Sinau Bareng Cak Nun ; Jangan Biarkan Indonesia Telanjang!!
Bismillahirrahmanirrahim...
Semalam, untuk pertama kalinya
saya mengikuti tadabbur bersama Cak Nun dengan tajuk “sinau bareng Cak Nun”.
Sinau itu bahasa Jawa yang artinya belajar. Bagi Kalian yang belum mengenal
siapa Cak Nun monggo searching di gugel. Tulis saja “cak nun” kemudian
tekan enter, niscaya akan muncul bejubel artikel tentang sosok budayawan
nyentrik yang terkenal dengan slogan Allah Maha Asyik itu.
![]() | |
sumber : caknun.com |
Cak Nun adalah ulama dan
budayawan yang telah berpuluh tahun menyapa umat dari satu tempat ke tempat
lain. Beliau merupakan sosok yang paham Islam dan menguasai budaya, sehingga ketika
beliau berdakwah, Islam terasa lebih mudah tanpa dimudah-mudahkan. Islam
menjadi fleksibel, tidak kaku, dan Islam benar-benar disampaikan dengan
bahagia.
Suatu ketika Cak Nun
pernah ditanya oleh seseorang “Cak, Njenengan (Anda:bahasa Jawa kromo) ini
sebenarnya NU atau Muhammadiyah?”
“Lah, kok nanya begitu?”
“Njenengan ini lahir di
Jombang tapi SMA di SMA Muhammadiyah. Njenengan ini tahlilan, solawatan,
maulidan kayak orang NU tapi diwaktu yang bersamaan Njenengan lebih sering
tampil pake celana seperti orang-orang Muhammadiyah, ndak pernah pake kopiah
atau sarung ala NU”
“Penting po saya NU atau
Muhammadiyah?”
“Iya lah, Cak. Njenengan
harus tegas, NU ya NU, Muhammadiyah ya Muhammadiyah”
“Jadi begini, semalam
saya mimpi ketemu kanjeng nabi. Kemudian saya sampaikan kepada beliau
“kanjeng nabi”
“iya, cak, ada apa?”
“saya disuruh memilih
oleh orang-orang antara NU atau Muhammadiyah, menurut Njenengan saya harus
pilih yang mana?”
Nabi diam sejenak,
memandang tajam Cak Nun, kemudian berkata
“cak, NU-Muhammadiyah
itu apa?”
Cuplikan cerita di atas
merepresentasikan sosok Emha Ainun Nadjib yang moderat. Tidak hanya lintas
ormas macam NU, Muhammadiyah, namun juga lintas agama. Hal ini yang terkadang
membuatnya dibenci bahkan dimusyrikkan oleh kaum-kaum ekstrimis agama. Cak Nun
dituding musyrik, pembohong, dan sesat. Saya tidak perlu sebutkan oknum siapa
yang menuding seperti itu, Njenengan semua pasti sudah mafhum siapa
sih kelompok yang hobi mengkafirkan, membid’ahkan, dan memusyrikkan orang-orang
yang tidak sepaham dengan mereka.
Bagi saya Cak Nun bukan
ulama yang hanya bisa ceramah melulu. Ia adalah sosok yang mampu menghadirkan
suasana diskusi dalam setiap tadabburnya. Terbukti semalam beliau mengajak dua
akademisi, tokoh agama, dan perwakilan mahasiswa untuk bersama-sama di
panggung. Beliau lah yang memandu jalannya diskusi. Di awal kesempatan beliau
menyampaikan bahwa malam ini diibaratkan shalat 4 raka’at. Raka’at pertama
telah diawali oleh teater mahasiswa Fakultas Pertanian UGM. Cak Nun pun memberi
masukan, kritik, dan saran yang membangun bagi teater tersebut.
Raka’at kedua adalah
pembahasan tentang tema tadabbur malam itu. Kebetulan yang mengundang Cak Nun
adalah mahasiswa Fakultas Pertanian, maka tema malam itu pun berbau pertanian,
“Petani Menagih Janji”. Cak Nun memberi sedikit elaborasi dan peta konsep
jalannya diskusi. Dimulai dari mengidentifikasi permasalahan-permasalahan
petani Indonesia, penyebabnya, hingga solusinya. Cak Nun memberi kesempatan
kepada mereka yang duduk di panggung untuk berpendapat satu persatu.
Cak Nun memiliki respons
of public speaking yang cukup baik. Di saat jama’ah terlihat mulai tidak
kondusif beliau menyelangi tadabbur malam itu dengan penampilan dari kiai
kanjeng. Oiya, Kiai Kanjeng ini adalah band pengiring Cak Nun kemana pun beliau
melangkah menyambangi umat. Personilnya sudah berumur semua, apalagi yang main
suling. Sayang kamera saya tidak memadai untuk menjepret dengan jelas.
Instrumen musiknya pun menggabungkan instrumen modern dan gamelan jawa. Ada
drum, gitar, piano, dan bass tapi ada juga gendang, suling, dan apalagi ya
satu, saya lupa namanya.
Raka’at ketiga diisi
dengan penjabaran dari perwakilan mahasiswa tentang posisi apa yang mereka ingikan
di masa depan dan apa kontribusi nyata yang akan mereka berikan untuk petani
Indonesia. Beragam jawaban pun mencuat merepresentasikan semangat dan
kepedulian mahasiswa UGM bagi kesejahteraan petani. Lalu kemudian raka’at
terakhir diisi kesimpulan, hikmah, dan doa harapan untuk petani Indonesia.
Meskipun untuk raka’at yang terakhir ini tidak saya ikuti karena malam sudah
larut. Hehe. Maafin aku, Cak!
Cak Nun mengatakan petani
Indonesia adalah orang-orang yang kuat. Petani Indonesia sama sekali tidak nelongso
(melarat). Beliau juga memaparkan bahwa saat ini petani hidup di 4 tempat ;
sawah, desa, negara, dan dunia global. Dan kata Cak Nun, di ke 4 tempat ini
petani dibunuh tapi malah ndak mati-mati.
Di ranah sawah dan desa,
petani sering dirugikan terkait distribusi pupuk dan harganya. Dalam kancah
negara, jelas petani yang notabene kaum awam tertindas oleh kebijakan
struktural yang di permukaan nampak menguntungkan namun seyogyanya mencekik
petani. Di tingkat dunia global petani pun dihadapkan dengan kebijakan ekspor-impor
buah kepentingan politik internasional.
Namun yang patut
dibanggakan dari petani, ujar Cak Nun, ya ketangguhan dan ketidak-manja-an
petani-petani Indonesia itu. Nggak ada ceritanya petani Indonesia meminta-minta
untuk dikasihani, pantang bagi mereka dikasihani. Hal ini diperkuat dengan
pengalaman nyata yang disampaikan dua akademisi malam itu yang kerap
berinetraksi langsung dengan petani.
Cak Nun juga menyinggung
cara bersedihnya orang Indonesia. Orang Indonesia kalau sedih tak pernah sampai
menangis meraung-raung. Itu hanya terjadi di sinetron-sinetron cengeng ala FTV.
Beliau pun berkelakar terkait masa lalu saat masih kuliah di UGM, ngutang 2
bungkus nasi bagi anak-anak asuhnya untuk makan sahur dan di tengah perjalanan
pulang beliau malah tersandung dan 2 nasi hutangan itu ambyar berserakan. Cak
Nun meratapi serakan nasi itu, tertawa miris, lantas diakhiri dengan pisuhan –
ma’af – “asssuuuuuu” . Tentu hal ini bukan saja dialami Cak Nun, kita semua
pasti pernah sedih, tapi boro-boro nangis, malah menertawai keadaan dan
kadang-kadang (atau bisa jadi sering) memisuh sejadi-jadinya. Hehehe. Ya ambil
hikmahnya ae, orang Indonesia itu kalau sedih ndak cengeng. Kalau Ente masih
cengeng dan ngeluh berarti rasa ke-Indonesia-an Ente belum sepenuhnya paripurna.
Beliau juga menyinggung
filosofi masyarakat Jawa terkait konsep kebutuhan ; Sandang, Pangan, Papan. Anda
lebih memilih mana, tidak punya tempat tinggal atau tidak makan ? saya percaya
anda lebih memilih tidak punya tempat tinggal, karena pun kalau nggak punya
tempat tinggal kan masih bisa numpang di kos temen, atau tidur di masjid, di
emperan toko, bisa pula di pinggir jalan.
Nah pertanyaan
selanjutnya, lebih memilih mana, tidak punya baju alias telanjang atau tidak
punya makanan? Hayo, dipikir dipikir!! Orang yang waras tentu lebih memilih
ndak punya makanan dari pada telanjang. Karena tubuh ini adalah harga diri.
Maka, dalam konteks kenegaraan kita boleh berbicara tentang pangan (pertanian)
tapi jangan lupa, yang terpenting adalah jangan biarkan Indonesia telanjang!!
Jangan biarkan Indonesia diinjak-injak harga dirinya! Indonesia harus
berdikari. Karena sesungguhnya Indonesia adalah negara yang kuat.
Bagi saya, Cak Nun adalah
ulama sekaligus budayawan yang mengajarkan nilai-nilai sosial-spiritual Islam
dengan cara yang bahagia. Bahagia bagi yang menyampaikan, pun juga bahagia bagi
yang mendengarkan. Namun bahagia bukanlah tujuan akhir, melainkan dengan cara
yang berbahagia nilai-nilai Islam itu dilesapkan menjadi kesalehan pribadi
maupun kesalahan sosial bagi setiap individu. Islam itu ramah lingkungan kok,
tidak kaku, Islam dan budaya itu bersinergi. Dan hanya orang-orang yang
memahami keduanya lah yang mampu mengsinergikan Islam dan Budaya dalam harmoni
kehidupan yang membahagiakan.
Karena itu sangat relevan
mengatakan bahwa alumni pesantren yang kuliah di Fakultas Ilmu Budaya adalah
menantu idaman. Karena mereka, insya Allah, mampu mengsinergikan Islam dan
Budaya, bukan malah membentur-benturkannya.
Dan kebetulan saya ini
pernah nyantren 7 tahun dan kini sedang kuliah di Fakultas Ilmu Budaya. Yang
minat pin BBM silahkan diinvite : 5A4BB13D. #UhukUhuk.
Jangan lupa bahagia, Allah Maha Asyik!!
IsyKarima!!! Hiduplah
dengan bahagia!!
Jogjakarta,
11 September 2016
15:43 WIB
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar