Mario Teguh dan Sinetronnya


sumber : google image


Bismillahirrahmanirrahim...
Awalnya, saya adalah orang yang tidak suka nonton TV. Hingga saat mulai berseragam putih-merah plus dasi bertuliskan tut wuri handayani (baca:SD), saya dipaksa suka menonton TV oleh keadaan. Bagaimana tidak, teman-teman di kelas kerjaannya ngomongin sinetron yang mereka tonton semalam. Ah, seru sekali. Saling bersahutan satu sama lain, me-review ulang apa yang mereka saksikan pada teman-teman yang notabene juga sudah menonton. Dan saya hanya bisa bengong kayak orang begok. Membisu sembari bergumam “pokoknya nanti malam harus nonton! biar bisa ikut ngobrol bareng mereka”. Sejak itu saya mulai bersahabat dengan televisi.
Kini, keadaan malah memisahkan kami. Kos yang saya tempati tidak menyediakan TV umum. Dan di antara 7 kamar di sini, hanya kos saya yang ndak ada TV nya. Otomatis kalau mau nonton TV harus modus beli nastel (nasi telor) beserta es teh nya ke akang-akang warmindo (warung makan indomie) alias burjo. Mainstrem warung burjo di sini selalu menyediakan TV bagi para pelanggan.
Ngomongin tentang TV, kita tak kan pernah lepas dari selera publik dan kepentingan komersial yang pada hakikatnya dua hal ini pun terkait satu sama lain. Selera publik terhadap tayangan TV selalu berubah-ubah. Tak ayal ini menjadikan berbagai stasiun TV beradu kreatif mencuri hati penonton dengan beragam acara yang kiranya menjadi selera kebanyakan orang. Kepentingan komersial pun tak terelakkan. Perputaran uang di dunia pertelevisian tak bisa dikatakan sedikit. Hal ini otomatis mempengaruhi motif seluruh stasiun TV dalam memberikan servis kepada penonton. Bukan mendidik atau mencerdaskan bangsa lagi tujuan mereka, tapi bagaimana meraih rating setinggi-tingginya, bagaimana meraup untung sebanyak-banyaknya. Persetan tayangan itu mendidik atau malah sama sekali tidak berguna.
Sinetron menjadi salah satu komoditas hiburan andalan banyak stasiun TV. S*TV dan R*TI adalah raja dan ratunya sinetron Indonesia. Baru disusul stasiun-stasiun TV lain. Sinetron pada hakikatnya bertujuan menghibur penontonnya, dengan berbagai konflik, dinamika, serta kelucuan-kelucuan yang kiranya mampu mengundang tawa. Namun, sungguh, tanpa adanya sinetron pun, kita, di Indonesia, sudah sangat sering disuguhi sinetron-sinetron nyata oleh media. Entah tujuannya menghibur atau bisa jadi pengalihan isu strategis. Mohon maaf kalau cenderung suuzon.
Contohnya kasus Jesica dengan racun sianidanya. Ini masalah antara dua pihak, yaitu pihak Jesica dan keluarga almh. Mirna. Ini masalah pribadi, bro. Bukan masalah besar bangsa. Bukan perkara yang mengancam kedaulatan republik tercinta. Tidak pula masalah yang mengancam perekonomian Indonesia. Tapi kok ya kita disuguhi terus oleh media? Sidangnya disiarkan secara langsung oleh dua stasiun TV kenamaan, Metr* TV dan TV *ne. Lantas untungnya buat kita apa ? sungguh menikmati sinetron mereka hanya aktifitas untuk mereka yang kurang rutinitas.
Sinetron Jessica dan Sianidanya belum usai kini kita disuguhi sinetron baru. Judulnya anak yang tak diakui. Tokoh utamanya motivator paling the best Indonesia, Mario Teguh dan Ario Kiswinar, lelaki berusia 30 tahun yang mengaku sebagai anak biologis dari sang motivator kondang. Hal ini cukup menghebohkan karena yang jadi aktornya motivator dengan kata-kata indah nan menggugah. Artinya jika benar Mario Teguh tidak mengakui bahkan mengabaikan darah dagingnya sendiri tentu ini adalah sebuah realitas paradoks. Ucapan manis Mario Teguh tak sejalan dengan prilakunya. Begitu isu besar yang dipahami publik.
Masyarakat pun terbelah jadi dua. Pro Mario Teguh dan kontra terhadapnya . Hal ini menjadikan sinetron anak yang tak diakui makin mendapat rating tinggi sehingga episodenya pun dipanjang-panjangkan. Tokoh-tokoh pembantu mulai muncul ke permukaan, diantaranya adalah adik kandung Mario Teguh yang dengan gamblang menceritakan watak asli Mario Teguh saat ini. Ia menuturkan bahwa sang motivator kondang telah memutus silaturahim dengan saudara-saudaranya. Sang adik juga menegaskan bahwa Ario benar-benar anak biologis Mario Teguh.
Sinetron itu pun makin seru. Media kian membesar-besarkan. Dan masyarakat pun makin antusias menanti episode – episode selanjutnya. Entah sampai berapa lama sinetron ini bertahan di hati masyarakat hingga muncul lagi sinetron-sinetron baru yang disuguhkan oleh media-media konvensional.
Setuju atau tidak, Anda tak bisa mengelak bahwa permasalahan Mario Teguh dengan Ario adalah masalah pribadi. Once again, masalah pribadi, tok! Seandainya Ario benar-benar anak Mario Teguh, keuntungan besar untuk Anda apa? Dan jika sebaliknya, manfaat atau mungkin kerugiannya bagi Anda apa pula ? ndak ada to ? begitulah sinetron, hanya menghibur dan sebagai alternatif aktifitas bagi mereka yang rutinitasnya kurang berkualitas.
Lantas bagaimana sikap kita terhadap sinetron-sinetron nyata tersebut ?
Bro bro-ku yang dimuliakan Allah!!
Kita hidup di era digital. Zaman media. Globalisasi sudah tak punya filter lagi. Hal ini seyogyanya membangkitkan sikap kritis dalam menyikapi berbagai fenomena media dan dunia maya. Jangan baper nonton sinetron, nikmati saja dengan biasa-biasa saja. Nah, ketika ada hikmah yang bisa dipetik baru deh ambil itu hikmah dan jadikan ibrah dalam kehidupan. Kalau lagi seru-serunya, wes to jangan terbawa suasana. Ndak ada untungnya juga buat kita.
Terkait sinetron Mario Teguh ini, yang paling tepat untuk kita lakukan adalah bersikap bijak dan biasa saja kepada Mario dan juga Ario. Artinya, jangan terlalu mendukung salah satu, pun tak perlu menjelek-jelekkan pihak lain.
Selanjutnya, berhubung dengan posisi Mario Teguh sebagai seorang motivator, hal terpantas yang kita lakukan adalah undzur ma qola wa laa tandzur man qola. Lihat apa yang diomongin, jangan lihat siapa yang ngomong. Nah, kita semua kan tahu bukan Mario Teguh namanya kalau ndak kasih nasihat dan quote-quote memikat. Ya wes selama yang disampaikan Mario Teguh itu baik, bermanfaat, dan ada benernya, monggo diamalkan. Jangan karena Mario Teguh yang ngomong dan Anda ndak suka dengan dia lantas nasihat-nasihat penuh kebaikan itu kalian acuhkan begitu saja? Mau Mario Teguh, Mario Lawalata, atau Mario Ozawa yang ngomong, selama yang disampaikan baik, kenapa tidak kita dengarkan?
So, hadirin yang dimuliakan Allah! jadilah penonton yang baik, tertib, dan duduk manis tanpa berekspresi berlebih. Ini Cuma sinetron kok, bukan pertandingan sepak bola yang butuh teriakan-teriakan histeris kala bola mendekati gawang namun gagal masuk. Tetap bijak dan santai dalam menyaksikan sinetron-sinetron kehidupan. Santai lebih baik.
IsyKarima!!! Hiduplah dengan mulia!!!
Jogjakarta, 13 September 2016
21:03

Muhammad Izzuddin

Komentar

Postingan Populer