Lain Senja Lain Cerita



Ruang observasi ini lumayan luas, kira-kira bisa menampung 4 pasien. Namun baru mama dan seorang pasien lain yang menempati. Suasananya lumayan pengap, mama pun kegerahan, kulihat disamping mama ada kipas tradisional yang kugunakan untuk mengipasi mama guna mengurangi rasa gerah yang mendera mama. Aneh, aku sama sekali tidak merasa kelelahan ataupun pegal. Padahal kalau boleh jujur satu jam lebih aku terus mengipas-ngipasi mama tanpa henti. Ya Allah terimakasih atas kekuatan yang kau berikan.
“ ndak mama merasakan sakit ? ” tanyaku pada mama
“ nggak, Cuma kalau bergerak ada rasanya sakit dan perih ”
“ ya sudah kalau begitu jangan banyak gerak dulu dah ma ” ucapku sekenanya
Aku terus mengajak mama berbicara ringan sembari menyuapi beliau makanan namun tentu tidak terlalu sering. Aku hanya ingin mama rileks dan tidak merasa tertekan di rawat di rumah sakit. Karena seumur hidup baru kali ini beliau sampai dirawat di rumah sakit. Mama terlihat masih lemah. Sesekali wajah dan bibirnya kompak mengaduh, merintih, dan meringis kesakitan. Ketika mama seperti itu aku hanya bisa memegang tangan atau kepala mama, andai saja bisa aku rela sakit yang mama rasakan dipindahkan padaku. Aku rela dan sangat rela bathinku.
“ selamat pagi ibu hawa ” sapa seorang wanita paruh baya dengan ramahnya. Wanita itu sudah berumur menggunakan kacamata dan nampak keibuan. Ia salah seorang bidan sekaligus perawat senior di instalasi ibu dan bayi ini. Ia tersenyum dengan penuh ketulusan.
“ gimana ibu ? apa yang dirasakan sekarang ? ” perawat itu bertanya
“ kalau bergerak perut saya sakit, kayak ditusuk-tusuk ” mama menjelaskan
“ ohh,, itu wajar bu, kan ibu semalam sudah operasi besar, makanya wajar kalau sakit atau perih ibu, yang penting sekarang banyak makan, utamanya telur, karena telur itu akan membantu luka akibat jaitan di dalam tubuh ibu normal kembali, sudah makan ? ”
“ sudah, tapi nggak bisa masuk banyak ”
“ nggak apa-apa, bukan banyak ya bu, tapi seringnya, sedikit-sedikit tapi sering ” kata perawat tersebut sembari memeriksa infus mama
“ ibu latih terus miring kiri miring kanan ya bu, semampu ibu yang penting bergerak ”
  lho ? nggak apa-apa sering-sering bergerak sus ? ”  tanyaku keheranan, pasalnya saran sang suster dan saran yang kuberikan pada mama sangat berbeda.
“ ya nggak apa-apalah nak, justru kalau nggak bergerak nanti tubuh ibunya bisa kaku ”
“ ooo,,, gitu ” aku mulai mengerti, masuk akal juga apa kata perawat ini
“ aduh kamu izz, tadi malah suruh mama jangan banyak bergerak ” mama menyerangku, aku hanya bisa nyengir kalem
“ salah itu nak,, harus banyak bergerak yang benar ” kembali perawat tersebut menimpali sembari tersenyum padaku.
Beberapa saat kemudian pasien baru pun datang. Ia baru saja selesai operasi sesar. Normalnya pasien yang operasi sesar biasa perlu waktu maksimal 3 hari untuk diizinkan pulang. Tapi kalau yang sampai angkat rahim minimal 7 hari baru bisa pulang. Terbayang dalam benakku tidur, makan, sholat, dan segala aktifitasku selama 7 hari ke depan bahkan mungkin lebih akan berkutat di Rumah Sakit ini terus. Ah tak apa, yang penting kesembuhan dan kepulihan mama.
Oleh petugas mama dan pasien yang di samping dipindahkan ke ruang yang lain. Tepatnya di ruang isolasi. Ruangan tersebut cukup untuk dua pasien namun ada kamar mandi di dalamnya. Dari cerita yang ku peroleh ternyata pasien yang di samping mama ini penyakitnya lumayan berat juga. Selain baru selesai operasi sesar ia juga mengidap epilepsi dan ganguan syaraf. Rumah sakit sempat heboh ia buat ketika malam selesai operasi ia mengamuk karena kesakitan, walhasil ia  sempat di ikat kaki dan tangannya oleh petugas dan diberikan suntikan penenang. masyaAllah, aku tidak boleh biarkan mama sendirian di dalam ruangan, paling tidak kalau bukan aku harus ada bapak yang menjaga mama. Untuk antisipasi saja takut pasien itu kambuh ngamuknya. Dulunya aku selalu takut dekat dengan orang-orang yang sering ngamuk nggak jelas, entah karena sakit syaraf atau kesurupan namun sekarang sama sekali aku tak merasa takut, yang ada di pikiranku hanyalah keselamatan dan kesembuhan mama. Akan kulakukan apapun yang kubisa demi mama. Si kecil fahri bukan tak kami pedulikan, namun di ruang bayi sana ia di rawat dengan alat canggih, para perawat dan dokter anak yang setiap hari mengontrol kesehatannya. Fahri, mama , lekaas sembuh ya, kami menyayangi kalian.
Begitu banyak keluarga, kerabat, dan sahabat yang ingin menjenguk namun bapak melarang. Utamanya para pengajar di madrasah tempat bapak menjadi kepala sekolah. Alasan kami sederhana, kalau terlalu banyak yang menjenguk tentu akan mengganggu kenyamanan mama istirahat. Perawat pun mengatakan demikian, sebisa mungkin jangan terlalu banyak yang menjenguk. Karena kalau banyak yang menjenguk akan membuat ruangan pengap dan gerah sedangkan pasien perlu oksigen yang cukup untuk memperlancar proses penyembuhannya.
Hari-hariku di rumah sakit pun dimulai. Aku dan bapak yang selalu standby di sini menjaga mama. Sedangkan bibi setiap hari datang pagi dan pulang malam. Untuk menginap sangat tidak mungkin karena dia juga punyak tiga anak yang masih kecil-kecil di rumah. Beberapa kerabat terdekat pun tak bergeming ketika bapak menghalangi mereka menjenguk. Ia adalah Ustad H. Husnan Wadi SH, ustadku di pesantren yang juga menjadi pengacara kondang di provinsi ini, beliau menjenguk meskipun hanya bertemu dengan bapak. Ada pula ustad Agus dan istrinya ustazah Herlina. Dua sahabat bapak sekaligus murid bapak dulu, kata bapak ustad Agus lah sahabat beliau yang terbaik sedari dulu. Ketika keluarga kami mendapat masalah beliau selalu membantu tak kenal lelah, kini ia merantau di KLU sebagai PNS, istrinya pun PNS.
Ada juga orang tua dari sahabatku di pondok dulu, muja, yang juga sahabat bapak saat belajar di Ma’had Pancor. Kebetulan rumah mereka dekat dengan rumah sakit ini. bahkan ibunya muja pula yang menemaniku membawa mama ke ruang radiologi ketika hendak USG dan rontgen organ dalam. Keluarga dari Lombok Timur pun datang dan tak lupa dua orang sahabatku, Habib dan Dewi, mereka menyempatkan diri untuk menjenguk mama di rumah sakit.
Syukurku sudah tak bisa dibendung. Bersyukur memiliki keluarga yang sangat peduli seperti bibi kiki. Meskipun notabennya beliau adalah ipar mama tapi caranya merawat mama laksana merawat kakak kandung sendiri. Punya tetangga-tetangga yang tak kenal pamrih membantu kami, serta sahabat-sahabatku yang tak hanya ada di kala bahagia namun juga di saat cobaan datang menghampiri, seperti Habib dan Dewi. Kebaikan kalian hanya bisa dibalas oleh Allah SWT, terimakasih semuanya.
Tak terasa matahari mulai berpacu ke ufuk barat. Sebentar lagi ia akan tenggelam dari pelupuk mata untuk menyinari bagian lain bumi ini. mega merah mulai terlukis di hamparan langit senja. Teringat aku akan dua senja sebelum senja di hari ini. senja pertama aku kecapekan namun bahagia karena baru saja pulang ngetrip  dari pantai nipah, senja di hari kedua aku begitu sedih dan khawatir karena mama akan di operasi, khawatir dunia dan takdir tak bersahabat dengan harapan, dan senja hari ini, paling tidak aku bersyukur sekarang masih bisa bersama pahlawan hidupku dan setia merawat dan menemaninya. Beda senja beda cerita. Namun senja selalu menampilkan keindahan, begitupun cerita yang ia ciptakan.
Senja dua hari yang lalu memberikanku keindahan tentang pantai nipah. Riak ombaknya, sejuknya hembusan angin, bening air, pasir putih, dan kelezatan kulinernya memberikan keindahan yang nyaris sempurna. Hari kedua pun sebenarnya memberikan keindahan, keindahan akan kesadaranku bahwa cinta dan sayangku yang terbesar di dunia ini ku persembahkan untuk orangtua dan keluargaku. Tak hanya sadar namun aku bisa merasakannya. Tak kan kuduakan cinta pada orang tua dengan cinta yang lain. Mereka tetap jadi juara dalam hidup dan hatiku. Sedangkan senja hari ini menceritakan tentang keindahan rasa syukur seorang hamba yang lemah pada tuhan-Nya, sekaligus keindahan akan takdir hidup yang penuh dengan rahasia sang sutradara terbaik. Allah itu indah dan mencintai keindahan, dan bagiku, syukur pun adalah sebuah keindahan yang tiada tara. Aku membathin. Terima kasih senja atas keindahan dan kesyukuran yang kau berikan.
Detik terus berganti, rembulan dan bintang mulai terpajang di langit malam. Namun suasana tak banyak berubah, rumah sakit masih tetap ramai dengan pasien dan pengunjung, suhu dan iklim pun tak terlalu dingin bahkan masih ada sisi gerahnya. Yang berbeda hanya sekarang kami ditemani oleh nyamuk-nyamuk rumah sakit yang ukurannya bisa dikatakan jumbo. Namun anehnya nyamuk-nyamuk tidak mengigit kami, ia hanya hinggap dan tidak menyedot darah. Entah memang begitu atau hanya perasaanku saja.
Malam yang semakin indah tak seirama dengan kondisi mama. Tadi mama memang baik-baik saja, sakit yang ia rasakan pun masih bisa di tahan namun lama kelamaan mama sudah tak kuat lagi. Untuk makan saja tidak bisa masuk, jangankan makanan, minuman masuk mama langsung mual dan muntah. Aku begitu prihatin melihat kondisi mama, tapi apa yang aku dan bapak bisa perbuat ? hanya bisa menemani dengan setia dan menghapuskan muntahan mama dengan tisu. Sama sekali tidak ada rasa jijik yang ku rasakan. Aku yakin muntah-muntah ini akan menjadi saksi kesetiaan bapak sebagai suami dan kebaktianku sebagai anak pada mama.
“ ya Allah sakit izz, astagfirullah ” rintih mama. Aku tahu benar siapa kedua orangtuaku, mereka pantang mengeluh apalagi merintih ketika jatuh sakit. Namun apabila mereka merintih itu berarti sakit yang mereka rasakan begitu dahsyat. Bahkan airmata mama ikut mengalir ketika sakit yang menyerangnya bertambah berkali-kali lipat.
“ ya Allah, kenapa perut saya izz ? ini lebih sakit dari melahirkan kemarin ”
Bapak tak tahan, beliau segera keluar ruangan hendak memanggil suster. Beberapa menit kemudian bapak kembali bersama seorang suster muda dan cantik.
“ ibu kenapa bu ? ” tanyanya
“ dia sakit sekali katanya sus, lebih sakit dari melahirkan ” aku menjawab. Suster itu sempat terdiam melihat mama merintih terus
“ sudah dia makan ibu ini ? ” tanyanya padaku
“ nggak bisa masuk makanan sus, muntah aja kalau masuk ” jawabku
“ makan makanya bu, gimana mau sembuh kalau nggak makan, paksakan, kosong perutnya ibu itu makanya dia sakit ” ucap suster tersebut dengan nada marah-marah
Hampir saja aku mengumpat dalam hati. Nggak tahu apa orang lagi kesakitan malah di omel-omel. Suster itu pun berlalu keluar tanpa melakukan tindakan apapun pada mama. Aku hanya geleng-geleng kepala. Mukamu merah, tanganku sudah meninju, emosiku sudah sampai di ubun-ubun. Ore jamaq.
“ nggak usah dah pak panggil suster itu kalau dia kesini Cuma untuk ngomel-ngomel, nggak dia tahu sakit yang mama rasakan, suster apaan ” bapak hanya terdiam mendengarku. Ia terus menatap mama dengan tatapan iba. Bapak bingung bagaimana cara untuk bisa mengurangi sakit yang mama rasakan.
Sakit itu begitu sering datang, jarak 2 menit ketika mama sudah tenang pasti sakitnya mendera lagi. Walhasil sampai jam sebelas malam mama belum bisa tidur. Begitupun dengan aku dan bapak. Rintihan mama bagaikan alunan melodi menyakitkan nan memiriskan hatiku. Kasihan mama, semoga mama dikuatkan, pasti ada hikmah dibalik ini semua, pasti.
Pintu ruangan terbuka, suster senior yang tadi pagi merawat mama datang membawa jarum suntik. Setelah melihat kondisi mama ia pun menyuntikan injeksi pada infus mama, katanya obat pereda rasa nyeri. Sang suster berkata bahwa sakit yang dirasakan adalah sebuah hal yang wajar, biasanya hari pertama sampai hari ketiga. Suster itupun tak lupa kembali mengingatkan aku dan bapak supaya perut mama dijaga, jangan sampai kosong. Dalam hati aku membathin, lebih sulit suruh orang sakit makan daripada anak kecil. Kalau anak kecil kita akalin aja mereka pasti mau makan, tapi orang sakit, aduh mama sayange, sulit sangat. Begitupun dengan mama. Namun aku dan bapak terus bersabar dalam melayani mama. Semoga suntikan injeksi ini bisa mengurangi sakit yang mama rasakan, ammiinn

Bersambung....

Komentar

Postingan Populer