini. Semangat, bijak dalam mengontrol hawa nafsu, dan
kekokohan iman. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang selamat sampai
dermaga terakhir. Akhirat. Aaammiinn ya robbal ‘alamin.
Terima kasih Tere Liye. Selalu
ada nafas positif yang kau hembuskan dalam setiap novelmu. Aku selalu kau buat
mengangguk setuju dengan retorika dan diksimu dalam merangkai sebuah kisah yang
kaya makna. Bahasamu begitu indah, berusaha menyingkap banyak keindahan hidup
yang sering tertutup ego keangkuhan dan ketamakan duniawi. Terima kasih sudah
menginspirasi.
Tetap semangat. Hiduplah dengan
mulia.. ‘isyKarima... !!!
Jogjakarta,
06 Januari 2016
18:13 WIB
IZZU
Komentar
Posting Komentar