Air Mata Cinta



Hari terus berganti, tak terasa sudah cukup lama aku dan bapak tinggal di Rumah sakit. Banyak pengalaman yang kudapatkan juga kesan yang terpancarkan. Ada pengalaman baik dan buruk, serta kesan yang demikian pula. Saat hari-hari pertama kami disitu aku begitu sebal dengan perawat-perawat muda yang hobynya ngomelin pasien. Bagaimana pasien bisa sembuh kalau di omelin terus ? namun kian hari aku merasa hanya sebagian kecil perawat yang begitu. Yang lembut, telaten, peduli, dan keibuan justru jauh lebih banyak. Hatiku membathin, terima kasih para perawat, dokter, dan bidan, jasa kalian begitu besar, melalui perantara kalianlah dengan izin Allah aku yakin mama bisa sembuh.
Hari demi hari yang kulalui bersama bapak dan mama bukannya monoton. Selalu ada cerita, pengalaman baru, kesan, bahkan pelajaran hidup. Ada kalanya aku dan bapak sampai pada titik ketegangan maksimal ketika mama terkejang-kejang dan merintih tiada henti kala sakitnya mendera. Apalagi pasca operasi perut mama membesar, bahkan lebih besar dari ukuran perut orang hamil. Konon kata mama, rasanya juga lebih berat daripada saat beliau masih hamil. Jika rasa sakit tersebut datang maka injeksi melalu infuslah satu-satunya cara agar nyeri yang mama rasakan bisa berkurang, namun suster tidak berani memberikan injeksi terlalu sering, kata mereka takut over dosis.
Bahkan pernah suatu ketika mama merintih dengan sangat memelas. Jika sakitnya datang, beliau reflek memegang perut dengan kedua tangan, mata beliau terpejam, tubuhnya kejang, dan lisannya mengaduh. Bapak sudah berkali-kali menghubungi perawat namun perawat hanya ke sana menengok keadaan mama dan tidak mengambil tindakan apapun. Ketika itu aku sangat ingin memarahi perawat tersebut saking paniknya dan tak tega melihat mama merintih kesakitan, namun pikiran baikku segera menghampiri, percuma pake emosi, tidak akan menyelasaikan masalah malah sebaliknya.
“ ya Allah izz,,, bantu saya izz, sakit ” rintih mama. Kuusap kepala mama,
“ mama yang sabar ya ma, mama pasti kuat, mungkin ini efek dari operasi angkat rahim ” aku tak tahu mama bisa mendengarku atau tidak, pasalnya mata beliau terus terpejam tak pernah terbuka. Mungkin saking sakitnya
“ aduh pak,,,, sakit sekali pak,,, ” rintih mama lagi. Bapak hanya memegang tangan mama. Aku dan bapak sama-sama memasang wajah tegang. Kami sama-sama iba melihat mama sedang berjuang melawan sakitnya. Sebelumnya mama tak pernah merintih karena sakit, apalagi sampai mengeluh.
Mama terus memejamkan mata. Aku menatapnya dengan tatapan nanar. Tak terasa bulir-bulir dimata ini mulai membasahi pipi, aku pejamkan mataku berusaha membendungnya namun sia-sia. Aku tak kuasa, aku tak rela, aku tak sampai hati membiarkan mama harus menahan sakit berkepanjangan seperti ini, sudah berbelas-belas jam mama terus saja begini. energinya benar-benar terkuras oleh rasa sakit. Bapak tahu aku menangis, aku tatap bapak namun bapak hanya menunduk, sesekali kulihat mata bapak berkaca-kaca. Aku yakin seberapapun airmataku ingin keluar pasti airmata bapak jauh lebih banyak yang hendak keluar namun kedewasaannya seolah berusaha menahan agar airmata cinta itu tak jatuh di hadapan istri dan anak pertamanya.
“ pak ” desahku sedikit terisak. Bapak menatapku
“ saya ingat, dulu sewaktu hamil bapak selalu membacakan di perut mama al qur’an, coba bapak bacakan sekarang, kita berharap semoga bisa memberikan kekuatan kepada mama” Bapak tiada bergeming mendengar usulku. Tatapan nanarnya tertuju pada mama yang tergolok lemah. Bapak hela nafas panjang, sesekali bapak menunduk, mengatur nafas dan bersiap mengumpulkan suara. Baru saja membaca ta’awudz dan bismillah suara beliau sudah bergetar karena kedewasaan bapak menahan airmata  kalah dengan rasa cinta pada mama. Airmataku terus membanjiri pipi ini. bayangkan, anak mana yang tak sedih melihat ibunya kesakitan bagaikan antara hidup dan mati dibacakan ayat al qur’an dengan iringan airmata oleh bapak.
Airmata tiada henti mengalir. Kuberikan isyarat pada bapak untuk berhenti membaca ayat suci al qur’an. Aku menggantikan posisi beliau, bapak pun mundur beberapa langkah sejajar dengan bibik yang juga kebingungan harus dengan apa membantu meringankan sakit yang dirasa sang kakak ipar. Aku kini berada di samping mama, duduk diranjang beliau. Sebelumnya aku berdiri di samping ranjang bagian kepala beliau. Lisanku mengalunkan lafadz ta’awudz lalu diiringi basmalah dengan suara bergetar
“ tilkal rusulu faddholna ba’dhohum ‘ala ba’din minhum man kallamallhu wa rofa’a ba’dhohum darojat...” kulantunkan ayat pertama juz 3 mushaf al qur’an. Kebetulan saat ini hafalanku baru sampai pada juz 3 pertengahan, tepatnya baru memulai surat ali imran. Kubaca kalam ilahi tersebut dengan penuh khidmat. Untuk pertama kalinya aku mengaji berderai airmata. Ketika ayat terpanjang dalam al quran sudah kulewati maka sampailah pada bagian terakhir al baqarah, disitulah mama merintih kembali. Suara beliau terdengar jelis di telinga ini.
“ ya Allah, ndak saya kuat,, aduhhh,,,sakittt,, ya Allah “
Ku gengam tangan mama, mulutku tepat di hadapan perut mama yang membesar. Saat al baqarah sudah selesai kubaca tak serta merta kulanjutkan ke surat ali imran, melainkan bagian akhir al baqarah ku ulangi terutama lafadz laa yukallifullahu nafsan illa ‘uswaha ( Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya ). Aku berharap ayat tersebut bisa memberi mama motivasi bahwa beliau mampu menghadapi ini semua.
Dari luar ruangan orang-orang yang berlalu lalang di ruang isolasi selalu mencoba menengok ke dalam ruangan. Mereka penasaran karena suaraku yang melantunkan al quran dengan terisak terdengar sampai keluar. Sedangkan mama sendiri, terus terpejam, ia tak sanggup membuka mata, saat sakit menyerang beliau hanya dua wajah yang tergambar dalam bayangannya, yakni wajah yati dan aliya, dua orang adik perempuanku. Mama begitu merindukan mereka, mama tak tega jika ia harus meninggalkan yati dan aliya terlalu cepat. Mereka masih butuh kasih sayang.
Lantunan al quran yang kubaca di dengar mama, namun untuk membuka mata begitu berat terasa. Anehnya bukan gelap yang mama lihat melainkan cahaya putih, sangat putih. Kembali wajah yati dan aliya terbayang, dalam hati mama bertanya ya Allah, sudah tibakah waktuku ? astagfirullahal ‘adzim, astagfirullahal ‘adzim. Mama merasa seperti berada di tempat lain, pasalnya tidak ada yang bisa ia lihat kecuali cahaya putih di semua penjuru dan bayangan wajah dua orang adikku di rumah. Hanya mama yang bisa merasakannya.
Aku, bapak, dan bibik semakin khawatir dengan kondisi mama. Entah mengigau atau sadar mama sesekali berkata “ mana bapakmu izz ? ” lalu kuberitahu mama bahwa bapak ada di sini, bapak mendengarnya dan mendekat ke arah mama. Masih dengan mata terpejam mama berusaha meraih tangan bapak dan menggenggamnya kuat.
“ pak, maafkan semua salah saya, saya nggak kuat ” saat mendengar mama berbicara seperti itu aku hanya tertunduk lesu dan menangis sejadi-jadinya. Tak sanggup rasanya aku menghadapi semuanya. Ya Allah, seandainya bisa, tukarlah nyawaku untuk mama ya Allah, aku rela melakukan apapun demi mama hatiku merintih. Bapak mengusap kepala mama, beliau lalu menguatkan mama “ nggak usah ngomong gitu, kamu pasti sembuh ” mata bapak kembali berkaca-kaca.
“ permisi bapak, bisa kami periksa ibunya ” kata seorang perawat sembari menepuk pundakku yang masih tertunduk berderai airmata. Aku pun bangkit memberikan ruang suster senior itu memeriksa mama. Ia di dampingi dua orang suster lain. Akhirnya mama pun diberikan suntikan injeksi lagi.
Pasca diberikan suntikan injeksi alhamdulillah mama sudah bisa lebih tenang, sakitnya masih terasa namun tidak terlalu nyeri dan tidak sesering sebelumnya. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah. Aku yakin hatiku dan hati bapak sama-sama kompak bersyukur . perlahan mama mulai bisa membuka matanya, ternyata Allah masih memberi saya kesempatan, terima kasih ya Allah, bathin mama. Ketika itu aku dan bapak terus berada di sisi mama, menjaga dengan penuh cinta, perhatian yang totalitas, dan harapan yang tinggi menjulang demi kesehatan mama. Dek fahri, apakabar kamu di sana?, suatu saat nanti kakak akan ceritakan betapa kau buat mama kesakitan sampai bertaruh nyawa, awas kalau jadi anak nakal besok ya, aku membathin.
Suatu ketika pernah juga saat seorang suster masuk untuk check tensi alias tekanan darah mama. Aku dan suster kaget karena tekanan darah mama begitu tinggi, pernah sampai 130 bahkan 150.
“ kok bisa sampai segitu tingginya, sus ? ” tanyaku pada suster berhijab itu. Mukanya oval, matanya bundar nan indah, alisnya begitu rapi, kulitnya lumayan putih, ah, intinya dia cantik lah.
“ mungkin karena ibunya kurang makan, kurang istirhat, atau banyak pikiran ” jelas suster cantik itu.
“ mama banyak pikiran ? apa yang mama pikirin ? ” tanyaku pada mama, suster itu pun masih bisa mendengarku yang bertanya.
“ mana bisa kita nggak mikir izz ” jawab mama sembari  menatap kosong ke langit-langit rumah sakit
“ jangan terlalu banyak mikir ya bu, rileks saja ” kata suster itu seraya pamit keluar ruangan.
Aku yakin pasti ada yang mama pikirkan dengan keras sehingga tensi beliau naik. Kurang makan memang iya, kurang istirahat juga aku tahu, tapi banyak pikiran. Apa yang mama pikirkan kira-kira ? hatiku bertanya. Berulang kali  ku coba tanya pada mama namun mama masih enggan mengatakannya padaku. Aku tak putus asa, biar bagaimanapun aku harus bisa membuat mama curhat padaku. Dari dulu orang lain terus yang curhat padaku, saat ini mama harus bisa curhat padaku, harus.
“ ayo dong ma cerita, biar mama bisa berkurang beban pikirannya ” mama tetap tak bergeming.
“ apa mama mikirin papuq tuan yang kepengen ke lotim terus dan enggan temeni mama di sini ? ” aku coba menerka. Mama menggeleng.
 “ mama pikirin biaya rumah sakit ? ” mama kembali menggeleng. Aku pun terdiam.
Hening
“ yang saya pikirin kapan saya sembuh, kasihan kamu dan bapakmu capek urus saya, terutama bapakmu, padahal dia lagi sakit ” tiba-tiba mama memecah keheningan. Aku kaget mendengar kejujuran mama, sama sekali tak kusangka ternyata yang dipikirkan mama adalah aku dan bapak, beliau merasa merepotkan kami beruda ? oh sungguh pikiran yang salah ma gerutuku dalam hati. Kulihat bulir-bulir airmata mulai keluar dari mata mama. Saat itu bapak sedang di luar ruangan, aku yang menemani mama. Ku husap airmata mama, entah kenapa aku juga terasa ingin menangis namun kutahan saja
“ ma, saya sama bapak sama sekali nggak merasa capek, 19 tahun saya hidup mama terus yang urus saya, ketika saya sakit, lemah, nggak bisa ngapa-ngapain mama yang urus saya tanpa lelah, dan saat ini biarkan saya yang urus mama sama bapak, selama ini mama sudah jadi yang terbaik bagi saya dan adik-adik, mama juga jadi yang terbaik bagi bapak, jadi nggak ada istilah capek ma, saya sama bapak tidak pernah merasa direpotkan, kami hadir di sini, di samping mama karena cinta dan sayang kami sama mama, ini wujud kebaktian saya sebagai anak, dan kesetian bapak sebagai suami, mama jangan pikirin lagi ya ma, kami sayang mama, kami mencintai mama ” ku kecup kening mama.
 “ mama jangan mikir banyak lagi ya, semuanya akan baik-baik saja ” ucapku seraya mengusap bulir-bulir airmata yang membasahi wajah beliau. Dalam hati ku ulangi kata-kataku tadi, kami sayang mama, kami cinta mama, semuanya akan baik-baik saja

Bersambung...

Komentar

Postingan Populer