Ketika Hujan Menggoreskan Cerita

Secangkir teh hangat menemani jemari menari. Langit di luar masih mendung. Matahari hanya beberapa saat mengintip lalu bersembunyi lagi. Sisa-sisa keberkahan hujan masih membasahi jalanan di kota pelajar. Bahkan jaket Barcelona kesayanganku pun masih basah kuyup di jemuran.
Kehangatan teh yang ku minum berbanding terbalik dengan dingin semalam. Sebuah cerita telah tercipta dan tak kan terlupa. Masih dengan tokoh-tokoh yang sama. Keluarga kaga buta. Keluarga pertama dan terdekatku di Jogja.
Sore itu melalui WA kami memutuskan untuk hangout ke sekaten. Sebuah even pasar malam yang diselenggarakan di dekat kraton Jogjakarta. Ada yang sanggup ikut dan membawa motor ada juga yang ikut namun tidak membawa kendaraan. Sisanya tidak ikut dengan berbagai kendala dan kesibukan lain. Kami memaklumi. Saya sendiri bersedia ikut dan membawa si shogun merah yang masih terlihat sedikit lebih gagah dibanding shogun merah milik tukang sayur yang setiap hari berseliweran di depan kos.
Seusai solat magrib saya pun berangkat menuju kampus. Dengan kecepatan sedang motor melaju membelah keramaian kota istimewa. Tiba-tiba lampu motor mati. Ah, sial ! Udah diganti berkali-kali kenapa masih mati juga lampu motor ini. ngajakin berantem nih motor gumamku dalam hati. Saya pun bimbang antara melanjutkan perjalanan atau kembali ke kos dan mengurungkan niat hangout bersama teman-teman. Ini kejadian kedua kali yang saya alami. Beberapa bulan yang lalu lampu motor pun pernah mati dan saya memutuskan kembali ke kos. Resikonya saya tidak jadi mendaftar satu pun BSO di fakultas. Akankah saya harus kembali ke kos ?
Dalam kondisi bimbang saya putar stang motor ke arah jalan timoho. Beberapa meter sebelum rel kereta api saya belok kiri dan berbalik ke kos melewati jalan pintas. Ini jalur favorit saya. berkendara di samping rel kereta, apalagi kalau ada kereta yang lewat. Sensasinya tentu berbeda dengan berkendara di jalan raya. Motor butut saya berguncang hebat beradu dengan krikil-krikil nakal di pinggir jalan. Sungguh kontras dengan Vario hitam saya di Lombok yang terawat dan rutin diservis.
Beberapa meter sebelum sampai di kos tiba-tiba lampu motor yang tadinya mati menyala kembali. Saya semakin bimbang hendak mengambil keputusan apa. Setelah beberapa detik berfikir, bismillah, ku pacu gas motor dengan kecepatan lebih dari biasa. Motor ini benar-benar ngajakin berantem. Sedikit jengkel ulu hati ini dibuatnya.
Lalu lintas Jogja benar-benar padat merayap. Diantara 4 kota besar yang pernah saya singgahi, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Jogja, wilayah kekuasaan sultan hamengkubuwono ini menempati posisi ke 2 terpadat setelah Jakarta. Malang memang padat namun cenderung lancar, begitu pun dengan Surabaya. Kalau Lombok mah sama sekali gak padat. Paling hanya pada waktu dan momen tertentu ia akan terlihat sedikit lebih macet. Saya memang masih beradaptasi dengan kemacetan yang menjadi sebuah kemestian di kota pelajar ini.
Sekitar 15 menit kemudian saya pun sampai di kampus. Baru beberapa detik melewati gerbang kampus lampu motor ini pun mati lagi. Irhamni ya robbi, kali ini makian saya sedikit lebih syar’i. Bodo amatlah, ntar juga nyala sendiri kok. Saya pacu motor menuju parkiran sebelum menuju ke kampus FIB tempat kami berkumpul.
Bakda isya kami pun berangkat. Tawa canda pecah di tengah perjalanan. Sungguh mereka lah keluarga saya disini. Dengan mereka rasa sepi pun terkikis. Semuanya terasa indah dan bermakna. Allah telah memilih mereka sebagai saudara-saudara saya dan memilih saya sebagai saudara mereka. insyaAllah kami semua bersyukur bisa berkumpul dan menjadi keluarga di Sastra Arab UGM 2015.
Hasan yang menjadi penunjuk jalan berada di baris terdepan. Adapun saya dan andri berada di pertengahan karena motor kami senasib sependeritaan. Sama-sama bermasalah di bohlam lampunya. Tapi all is well, laa musykilah, setelah bersabar menghadapi kemacetan yang menyemut kami pun sampai di lokasi sekaten.
Ribuan orang telah memadati arena pasar malam itu. Mulai dari pedagang, penyedia jasa hiburan, pengemis, pengamen, dan tentunya pengunjung dengan beragam warna. Ada yang datang bergerombolan dengan sahabat-sahabat mereka seperti kami. Ada pula yang datang dengan keluarga kecil mereka. Sepasang suami istri yang nampaknya orang timur indonesia nampak menemani buah hati mereka bermain trampolin. Rambut gimbal si anak terkibas-kibas kala mengudara, ah, pasti kutu-kutu yang bersarang di situ pusing dan bisa jadi mabuk dibuatnya. Ada pula pengunjung yang datang bersama couple ( pasangan ) mereka. Makan es krim berdua, jalan bergandengan, dan tentunya berselfie ria dengan beragam background dan gaya.
Kami mengawali petualangan malam itu dengan mengisi perut. Sebenarnya saya sudah makan namun gak enak rasanya kalau gak tajammu’ ( berjama’ah ) bareng mereka. Saya pun memesan satu piring nasi, entahlah lauknya apa saya gak tahu. Beberapa sahabat yang lain memesan mie ayam, bakso, dan secangkir minuman khas Jogja yang saya lupa namanya apa.
Sewaktu makanan datang saya hanya bergeming menatap nanar ke arah piring. Ya rabbi, kelihatan tidak terlalu enak. Hanya nasi putih, sedikit potongan  telur rebus, beberapa helai daun kemangi, sedikit kol, dan daging ayam yang teramat kecil. Saya pun berkoar dengan bahasa arab bersama kawan-kawan yang lain. Kami membicarakan tentang makanan ini yang bisa dibilang kurang enak. Sang pemilik warung hanya termangu menyaksikan kami berbicara bahasa arab, ah, andai saja dia tahu kami sedang membicarakan makanannya yang meredupkan selera mungkin kami akan diusirnya.
Ketika hendak membayar saya semakin kaget bukan main. Nasi segitu harganya 10 ribu, gilaa ! lebih baik makan di burjo, lebih enak, lebih banyak dan lebih murah. Tapi ya sudahlah, mungkin apa yang kami bayarkan memang jadi rizki buat si ibu. Yang paling jengkel adalah teman-teman yang memesan nasi dengan segelas air putih. Air putih dibandrol dengan harga 2 ribu rupiah. Siapa yang gak jengkel coba ? tapi yang lalu biarlah berlalu, paling tidak jika suatu saat kami hendak makan bareng harus ada riset dan survei tempat terlebih dahulu biar kejadian malam ini tidak terulang. Terima kasih bu’ untuk nasinya yang melemahkan selera dan harganya mengejutkan jiwa.
Next planing adalah menuju pusat sekaten. Ada banyak barang yang dijual. Namun saya pribadi lebih tertarik menikmati wahana permainan yang disediakan. Sejumlah teman memutuskan naik ke arena permainan kapal raksasa yang digoyang-goyangkan dengan tinggi. Entahlah istilahnya apa. Sebagian kami menyaksikan dari bawah. Terlihat jelas ketakutan dan ketegangan yang terpasang di raut wajah mereka. Syamil yang duduk di sebelah mbak-mbak berparas menarik memasang wajah sok cool, padahal kami tahu dia sedang menahan ketakutan dan ketegangan. Ifa hanya sanggup menutup wajah dan bersandar di bahu putri. Begitupun dengan asih, iin, isma, dan zulfa. Saya rasa permainan ini memang memacu adrenalin. Adapun bonita dan Faris berkelana ke titik yang lain untuk menikmati berbagai permainan yang tersedia.
Seturun dari perahu terbang nampak ketegangan masih tersirat di wajah mereka. Iin langsung duduk jongkok dan menduduk. Ia nampak pusing sekali, begitupun dengan yang lainnya. Disaat mereka sedang beristirahat saya dan andri membujuk zamzam untuk masuk ke rumah hantu yang ada di belakang kami. Zamzam pun bersedia diikuti dengan kawan-kawan yang lain. Sialnya sewaktu masuk saya malah jadi barisan paling belakang.
Ini pengalaman pertama masuk rumah hantu. Aroma kemenyan merasuk dalam hidung, teman-teman wanita kami mulai teriak histeris. Tiba-tiba dari arah samping muncul sosok kuntilanak. Dan saya putuskan untuk melihatnya. Ah gak menakutkan. Kami terus berjalan dan bertemu dengan pocong. Sekali lagi saya masih kebal. Sampailah kami ditikungan akhir sebelum keluar. Sontak langkah teman-teman terhenti, terdengar jeritan mereka membahana, nampaknya ada hantu lagi di depan, saya harus siap-siap. Entah kenapa kepala ini menoleh ke sebelah kiri dan... astgafirullah... saya terlonjak kaget dan spontan memaki. Sial ! hanya gambar tengkorak saja namun cukup membuat diri ini kaget.
Kami keluar dengan selamat. Paling tidak gak ada yang kesurupan. Wulan terlihat tegang, ia memang takut hantu, dan ketika sudah meninggal nanti ia tak ingin jadi hantu, tentu saja. Saya juga gak mau jadi hantu. Meskipun hantu sering main film dan ftv. Ah padahal andai bertemu dengan hantu asli Wulan masih bisa berlari. Ia mahasiswi tercepat seUGM. Dan hantu hanya bisa berhihihi tidak jelas dan monoton. Tidak memiliki kualitas berlebih.
Saya dan beberapa kawan lelaki pun tertarik main trampolin. masyaAllah, ini nih pertanda masa kecil kurang bahagia. Tapi tak apalah masa kecil kurang bahagia yang terpenting adalah masa depan kudu bahagia. Bahagia dunia akhirat. insyaAllah.
Seusai main trampolin kami dikagetkan dengan kondisi Iin yang semakin drop. Fisiknya melemah dan akhirnya pingsan. Ia menolak dibopong oleh cowok, alhasil teman-teman cewek lah yang membopongnya. Namun mereka tak cukup kuat, mungkin pahala Iin terlalu banyak makanya terasa berat. Kami pun mengambil alih Iin, Saya, Syamil, dan Andri mengangkatnya ke dekat pos kesehatan yang sudah tutup. Oleh kawan-kawan ia diberi pertolongan pertama dengan minyak kayu putih. Sebenarnya kami pun masih pusing dan capek sehabis main trampolin. Tapi the power of kepepet memang benar-benar ampuh. Entah darimana tenaga kami datang untuk membopong tubuh berat Iin.
Beberapa menit kemudian Iin pun siuman diiringi hujan deras yang mengguyur Jogja. Kami bimbang kapan pulang, menunggu hujan reda yang tak tahu kapan atau pulang sesegera mungkin menerobos hujan agar Iin bisa istirhat di kosnya dengan nyaman. Setelah sedikit beradu argumen kami pun memutuskan menerobos hujan.
Pakaian kami basah kuyup. Dingin merasuk sampai ke tulang. Terkadang mengigil menyerang membuat saya memaksa diri untuk menahan fisik agar mampu bertahan dan kuat. The power of kepepet kembali membuktikan tajinya. Kami mengantar Iin ke kosnya dulu, memastikan Iin sampai dengan selamat dan bisa beristirahat. Barulah kami kembali ke kos masing-masing.
Malam itu sebuah cerita kembali tercipta. Ada keriangan, kegilaan, kehebohan, dan kepanikan. Kelelahan dan kekhawatiran melebur jadi satu. Firasat buruk dan harapan positif berkecamuk dalam fikiran. Namun saya yakin setiap hujan memiliki cerita tersendiri. Hujan adalah keberkahan. Dinginnya hujan malam ini telah memberkahi kekeluargaan kami. Ini akan menjadi cerita yang akan selalu terkenang dalam memori kehidupan. GWS iin, GWS juga sahabat kami Andri.
Ketika hujan menggoreskan cerita. Disitulah syukur harus terpelihara. All is well. Berkah melimpah.... !!!

Jogjakarta 19 desember 2015
09:58 WIB

IZZU


Komentar

Postingan Populer