Refleksi 12 Tahun Kepergian Munir
Bismillahirrahmanirrahim...
Beberapa hari jemari
(yang konon lentik ini) tidak menulis goresan apapun. Bukan lantaran malas
ataupun blank inspirasi, tetapi dikarenakan ada beberapa agenda yang menyita
waktu saya. Duh, seketika saya merasa sok sibuk. Haha.
Agenda yang lumayan
menyita waktu adalah “La Tansa”. Ini adalah acara makrab (malam keakraban) bagi
maba (mahasiswa baru) Sastra Arab UGM 2016. Dan kami, mahasiswa Sastra Arab UGM
2015, menjadi panitia pelaksananya. Acara tersebut berlangsung dari hari Jum’at
hingga Minggu, 2 – 4 September 2016 bertempat di Geomaritime Parangtritis
Bantul. Deket basecamp nya Nyi Roro Kidul. Sayang kemarin kami nggak
sempet meet up.
Acara tersebut cukup
menguras tenaga dan konsentrasi. Berbagai kesalahan terjadi. Ke-tidakmaksimal-an
muncul ke permukaan. Gerutu dari peserta dan beberapa kegiatan yang tidak
sesuai planing menghiasai acara yang berlangsung 3 hari 2 malam itu.
Namun kebersamaan yang terjalin sama sekali tak pernah pergi dan hal itulah
yang paling kami syukuri. Bukankah kebersamaan adalah hal langka bagi kalian
para mahasiswa yang kadang sibuk dengan dunia masing-masing? Apresiasi mendalam
saya haturkan kepada seluruh panitia baik yang hadir maupun yang berhalangan
hadir.
Pasca La Tansa kami ndak
bisa berleha-leha karena harus kembali menjadi makhluk akademik. Tugas yang
terpaksa diabaikan segera kami jamah karena deadline pengumpulan tak
mungkin diundurkan. Pun kegiatan-kegiatan di luar akademik kembali menyapa.
Seperti yang saya ikuti bersama kawan-kawan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)
Cabang Bulaksumur Sleman. Tanggal 7 September lalu kami memperingati 12 tahun
meninggalnya almarhum Munir.
Acara yang bertajuk Malam
Untuk Munir itu diisi dengan renungan-renungan, orasi, bernyanyi bersama, dan
pembacaan puisi. Kawan-kawan HMI dari berbagai universitas berkumpul di
bundaran UGM. Ada yang menyampaikan orasi berapi-api, ada pula musikalisasi
puisi penuh penghayatan, juga mini drama musikal menggambarkan perjuangan dan
ketidak-adilan yang dialami Munir menyempurnakan dedikasi dan apresiasi HMI
untuk sang pejuang HAM malam itu.
![]() |
sumber : Google image |
Mungkin apa yang kami
lakukan hanyalah simbolisasi yang akan terulang tahun depan dan tahun depannya
lagi. Tapi percayalah, paling tidak apa yang kami dedikasikan untuk Munir ini
masih lebih baik dari mereka yang berpura-pura lupa terhadap ketidak adilan
yang Munir alami.
7 September 2004, Munir
meninggal karena diracun saat terbang menuju Belanda untuk melanjutkan
sekolahnya. Saat itu saya masih berusia 8 tahun. Belum mengerti apa yang
terjadi. Saat itu saya hanya sering mendengar kata-kata “aktivis HAM” “Munir”
“diracun” “Polycarpus” dan lain-lain tanpa sanggup mencerna dalam fikiran. Barulah
pasca mimpi basah saya tahu bahwa Munir dibunuh lantaran teramat getol membela
HAM.
Munir dikenal sebagai
sosok aktivis yang bersahaja. Ia tanpa henti membela kaum-kaum lemah yang
terzalimi. Sebagai lulusan ilmu hukum Universitas Brawijaya Malang ia
mendedikasikan diri sebagai advokat untuk orang-orang yang ditindas kaum
penguasa. Ada puluhan kasus yang ia tangani. Berbagai penghargaan dalam dan
luar negeri ia terima. Tak ayal, keberanian seorang aktivis macam Munir ini
adalah ancaman bagi kaum elit pemegang kekuasaan.
Polycarpus, seorang pilot
pesawat Garuda yang seyogyanya saat itu tengah cuti didakwa sebagai orang yang meracun
Munir. Ia divonis 15 tahun penjara. Sayangnya hingga detik ini perihal dari
siapa Polycarpus mendapat perintah meracuni Munir belum terungkap. Sangat
ironis sekali, Munir meninggal di zaman demokrasi, zaman keterbukaan, dan zaman
kebebasan berpendapat telah diizinkan. Nama Munir akan selalu harum,
menginspirasi Munir Munir muda dari rahim bangsa Indonesia. Insya Allah.
Hal yang patut dicontoh
dari sosok Munir adalah keberanian dan keteguhan pendiriannya. Berkali-kali ia
diancam akan dibunuh tapi sama sekali tak gentar memperjuangkan HAM. Ia paham
resiko paling bahaya dari apa yang ia lakukan dan sangat siap menghadapinya.
Bagi saya, Munir benar-benar mengamalkan ajaran “ ‘Isy karima au Mut syahida”.
Hidup mulia atau mati syahid. Dan akhirnya, di atas pesawat Garuda tujuan
Belanda ia resmi syahid atas nama perjuangan HAM.
Munir adalah seorang
keturunan Arab-Indonesia yang sebelumnya merupakan aktivis Islam ekstrimis
(dikutip dari Wikipedia). Kemudian berubah haluan menjadi aktivis yang
menjunjung tinggi toleransi dan menghormati perbedaan. Bukan hanya orang Islam
yang ia bela, namun non-Islam pun ia perjuangkan hak-haknya. Inilah yang patut diteladani
oleh kader-kader HMI.
Munir adalah sosok yang
rela keluar dari zona nyamannya. Tak sempat ia menikmati kemewahan hidup dan
berhedon-hedon ria. Untuk bekerja saja ia hanya memiliki sepeda motor. Ia bukan
advokat yang mengutamakan materi, laiknya mainstream advokat hari ini. Bapak
punya uang kami bela bukanlah prinsip Munir. Namun prinsipnya adalah
membela keadilan, memperjuangkan hak-hak mereka yang tak kuat finansial namun
terzalimi penguasa.
Saya rasa, bagi kita yang
belum sehebat Munir, mari menganalogikan Munir yang mengorbankan zona nyamannya
ke dalam kehidupan dan rutinitas kita. Zona nyaman seseorang biasanya ialah
rasa malas, gabut, mager, wa akhowatuha. Kita lebih sering nongkrong
dari pada belajar, lebih rajin main game dari pada membaca, dan bisa
jadi lebih sering dolan dari pada diskusi mengasah intelektualitas.
Sungguh tidak ada yang
salah dalam nongkrong, main game, ataupun dolanan (baca: jalan-jalan).
Akan tetapi ketika porsinya terlalu banyak dan mengalahkan porsi kegiatan yang
seyogyanya kita lakukan sebagai mahasiswa, mohon maaf, izinkan saya mengkalim
bahwa hal itu sudah termasuk dalam mengutamakan zona nyaman.
Munir adalah panutan, tak
hanya untuk aktivis Islam, namun untuk aktivitas lintas agama. Munir adalah
role model mahasiswa, tidak hanya untuk mahasiswa UB tapi seluruh mahasiswa Indonesia.
Munir adalah teladan, tidak hanya bagi kader HMI, tapi juga seluruh homo
sapiens yang mengkalim diri tengah berjuang atas nama Hak Asasi Manusia.
Dan tanpa mengurangi rasa
hormat saya pada alm. Munir. Saya bertanya-tanya sendiri. Seandainya hari ini
Munir masih hidup dan ia konsisten membela HAM, akankah ia jua memperjuangkan
LGBT? Gus Mus, aku rasa inilah jawaban atas pertanyaan dalam bait akhir puisimu,
mengapa Munir dipanggil terlalu pagi?
Wallahu a’lam.
IsyKarima !!! Hiduplah
dengan mulia!!!
Jogjakarta,
10 September 2016
17:29 WIB
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar