Detik-Detik Penentuan
Di hari ke
empat entah darimana kekuatan itu datang menghampiri mama. Beliau ingin melihat
si kecil fahri. Jagoan kami yang membuat mama mempertaruhkan nyawanya tempo
hari. Sebelumnya aku khawatir jika mama terlalu memaksakan diri ke ruang bayi
yang jaraknya memang tidak jauh dari kami. Namun bapak dan bibi justru
memotivasi mama untuk melihat si kecil. Aku ingat ketika itu bibi bilang padaku
“ izz, mamamu itu sisi emosionalnya sensitif, yakin saja nanti kalau mamau udah
ketemu si fahri dia pasti makin bersemangat untuk sembuh ”
Aku
mengantar mama hanya sampai depan ruang bayi. Di pintu ruangan yang rame dengan
tangisin makhluk-makhluk baru penghuni bumi itu tertuliskan sebuah notifikasi “
selain perawat dan ibu bayi di larang masuk ”. apa boleh buat, aku hanya bisa
mengintip dari luar ruangan. Bapak dan bibi menunggu tak jauh dari tempatku
berdiri.
“ ibu mau
ngapain bu ? ” tanya seorang suster
“ mau liat
anak saya ”
“ nama ibu
siapa ? ”
“ ibu hawa ”
memang selama di rumah sakit mama selalu di panggil ibu hawa, nama depan beliau
“ oh, side
ibu hawa ? mari bu, saya antarkan ke keranjang anaknya ” kata suster itu
antusias.
“ kenapa
baru sekarang di jenguk anaknya bu ? anak ibu ini yang paling rewel kalau
lapar, untuk sementara kita kasih susu formula, kalau bayi lain biasanya satu
dot, tapi kalau anak ibu ini bisa sampai dua bahkan tiga dot, insyaAllah
sebentar lagi sehat anak side ini bu, ganteng anak side ” terang suster
tersebut seraya mengangkat si kecil dari ranjangnya dan memberikannya kepada
mama untuk dipangku.
Fahri
bergerak, ia terbangun dan menangis. Ah, bukan anak kecil namanya kalau tidak
menangis. Meskipun ASI mama belum banyak namun mama berniat memberikan fahri
ASI saat itu juga. Fahri repleks membuka mulutnya seraya mencari-cari sumber
makanannya selagi ia masih kecil. Baru beberapa saat diberi ASI tiba-tiba ia
berhenti ingin menyusu, matanya terbuka, mata yang begitu indah, cahaya
kebaikan terpancar dari situ, mata si kecil fahri fokus pada sosok wanita yang
kini tengah memangkunya. Mama pun tersenyum pada fahri, ia mengajak fahri
berbicara ringan yang tentu fahri belum bisa mengerti maksudnya apa. Suster
yang tadi membantu mama tersenyum melihat apa yang fahri lakukan.
“ dia kangen
sama ibunya, sudah berapa hari nggak ketemu ya ” ia juga seolah-olah berbicara
pada fahri
“ ia, sejak
baru lahir baru sekarang bisa melihatnya sus ”
“ cepat
sembuh ya bu, saya tinggal dulu, nanti kalau butuh apa-apa panggil saya atau
suster yang lain ”
“ terima
kasih sus ”
Hari itu
untuk pertama kalinya mama melihat jagoan barunya dan fahri melihat ibundanya.
Aku, bapak, dan bibi sama-sama lega menyaksikan mama dan fahri begitu kuat
ikatan bathinnya. Kami yakin mama dan fahri akan segera sembuh.
Benar saja,
berangsur-angsur sejak bertemu dengan fahri kondisi mama semakin membaik, meskipun rasa sakit
diperut belum hilang namun sekarang jauh lebih baik daripada beberapa waktu
lalu. Melihat kondisi mama yang sudah semakin membaik barulah aku dan bapak
bisa mengurangi ketegangan kami. Bahkan menurut para suster mama sebenarnya
sudah sembuh, namun untuk pulang tentu harus dapat izin dokter dulu.
Mama pun
menyarankan aku dan bapak untuk keluar jalan-jalan di lingkungan rumah sakit,
jangan di dalam kamar pasien terus. Hitung-hitung refreshing kata mama.
Kebetulan beberapa waktu yang lalu juga mama sudah dipindahkan ke ruangan yang
lain bergabung dengan pasien lain dan pasien epilespi itu pun dibiarkan seorang
diri di sana. Ia memang membutuhkan perawatan lebih intensif.
Memasuki
hari keenam bapakpun sudah terlihat tidak terlalu pucat. Pernah aku dan bapak
pergi ke salah satu bagian di rumah sakit, tepatnya di koridor yang agak sepi
namun sejuk. Rencananya kami hendak tidur siang bersama. Tapi sebelumnya aku diminta oleh bapak memijat kakinya.
Entah pijatanku enak atau tidak namun aku memang kerap memijat kaki bapak.
Ketika bapak sudah tertidur akupun coba tiduran di samping beliau. Beralaskan
tikar dan bertemankan alam bebas kamipun terlelap.
Saat
terbangun dari tidur aku kaget luar biasa bapak sudah tidak tidur disampingku. Kemana
bapak ? pikirku, jangan-jangan ia diculik aliens dan dibawa ke planet
pluto dan diangkat jadi kepala sekolah makhluk luar angkasa disana ? hehe,
nampaknya rasa ngantukku masih menghalangi akal sehat ini datang. Ku tengok
sendal bapak tidak ada, beliau pasti sudah ke ruangan mama duluan. Baiklah, aku
pun tidur lagi untuk beberapa menit. Baru nanti aku menyusul masuk membawa
serta tikar ini.
Ada sebuah
pengalaman yang kualami selama di rumah sakit. Entah ini pengalaman baik atau
buruk. Kala itu aku begitu letih, sedikit pusing, dan mata terasa berat.
Kesimpulannya aku butuh istirahat meskipun hanya sejenak. Alhamdulillah ada
kesempatan untuk beristirahat, mama dijaga oleh bapak dan aku pergi ke mushola
rumah sakit yang berada di ujung timur. Setelah sholat duha 4 rakaat, ku
hamparkan sajadah, lalu aku tidur di atasnya.
Entah aku
kini berada dimana, yang pasti di hadapanku ada seorang wanita bening berambut
panjang hitam berkilau persis bintang iklan shampo yang ada di TV itu. Ia
mengenakan pakaian yang sopan namun tidak berhijab. Siapa kira-kira dia ?
kenapa aku bisa ada di sini ? eh tapi kok dia cantik juga ya ?, ku tatap wanita
itu dari ujung kepala sampai kaki, subhanaAllah, sempurna, dibilang kurus
sepertiku tidak, gemuk pun nggak. Proporsional untuk ukuran seorang wanita.
Bentuk tubuhnya laksana pramugari airasia cantik yang pernah ku temui ketika
penerbangan dari Surabaya menuju Lombok yang sampai saat ini aku belum tahu
namanya siapa.
Singkat
cerita wanita tersebut memperlakukanku dengan sangat lembut dan membuatku
serasa terbang ke awang-awang saking keenakannya, hehe. Dan tiba-tiba aku pun
terbangun. Ku tengok sekeliling dan ternyata aku masih di mushola rumah sakit.
Kemana wanita tadi ? kok cepet banget perginya ? sebentar ? kok dibagian bawah
serasa ada yang basah ? astaga,,, aku mimpi ? mimpi basah ? iya bener
basah cendrung becek. Ya ampun. Kutengok jam dinding menunjukkan pukul 10:00.
Satu hal yang membuatku bingung, nanti aku mandi di mana ? di ruangan tempat mama di rawat
memang ada kamar mandi, tapi masak mandi siang-siang ? ah sudahlah, terima
kasih ya Allah, apa yang kutemui di mimpi itu hitung-hitung sebagai refreshing
sajalah. Sampai sekarang kadnag-kadang aku nggak habis pikir, kok bisa-bisanya
aku mimpi basah di mushola rumah sakit ? padahal berfikir ke arah hubungan
suami istri pun selama di rumah sakit tak pernah terbersit. Udahlah, aku anggap
bonus dari Allah biar nggak bosan. Hehe.
Singkat
ceritanya di hari ketujuh fahri oleh dokter anak resmi dikatakan sehat. Namun
saran dokter lebih baik dibiarkan saja di ruangan bayi supaya lebih terjaga.
Kamipun setuju, sekarang tinggal mama saja. Jika mama sudah dikatakan sehat
oleh dokter maka kamipun bisa pulang. Diantara kami tentu mama yang paling
ingin pulang, sudah sering kali aku mendengar keluhan dan keinginan mama untuk
segera pulang dari rumah sakit. Katanya mama sudah nggak betah di rumah sakit
dan berharap jangan sampai di hari esok masuk rumah sakit lagi. Aaamiiinnn...
Sebenarnya
kemarin oleh dokter kandungan dan bidan, mama sudah dinyatakan sehat. Namun
untuk bisa pulang mama tak cukup izin dari dokter kandungan dan bidan saja, dokter
bedah juga harus memberikan izin. Karena jahitan bekas operasi angkat rahim
mama adalah tanggung jawabnya. Hari ini sebenarnya kami dijanjikan bertemu
dengan sang dokter bedah namun apa hendak dikata, sang dokter tidak bisa datang
hari ini, kami di PHPin. Pihak rumah sakit pun menjanjikan kami bertemu dengan
pak dokter di keesokan harinya.
Kami semua
sempat deg-degan karena menurut beberapa bidan ada kemungkinan di perut mama
terdapat sebuah penyakit yang namanya aku lupa. Dalam hati aku bergeming ini
bidan sok tahu, asal nebak, dokter aja belum bilang apa-apa kok. Seandainya
penyakit itu ada konon mama harus operasi lagi. Ya Allah,kami mohon,
lancarkanlah segalanya, tolong jangan sampai mama operasi lagi, berikanlah
kesehatan kepada kami semua, utamanya mama, bapak, dan adek fahri dalam
hati aku memohon.
Keesokan
harinya aku bapak dan mama berangkat menuju poliklinik ditemani seorang perawat
senior. Kami hendak menemui dokter bedah. Aku mendorong kursi roda mama, kami
harap-harap cemas, sekaranglah penentuannya. Keteganganku terasa lebih dahsyat
daripada ketegangan kala menyaksikan final sepakbola tim jagoanku yang harus
diakhiri lewat adu finalti. Inilah detik-detik penentuan, Apakah hari ini kami bisa pulang ? atau aku
harus tidur lagi di koridor rumah sakit bercumbu dengan dinginnya angin malam ?
kita lihat saja nanti.
Bapak, mama,
dan perawat tersebut masuk ke ruang dokter bedah. Aku menunggu di luar
disamping kursi roda. Tak lama mereka pun keluar. Mama keluar dengan wajah cerah,
bapakpun senyam senyum tiada henti, belum sempat aku angkat suara bapak lebih
dahulu berkata “ telpon taksi izz ! hari ini kita pulang! ”
“ serius ?
serius ma ? dikasih pulang sama dokter ? ” tanyaku kegirangan
“ iya, kamu
ini heboh sekali ! ” mama nyolot
“ hehe,
saking senengnya, ma, alhamdulillah,,, hehe,, ayo ma, naik kursi roda, kita
siap-siap go home ” ucapku semangat. Perawat itu hanya senyum-senyum melihat
tingkah lakuku yang kegirangan. Dalam
hati aku tiada henti bersyukur, namun aku sadar, pulang dari rumah sakit bukan
berarti tugas menjaga mama usai, mama masih perlu perawatan untuk proses
pemulihannya secara total. Bapak, aku, bibik, dan seluruh keluarga siap selalu
untuk menjaga mama.
Hari itu
sembari menunggu taksi aku membeli seporsi bakso di depan rumah sakit, untuk
pertama kalinya sejak 8 hari terakhir aku bisa makan dengan penuh khidmat dan
nikmat. Mentari terus menapaki langit dunia, teriknya membakar kalori
mengeluarkan peluh dari dalam raga. Semilir angin dengan begitu lembut menyentuh
relung jiwa, merangsang syaraf-syaraf seluruh semesta untuk bersyukur tiada
tara pada Allah tuhan pencipta rasa cinta dengan cinta-Nya.
Aku yakin
ini semua terjadi karena takdir-Nya. Kami harus bisa mengambil hikmah di balik ini
semua. hatiku tiada henti membathin semoga kami menjadi keluarga yang
sakinah mawaddah warahmah, semoga aku dan adik-adikku terus bisa menjadi
anak yang berbakti pada orangtua. Dan tentunya aku pribadi berharap bisa
menjadi sosok yang lebih baik dari hari ini sampai seterusnya, karena aku tak
hanya seorang anak saja, melainkan lelaki yang bertanggung jawab, kakak tertua,
dan tentunya calon pemimpin di masa depan, minimal untuk keluargaku. Saat itu
aku bergumam sembari senyum-senyum sendiri, siapapun istriku nanti, ia selain mencintaiku
harus pula mencintai keluargaku, jika ia tak mau akupun tak bersedia
menerimanya. Saat ini, keluarga yang utama.
^_^
Selesai
ditulis di Bermi-Pancor Lombok Timur
Senin, 23
Maret 2015
17:58 WITA
ada sesuatu yg menggelikan.... jdi tertawa >.<
BalasHapus...
Great dek..
"3 Hal yang tak boleh kau korbankan untuk cinta: agama, harga diri dan keluarga." (Syiffanis Amaar/Novelis: Serambi Cinta di Negeri Cahaya) ^_^