Sebuah Kekaguman
Sejak kelas 3 Madrasah Tsanawiyah saya bersama kawan-kawan sesama santri
di pondok pesantren Hikmatusysyarief NW telah diberi pelajaran ta’lim
al-muta’allim. Sebuah pelajaran yang diambil dari nama kitab yang menjadi
refrensi para ustadz dan Tuan Guru ( kiyai ) dalam mengajar. Konon barang siapa
yang mengamalkan ajaran-ajaran yang termaktub dalam kitab gundul tersebut akan
mendapatkan ilmu yang barokah.
Hampir setiap hari kami disuguhi dengan petuah-petuah kaya makna dari
ulama-ulama islam klasik. Kecuali hari jum’at, kami mendapat jatah libur dengan
barisan huruf hijaiyah gundul tanpa harakat tersebut. Saat resmi duduk di kelas
1 Madrasah Aliyah kajian ta’lim disampaikan langsung oleh pimpinan
pondok, TGH. M. Zahid Syarief. Dari mulai menata niat sampai etika dalam
belajar pun dibahas tuntas.
Kini di tanah rantau terkadang raga dan pikiran merindukan suasana itu. Duduk
bersila mengenakan sarung sederhana, baju koko, dan songkok putih khas pondok
kami. Menenteng kitab di tangan kanan yang didekapkan ke dada seolah melindunginya
dari debu dan noda sepanjang jalan. Membukanya dengan penuh ta’zhim (
hormat ), mendengar penjelasan dengan khidmat walau sering berujung ketiduran. Rindu
romantisme di penjara suci.
Saya punya harapan, bersama keluarga suatu saat nanti, dengan izin Allah,
kami akan membangun sebuah pondok pesantren yang menjadi tempat penggemblengan
mental, intelektual, spritual, dan emosional para santrinya. Saya adalah tipe
orang yang tidak sungkan menyatakan kekaguman pada pondok lain, seperti Nurul
Haramain NW Narmada, PP Darul Qur’an, dan tentunya Pondok Modern Darussalam
Gontor. Terlebih setelah mengkhatamkan trilogi 5 menara. Jika Allah mengizinkan
saya ingin menggabungkan sistem-sistem di beberapa pondok tersebut menjadi
sebuah sistem unggulan dalam mencetak santri yang berkualitas di segala bidang.
Saya juga bermimpi bisa menggratiskan para tullabul ‘ilmi ( santri )
dengan kemampuan finansial maupun manajemen yang saya miliki. Ini mimpi besar yang
pasti bisa terwujud jika Allah menghendaki. Aammiinn.
Kekaguman pada pesantren-pesantren tersebut bukan karena nama besar yang
melekat. Ataupun bangunan megah tinggi menjulang yang memikat. Juga tidak
karena keunikan nama dan motto yang tersirat. Kekaguman lahir dari bukti nyata
yang telah mereka lahirkan dalam diri para alumni. Utamanya Gontor, sejak
dahulu nama pondok ini sering terdengar. Apalagi saat itu di pondok saya ada
santri baru pindahan dari Gontor, namanya Arofa, ia anak Jakarta. Ketika baru
masuk di pondok ia langsung menjadi bintang dan pujaan, kemampuan dua bahasa
asing, public speaking, dan teater yang ia miliki sanggup membuat kami berdecak
kagum. Bahkan ketika lomba drama yang rutin diadakan di pondok, tim saya hanya
mampu menjadi runner-up dibawah kedigdayaan tim Arofa.
Rasa kagum berlanjut saat saya mulai mengenal Novel dan film Negeri 5
menara. Yang mengisahkan tentang persahabatan beberapa anak rantau di pondok
modern Gontor. Sungguh, andai bisa, ingin sekali rasanya diri ini masuk dalam
pondok tersebut dan mengukir pengalaman serta kisah hidup disana. Saya yakin
akan mendapat lebih. Namun sudahlah, agama tidak membenarkan kita “berandai-andai”.
Apa yang telah Allah tetapkan adalah yang terbaik. Mungkin saya tidak
ditakdirkan menjadi santri di gontor namun siapa tahu Allah mentakdirkan saya
mendapat istri alumni gontor. Aamiinn, Hehe
:D #Ngarep.
Saya berharap goresan yang tertuang disini mampu menjadi tambahan
semangat dalam mempersiapkan diri mewujudkan mimpi. Saat kita merasa lelah
istrihatlah sejenak, kemudian rilekskan badan dan fikiran, lalu ingat
baik-baik, ada mimpi yang harus diwujudkan, harapan yang mesti diupayakan, dan
doa yang selalu terpanjatkan. Nothing imposible selama bisa diusahakan.
Satu petuah dari maha guru saya di penjara suci dahulu, luruskan niat dalam
belajar untuk mendapat ridho Allah SWT. Manfaatkan waktu muda untuk belajar dan
terus belajar, jadilah orang yang tamak dalam ilmu pengetahuan. Jangan khawatirkan
rizkimu, karena Allah telah menjamin rizki para penuntut ilmu. Itu juga yang
dituturkan oleh nenek saya, meskipun hanya seorang PNS dan petani namun nenek
dan almarhum kakek bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Kata beliau ketika sang
anak membutuhkan uang dalam belajar “ ada saja ” rizki yang datang, yang
penting kita berusaha.
Sayangnya dewasa ini banyak sekali pelajar yang belajar untuk mendapat
pekerjaan. Saya sering mendebatkan masalah ini dengan seorang kawan dari
Banjarnegara melalui BBM. Namun saya sadar basic kami berbeda, ia belum pernah
melahap ajaran-ajaran ulama bijak dalam kitab ta’lim, jadi wajar saja jika ia
sering memikirkan pekerjaan. Bukan berarti saya menganggap pekerjaan dan
profesi itu tidak penting. Sama sekali tidak. pekerjaan maupun profesi memang
penting namun ridho Allah jauh lebih penting. Saat Allah memberi ridho-Nya maka
semua akan terasa mudah. Rizki orang yang berilmu sudah dijamin oleh Allah. Bukan
kah Dia sudah berjanji akan menaikkan derajat orang-orang berilmu ? apa iya
Allah akan ingkar janji ? sekarang pertanyaannya kita percaya gak dengan
janji Allah itu ? saya pribadi sangat-sangat percaya. Kini raga dan jiwa tengah
berproses meraih ridho Allah melalui jalur menuntut ilmu.
Selamat hari jumat, semoga berkah selalu melimpah.
Salam hangat untuk triliunan semangat.
Hammasah.
Jogjakarta, 04 Desember 2015
07:32
IZZU
setiap keinginan hambanya yang baik pasti allah mendengernya disuatu saat aya yakin pasti allah mengabulkan nya segala cita ciota hambanya .ilmu merupakan modal yang paling utama dalam menghadapi kehidupan dunia ini .iz isi kitab taklimul mutalim sampai saat sekarang blum terbantahkan kebenaranya .kurikulum k.bk.ktsp .k13 semuanya ruhnya pada taklimulmutalim
BalasHapusdoaku bersamamu senantisa diberikan himmah yang tinggi amin
Aammiinnn ya robbal alamin, terima kasih pak untuk semuanya, smoga kluarga di lombok slalu sehat wal afiat
BalasHapus