isakan adikku



Aku, bapak, ibu bidan, dan tentunya mama sudah berada dalam ruang persalinan. Mama tidur menyamping menghadap kiri. Tak henti ia mengeluh sakit. Raut wajahnya nampak begitu lelah, sedangkan pembukaannya belum sempurna. Ya Allah, semoga mama kuat doaku dalam hati. Bapak meskipun dalam kondisi tidak fit terus mendampingi mama. Semakin lama semakin menjadi saja rasa sakit yang dirasakan mama. Mama merintih, nafasnya tertahan, tubuhnya bergetar, tumben aku melihat ekspresi sakit sesakit itu.
Bapakpun memberikan isyarat kepadaku untuk keluar dari ruang persalinan. Aku harus menjemput dua adikku yang masih SD dan papuq tuan ke polindes. Meskipun hujan mengiringi perjalananku melajukan motor aku terus saja berjalan, untung ada jas hujan. Selepas menjemput yati dan aliya ( adikku, dua-duanya wanita ) aku membawa mereka pulang dulu untuk ganti pakaian dan menjemput papuq tuan.
Butuh beberapa menit saja yati dan aliya sudah siap berangkat. Lain halnya dengan papuq tuan. Beliau orangnya memang religius, solatnya rajin dan zikirnya itu panjaaaaanngg banget. Tapi dalam keadaan darurat seperti ini harusnya bisa dipercepat sedikit lah. Untuk menegur beliau pun aku malu. Memang nasib jadi cucu. Aku hanya diam dan bersabar menanti papuq tuan selesai dengan zikir dan doanya. Aku terburu-buru bukan tanpa sebab, aku hanya ingin cepat-cepat berada di samping mama dan bapak. Mungkin aku memang tak bisa membantu apa-apa tapi paling tidak aku ingin stand by berada disamping orang-orang yang paling berjasa dan paling ku cinta dalam hidup ini.
Setelah papuq tuan siap kami pun berangkat. Gerimis masih setia turun dari atas. Ku lajukan motor dengan sedikit ngebut. Walhasil papuq tuan pun marah-marah, namun entah darimana insting burukku datang, semakin  papuq tuan marah semakin menjadi-jadi aku menarik gas motorku, suara papuq tuan kalah dengan gemericik angin dan lantunan mesin motor ini. Terserahlah, kalau marah silahkan marah papuq tuan, ini kondisinya lagi darurat.
Sesampai di polindes aku dan papuq tuan langsung masuk. Dua adikku menunggu di luar. Tapi bapak kembali mengisyaratkan ku untuk keluar dari ruang bersalin. Mungkin beliau menganggap sekarang ada papuk tuan yang menemani. Baiklah, kasihan juga yati aliya nggak ada temennya diluar, pikirku. Selang beberapa menit kemudian kulihat paman dan bibi datang jua ke polindes, mereka jauh-jauh datang dari mataram. Dalam hati aku bersyukur, diberikan keluarga yang peduli satu sama lain di saat banyak sekali orang yang justru bersitegang dengan keluarga mereka sendiri.
di atas dipan persalinan mama masih terus merintih kesakitan. Kata bidan pembukaannya sudah sempurna. Harusnya sebentar lagi bayinya keluar. Tiba-tiba orang-orang yang di ruangan itu terkejut dengan suara benturan di tembok yang tak terlalu keras namun mengejutkan. Semua menatap ke arah datangnya suara. Ya ampun bapak oleng dan hampir jatuh. Pasti beliau capek berdiri dan pusing sekali. Ibu bidan akhirnya memberi bapak sebuah kursi agar ia bisa duduk. Mama menyaksikan kejadian itu, dalam hati mama mengiba pada bapak yang kurang sehat namun masih saja mendampingi mama, aku yakin dalam hati mama pasti sangat bersyukur mendapatkan suami seperti bapak.
Beberapa saat kemudian ibu bidan mengambil sebuah keputusan yang tumben aku dengar. Ia hendak menggunting ketuban mama supaya pecah, karena menurut perkiraan bidan, jika ketuban sudah pecah maka anak akan gampang keluarnya. Spontan mama mengiyakan, mama sudah tidak tahan dengan rasa sakitnya sehingga beliau ingin secepat mungkin adik bayi lahir dan berhenti merasakan sakit. Ibu bidan pun menggunting ketuban mama, air ketuban pun keluar namun sayang ada tonjolan yang masih menghalangi bayi untuk keluar. Kata bidan ada pembengkakan. Mama pun disuruh miring kiri supaya pembengkakannya berkurang.
Mama mulai kehabisan tenaga. Bu bidan menyarankan supaya mama mengisi perutnya dengan nasi. Setelah dibelikan nasi bungkus aku pun menyuapi mama bergantian dengan bapak. Tapi memang aneh, orang lagi kesakitan disuruh makan, jadinya separuh nasi bungkus itu pun tak habis. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 14:00 siang. Dan sampai sekarang mama masih terus kesakitan tanpa ada hasil karena bayinya belum juga keluar. Dalam hati aku berkata adik bayi, cepetan keluar ya, mama udah kesakitan sekali, kasihan mama, terus nanti kalau kamu sudah lahir jangan jadi anak yang nakal dan ngelawan orang tua ya, kakakmu ini menjadi saksi pertaruhan nyawa seorang ibu dan perjuangan seorang bapak untuk anak-anaknya, kami menantimu jagoan
Kembali aku disuruh diluar oleh bapak, di dalam mama ditemani bapak, papuq tuan, bibik, ibu bidan, serta seorang tetanggaku yang begitu baik, namanya papuq saite. Sedangkan aku bersama adik-adikku dan paman menunggu diluar. Ku lihat wajah adik-adikku, yati terlihat sedikit tegang namun berusaha menutupi ketegangannya. Aku pun duduk diantara mereka berdua lalu memberikan mereka nasihat “ yati, aliya, liat sendiri kan perjuangan mama dan bapak dalam melahirkan kita, nggak Cuma mama yang kesakitan tapi bapak juga pasti merasakan, jadi kita sebagai anak nggak boleh ngelawan sama orang tua ya ” mereka hanya menjawab singkat, “ iyaa ”
Pintu terbuka, kulihat papuq saite keluar dari ruang bersalin, ia menghampiriku dan mengajakku untuk meminta air pada salah seorang tetua di kampungku. Biasanya orang yang sulit melahirkan setelah dimintakan air pasti akan menjadi lancar. Aku tak pikir panjang, langsung ku bonceng papuq saite untuk pergi ke rumah orang itu. Dalam hati aku terus bersyukur diberikan tetanga-tetangga yang peduli, seperti papuq saite.
Selama dalam perjalanan meminta air itu entah darimana datangnya aku terinspirasi untuk memberikan nama adikku ini Abdul Hamid Akbar. Nanti kalau ada waktu yang tepat aku akan usulkan pada bapak. Abdul tentu merujuk pada sabda nabi, sebaik-baik nama adalah Muhammad, Ahmad, atau Abdun. Nama muhammad sendiri sudah aku yang duluan gunakan, jadi tinggal abdun yang belum. Meskipun nanti resikonya kalau ia sekolah absennya pasti paling atas. Tak apalah. Hamid selain maknanya orang yang selalu memuji kebesaran tuhan-Nya juga ia terambil dari akar kata yang sama dengan nama bapak. Sama-sama terambil dari akar kata hamida. Dan Akbar isim tafdil artinya paling besar. Selain maknanya yang baik akbar ini juga mewakili filosofi perjuangan mama. Karena aku ingat diruang persalinan mama sempat berkata “ tumben saya melahirkan sesakit ini, ini perjuangan saya yang paling besar sewaktu melahirkan ”.
15 menit kemudian kami kembali ke polindes. Kulihat bapak berada di luar, yang lain masih di dalam. Papuq saite segera masuk untuk menyerahkan air itu pada mama. Aku menghampiri bapak, wajahnya terlihat tegang dan pucat “ bagaimana pak keadaan mama ? ”. bapak tak menatapku, ia menjawab singkat “ kita rujuk ke rumah sakit ”
“ hah ? rumah sakit ? rumah sakit gerung kah ? ” tanyaku kaget
“ iya ”
“ kenapa nggak rumah sakit mataram saja pak yang lebih dekat, kasihan mama ”
“ aturannya sudah begitu, rujukannya harus ke rumah sakit kabupaten bukan provinsi, itu kata ibu bidan ”
Ya ampun, Gerung yang merupakan ibukota kabupaten Lombok Barat lebih jauh jika dibandingkan dengan Mataram. Tapi mau gimana lagi. Inilah aturan yang harus kami patuhi apalagi rumah sakit yang akan kami tuju adalah rumah sakit milik pemerintah. Aku dan paman mengantar adik-adikku pulang dulu ke rumah. Selanjutnya paman balik lebih dulu ke polindes. Paman sempat bilang pada adik-adikku “ yati aliya, jangan lupa doakan mama terus ya ” , adik-adikku hanya mengangguk. Aku sendiri mempersiapkan segalanya, helm, jaket, SIM STNK dan seluruh uang yang kumiliki kuletakkan dalam dompet.
Ketika hendak keluar rumah aku menyalami aliya, adikku yang paling kecil, aku peluk dia dan menciumnya. “ kak izz mau anter mama dulu ya, nanti malam kak izz pulang kok, nanti kalau ada apa-apa telpon ya ” aliya mengangguk. Aku kemudian mencari-cari yati . ku temukan ia sedang berbalutkan mukenahnya. Ada yang aneh aku lihat, ia sholat begitu lama. Biasanya pasti ngebut atau main-main. Aku melangkah sepelan mungkin sampai langkah kakiku tak bisa ia dengar. Atau saking khusu’nya ia sampai tak menyadari kehadiranku di belakangnya. Ketika ia selesai sholat aku langsung duduk di hadapannya. Yati menunduk, ku sapa ia lembut “ yati kenapa ? ” pertanyaan yang konyol. Dari bahasa tubuh yati aku tahu ia tengah menahan sesuatu. Ia tengah menahan tangis.
Ku lepas helm yang ku pegang dan ku rangkul erat tubuh mungilnya. Tepat di pundakku ia menangis. Aku pun ikut menangis dalam pelukan erat kami. Untuk beberapa saat aku tak bisa mengggerakkan lidah untuk berkata. Tapi aku sadar, aku harus bisa menenangkan yati sebagai kakak. Ku lepas pelukanku, satu tanganku masih membelai kepalanya dan satunya lagi mengusap airmata yang membasahi pipinya. Dengan suara yang terisak aku coba memberikan ia pengertian.
“ yati, doakan mama ya, kita harus yakin Allah kasih mama ujian kayak gini itu tandanya mama bisa menghadapinya.  Yati sama aliya jangan ikut dulu, diem di rumah ya,, nanti kalau mama sudah baikan yati dan aliya pasti kakak ajak jenguk mama, sayang kan sama mama? ”
Yati mengangguk sambil terus menangis. Kurangkul ia kembali
“ kalau sayang kita nggak boleh nakal ya. Kita harus yakin mama pasti selamat, adik bayi juga, nanti di rumah sakit ada bidan yang lebih ahli dan dokter yang lebih hebat, yati berdoa ya, jangan nangis lagi ! sekarang kak izz tinggalin yati aliya sebentar, nanti malam kak izz pulang kok, itu ada HP kakak tinggalin satu, kalau ada apa-apa telpon ya ”
Tangisnya  pun bisa sedikit mereda. Setelah yati tenang dan memastikan aliya juga baik-baik aku pun pergi ke salah seorang tetanggaku untuk menitip yati dan aliya. Alhamdulillah tetangga-tetanggaku orangnya baik semua. Setelah memastikan semuanya baik aku pun berangkat menuju polindes. Aku langsung menuju ruangan tempat mama masih terbaring kesakitan. Kulihat mama sudah dipasangkan infus. Aku hampiri mama, aku cium tangan dan keningnya mama. Mama hanya berkata dengan suara yang parau “ doakan saya izz ”, ku genggam tangan mama kuat, aku cium dengan penuh cinta tangan mama, tangan yang selama ini terus memberikanku kebaikan demi kebaikan, tangan yang tak bosan-bosannya menengadah ke langit tuhan untuk mendoakan anak-anaknya. Tangan yang paling harus aku hormati dan aku jaga. “ kita semua mendoakan mama, mama pasti kuat ”
“ mana ambulannya izz ? saya sudah nggak tahan ” suara mama semakin parau. Ingin aku menangis sejadi-jadinya mendengar mama berkata seperti itu. “ sebentar lagi ma, ambulannya sedang di jalan ” aku mencoba menjelaskan. Sesekali jika sakitnya tidak datang mama tak hentinya berzikir, tahlil takbir, hauqolah serta istigfar mama baca tiada henti. Aku pun berdoa dalam hati.
Akhirnya ambulan pun datang, segera kami membawa mama ke dalam ambulan. Semua orang menemani mama dalam ambulan kecuali aku dan paman yang bawa motor sendiri-sendiri. Papuq saite tetangga kami yang baik hatinya pulang dan tak lupa aku titip lagi yati dan aliya padanya. Suara sirine bernadakan gawat darurat terdengar dari ambulan yang membawa mama. Hujan pun mengiringi keberangkatan kami menuju rumah sakit. Kami yakin hujan adalah berkah tuhan, semoga perjuangan kami semua diberkahi, ammiinn...

Bersambung.....

Komentar

Postingan Populer