senja di rumah sakit
Ambulan melaju
dengan kecepatan tinggi, suara sirinenya membuat orang-orang paham dan mau
bertoleran memberikannya jalan untuk segera sampai pada tujuan. Aku dan paman
membuntuti dari belakang meskipun kami tak sanggup mengejar. Lampu merah dan
kemacetan pada jalur protokol penyebabnya. Terpikir dalam benakku. Inilah takdir,
tak bisa ditebak, bahkan takdir yang pernah terjadi pada orang lain tak kita
sangka-sangka bisa terjadi pada kita. Dulu aku tak pernah menyangka bisa masuk
televisi nasional dan di saksikan oleh jutaan penonton, tak pernah mengira bisa
bertemu dengan orang-orang yang hanya kusaksikan dari layar kaca, teh rina, aa
abdel, kak irfan hakim, mamah dedeh, ustad wijayanto, ustad subyki dan tentunya
ustad al habsy. Dan sekarang aku tak menyangka mama sedang dibawa oleh ambulan.
Sejak dulu jika dalam perjalan ke suatu tempat aku sering mendapati ambulan
yang tengah tergesa-gesa dan menyalakan sirinenya. Mungkin karena terlalu
sering aku jadi menganggap itu hal biasa, bahkan sekarang aku sadari
kesalahanku, aku tak pernah sama sekali mengatakan na’udzubillahi min dzalik
ketika menyaksikan ambulan melintas, apalagi sampai mendoakan orang yang di
dalam ambulan diberikan kekuatan. Sedangkan aku yakin diantara ribuan pengguna
jalan ada yang bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan yang dibawa oleh
ambulan, bahkan aku yakin ada yang berdoa semoga orang dalam ambulan tersebut
diberikan kekuatan dan yang terbaik. Ampuni aku ya rabb, ampuni kelalaianku,
maafkan sifat burukku, astagfirullahal ‘azim.
Sekitar setengah
jam kemudian aku dan paman sampai di Rumah Sakit Umum patut patuh patju gerung
Lombok Barat. Kulihat ambulan yang membawa mama terparkir di depan IGD dan aku
lihat mama sedang di angkat menuju ranjang pasien. Orang-orang disekitar banyak
yang menyaksikan mama, mereka pasti mengiba dengan kondisi mama. Aku dan paman
memarkirkan motor dan segera berlari menuju dalam IGD. Dalam ruangan tersebut
ada banyak orang sakit dengan berbagai penyakitnya. Rata-rata lanjut usia
meskipun ada pula yang masih muda dan anak-anak.
Mama, bapak,
dan ibu bidan masuk ke dalam ruang IGD. Sedangkan aku dan yang lainnya harus
menunggu di luar. Melalui sebuah kaca di pintu ruangan aku bisa menyaksikan ibu
bidan sedang mengurusi administrasi. Bapak dengan setia memegangi kepala dan
perut mama, mengusap-usap kepalanya dengan penuh kelembutan. Paman dan bibik
juga terlihat tegang dan harap-harap cemas, tak henti bibik melayangkan doa, “
semoga nggak terjadi apa-apa sama kak ijul ” sapaan akrab mamaku dalam
keluarga.
Kuraih samsung
putihku, aku broadcast message di BBM, SMS, dan facebook, isinya sama, meminta
doa untuk kelancaran persalinan mama yang kini dirujuk ke Rumah Sakit. Banyak yang
merespon langsung saat itu, terimakasih atas doanya kawan-kawanku.Aku yakin
sebagaimana kata guruku jika 40 orang lebih berdoa dengan doa yang sama pasti minimal
ada 1 doa yang terkabul. Kawan-kawanku adalah orang-orang baik dan tahu agama,
kebetulan aku pun tengah nyantren di Ma’had Darul Qur’an wal Hadist. Sebuah pesantren
setingkat perguruan tinggi yang banyak mencetak ulama di NTB ini. Bahkan menurut
survey 60 % ulama di provinsi NTB adalah mutakharrijin ( alumni ) Ma’had
tempatku belajar sekarang. Dan kebetulan gubernur kami yang sekarang adalah
rektornya. Aku yakin mereka pasti ikut mendoakan. Lihatlah ya Allah, doaku,
bapak, keluarga, hamba-hamba-Mu yang sholih bersatu meminta kebaikan untuk
keselamatan mama dan adik bayi, kabulkan ya Allah, kami tahu ada hikmah yang
tengah engaku persiapkan kepada kami, kuatkan mama dan adik bayi, juga kuatkan
kami.
Akhirnya aku
bisa masuk ke dalam ruang IGD. Kulihat mama masih kesakitan, aku berdiri
disamping mama, ku belai-belai ubun-ubun mama, lantunan zikir masih terdengar
dari surau paraunya, namun ketika rasa sakit itu datang mama hanya bisa
merintih, mengaduh, dan kejang tubuhnya untuk beberapa saat, pasti sakitnya
luar biasa. Si perawat pun bilang ditengah rintihan kesakitan yang dirasakan
mama “ di operasi saja ya bu, di vacum sulit, itu udah bengkak sekali, kenapa
baru sekarang di bawa ke sini, harusnya dari tadi, ini sudah terlambat sekali ”
nadanya menjelaskan namun terasa ada nada ketus disitu.
“ iya,
operasi saja, gimanapun caranya saya sudah nggak kuat ngeden ” kata mama
tanpa pikir panjang
“ steril ya
bu ? ” tanya suster itu
“ iya,
steril ” aku hanya bisa menerka maksud steril di sini adalah operasi yang
mengakibatkan mama tidak bisa hamil lagi. Aku tak ambil pusing karena dengan
lahirnya adik nanti mama sudah punya 4 anak yang hidup, satunya kan sudah
menjadi bidadari kecil bagi keluarga kami disurga sana. Kalau tolak ukurnya
adalah program KB pemerintah tentu jumlah anak bapak dan mama bukan cukup lagi
tapi lebih dari cukup.
Bapak keluar
untuk mengurusi administrasi yang belum selesai. Suster itu kulihat masih sibuk
menulis, ia bahkan acuh dengan sakit yang mama rasakan. 10 menit berlalu namun
suster cantik itu masih saja cuek dengan kondisi mama. Ya ampun, apa gunanya
paras cantik tapi sifatnya angkuh dan menyebalkan, aku tak tahu kenapa aku
sampai bisa menggerutu di tengah kondisi gawat seperti itu. “ sus, dokternya
sudah datang ? ” tanyaku pelan.
Suster itu menatapku
tajam, matanya melotot, ia bersiap-siap mengoceh, aku yakin itu dan “ iya, mas,
sabar, kita mana bisa cepet, orang ibunya juga baru datang sekarang, dokternya
masih dijalan, sabar mas, dokternya sudah kita telpon ” ia menyolot. Menguji kesabaran
banget suster cantik ini! untung aku masih bisa sabar, andai jiwa dan mental
semasa aliyah yang masih kubawa mungkin aku akan balik nyolot atau bahkan
memukul mejanya. Dulu sewaktu jadi ketua OSIS aku bukannya galak, tapi kalau
emosiku sudah memuncak konon kata teman-teman tak ada yang berani berkata-kata.
Ini sifat bawaan dari bapakku kali ya, ia terkenal sebagi salah seorang pembina
yang tegas. Bahkan aku sendiri pernah jadi korban ketegasaannya. Buah tak jatuh
dari pohonnya. Namun untungnya aku masih bisa bersabar, toh memaki balik pada
suster itu akan menambah masalah.
Mama berkata
dengan suara lemah “ izz, saya nggak kuat, mana dokternya ”. ku kumpulkan
energi untuk berkata dengan nada senormal mungkin dihadapan mama
“ dokternya
masih di jalan, ma, sebentar lagi ”
“ ya Allah,
akan jadi apa anak ini nanti, izz ? tumben saya sesakit ini? ”
“ dia akan
jadi kebanggan keluarga, ma, dia akan melebihi saya dan kakak-kakaknya. bapak,
mama, saya, dan kita semua akan mendidik dia menjadi yang terbaik ” ucapku pada
mama. Aku ingat, selama masih dikandungan kalau ia menendang-nendang perut mama
terus dibacakan ayat al qur’an ia pasti berhenti menendang, setiap malam
sebelum tidur bapak selalu melantunkan ayat suci al qur’an pada perut mama. Konon
kata bapak dan mama, hanya adik inilah yang dibacakan terus al qur’an sedangkan
aku dan adik-adikku yang sebelumnya mungkin tidak sesering jagoan kami yang
masih dalam perut ini. Ah nasib, tapi tak apalah, sudah jadi takdir Allah. :D
Bibi masuk
ke dalam ruang IGD, ia dan yang lainnya baru selesai sholat isya dan tadi aku
yang menjaga mama, sekarang saatnya aku sholat. Bibi dan bapak menjagai mama di
dalam, ketika hendak beranjak meninggalkan ruang IGD papuq tuan bertanya “
bagaimana kondisi mamanya izz, sudah lahir adiknya ? ”
“ belum puq
tuan, mama mau di operasi sesar ”
“ operasi ? ”
tanya paman yang mendengar
“ iya paman,
operasi sesar yang steril ” aku coba menjelaskan singkat
“ iya sudah
kalau menurut medis itu yang terbaik kita terima, yang penting mamamu dan
adikmu sehat selamat ” aku menganggukan kata-kata paman
“ berarti
perut mamanya mau di bedah? ” tanya papuq tuan
“ iya papuq
tuan, di bedah ”
“ ihh,,
nggak saya berani liat ”
Tak ku
hiraukan kata-kata papuq tuan aku berlalu karena waktu sudah menunjukkan pukul
18:00 lebih.
Senja di
rumah sakit menjadi saksi sujudku pada rabbku. Memohon ampun atas dosa-dosaku,
orangtuaku, dan guru-guruku. Memohon pertolongan dan bantuan serta keajaiban
dari Allah sang penguasa takdir. Bayangan buruk sempat terlintas namun segera
ku enyahkan. Aku harus berprasangka baik karena Allah bersama prasangka
hamba-Nya. Senja ini menjadi saksi cintaku pada orangtuaku, cinta yang
kuletakkan di posisi tertinggi di bawah cinta pada Allah dan Rasul-Nya. Akan kulakukan
apapun demi cintaku pada mama dan bapak. Tak kusadari airmata mulai mengalir
membentuk sungai di dua belah pipiku. Tak ku usap airmata ini, ini bukan
airmata buaya, bukan pula airmata buat-buatan, ini airmata kepasrahan pada
tuhan mengharapkan takdir yang baik untuk pahlawan kehidupanku. Aku yakin
Engkau terbaik diantara yang baik, baikanlah semua prosesnya wahai tuhan
pemberi kebaikan.ammiinn.
Bayangin dua
orang adikku yati dan aliya menyapa di pelupuk mata. Semoga mereka baik-baik
saja. Kuraih samsung putih dan ku cari nomor Hpnya, ku sentuh untuk memanggil. Beberapa
detik kemudian... tutt... tutt..tutt... alhamdulillah nyambung. Lama aku
menunggu tapi tak jua diangkat-angkat. Ku ulangi sampai tiga kali tapi hasilnya
sama, tiada jawaban. Aku gelisah, tapi aku harus percayai yati dan aliya
bersama tetangga-tetangga kami yang sudah seperti keluarga.
Senja tersenyum
melihatku yang duduk merenung dihadapannya. Senja tahu aku tengah merenungkan
siapa diriku yang sesungguhnya. 19 tahun lebih aku hidup, aku terlalu nyaman
dengan kondisiku sebagai seorang anak yang kebutuhannya bisa dibilang selalu
terpenuhi namun tidak juga dikatakan mewah. Dulu kami pernah pada taraf ekonomi
yang begitu lemah tapi alhamdulillah berkat kerja keras bapak dan mama kini
kami sudah berkecukupan. Paling tidak itu aku ketahui dengan beberapa investasi
yang bapak persiapkan untuk kuliahku nanti. Aku terlalu nyaman dan menjadi lupa
akan posisiku sebagai anak pertama, laki-laki lagi. Di bawahku ada 3 orang
adik, termasuk yang sebentar lagi akan lahir. Mereka juga butuh biaya pada
saatnya nanti dan akulah yang harus ikut membantu membiayai mereka. Aku juga
harus menjadi panutan bagi mereka, panutan yang baik, yang pantas dicontoh dan
bisa dibanggakan. Sekali senja semakin merunduk seolah-olah mengangguk tanda
setuju akan kesadaran yang Allah berikan saat ini.
senja hari
kemarin dan sekarang begitu berbeda. senja kemarin aku masih ingat saat aku
izin berangkat ke pancor untuk kembali belajar namun mama tak mengizinkan,
sedangkan senja hari ini aku bersyukur mama tak mengizinkanku kembali kemarin,
andai aku jadi kembali tentu aku takkan tenang berada di pancor sana.
Kuayunkan langkah
kaki menuju IGD lagi. Melihat langit yang mulai kekuning dan kemerahan azan magrib
sebentar lagi akan mendayu di angkasa. Aku melangkah dengan cepat dan kulihat
paman serta papuq tuan masih menunggu diluar. Aku masuk ke ruang IGD dan
mendapati mama masih kesakitan, sedangkan suster itu ? alhamdulillah kini ia tengah
memasang sesuatu pada bagian tubuh mama, mungkin untuk keperluan operasi. Kulihat
bibi dengan telaten menemani mama. Kami terus terdiam menunggu kapan mama akan
dibawa ke ruang operasi. Bagiku lebih cepat lebih baik. Semoga dokternya segera
datang.
Tepat
beberapa menit selepas azan magrib sang suster mendapat telpon. “ baik dok,
sekarang saya bawa ke ruang operasi ” ia pun menutup telponnya. Kami langsung
memburunya dengan tatapan penasaran.
“ mari pak
mas, kita bawa ibu ini ke ruang operasi, bantu saya ”. aku, bibi, bapak, dan
suster tersebut memegang masing-masing ujung ranjang rumah sakit tersebut. kami
menelusuri beberapa koridor berbelok ke kiri dan melewati ruang radiologi, di
samping ruang radiologi itulah tempat ruang operasi. Kami masuk sedangkan paman
dan papuq tuan menunggu di luar, aku
bantu mengangkat mama dari ranjang rumah sakit biasa menuju ranjang operasi. Ketika
mama hendak dibawa ke dalam hanya bapak yang diperbolehkan menemani untuk
sementara waktu. Aku dan bibik keluar dari ruangan itu dan bergabung bersama
papuq tuan dan paman.
Bapak terus
menemani mama sampai ruang operasi. Mama tiada henti menggengam tangan bapak.
“ saya sudah
nggak kuat lagi pak, maafkan kesalahan saya selama ini, saya banyak salah sama
side (kamu-bahasa halus sasak lombok), maafkan saya ” ucap mama menahan sakit
sembari berlinang airmata
“ kamu nggak
usah ngomong begitu, kamu pasti selamat, yakinlah ” mata bapak berkaca-kaca,
suaranya serak menahan tangis.
Para perawat
dan dokter sampaii terharu menyaksikan apa yang mereka lihat petang itu. Sesampai
di ruang operasi bapak menatap mama penuh arti, menatap wajah wanita yang begitu
ia cinta dunia akhirat, sejak mengawali bahtera kehidupan rumah tangga mereka
selalu bersama dalam suka dan duka, bapak yakin apa yang akan mereka hadapi
saat ini akan menjadi cerita di hari esok. Semoga cerita yang indah, gumam
bapak dalam hati. Mata bapak yang tadinya berkaca-kaca kini berubah menjadi
linangan airmata, ia cium kening mama dengan penuh rasa cinta. Mama pun merasakan
kecupan cinta dari bapak dengan kepasrahan yang sudah sampai pada titik puncak.
Antara hidup dan mati, antara esok masih bisa membuka mata atau tidak, ya
Allah, ampuni dosa-dosaku, hati mama merintih pada tuhan.
Seusai mengecup
kening mama bapak langsung menghampiri sang dokter. Dokter yang mengenakan
pakaian operasi serba hijau, bermasker dan berkaca mata. Bapak peluk dokter itu
dengan penuh harap, “ selamatkan istri saya, dok, lakukan yang terbaik ” kata
bapak lirih. Tangan dokter pun mengusap bahu bapak, “ kami akan lakukan yang
terbaik pak ”. bapakpun keluar dengan terus menatap ke belakang, sama halnya
yang dilakukan oleh mama. Terus menatap bapak sampai akhirnya bapak keluar dari
pintu operasi dan hilang dari pandangan mata.
“ ayo, kita
bertindak segera, kasihan bayinya ” ucap dokter. Sontak beberapa orang yang ada
di ruangan tersebut mulai bergerak. Tentu mereka sudah memiliki job
masing-masing. “ ibu berdoa ya ibu, kami akan berusaha semampu kami, ibu bantu
lewat doa, mudah-mudahan semuanya baik, jangan berhenti berdoa ya bu ” kata
dokter itu dengan lembut. Mama mengangguk.
“ coba di
angkat kakinya bu ” perintah dokter. Mamapun menurut.
“ ada rasa
kesemutan ? ” tanya dokter
“ iya ada,
dok ” suara mama parau dan akhirnya... bius pun mulai bekerja. Gunting, pisau
operasi, dan berbagia macam alat bedah sudah berada di tangan dokter.
Diluar ruang
operasi kami semua bermunajat, ya Allah lancarkan operasinya, selamatkan mama
dan adik bayi, amiinnn,
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar