Serba Serbi Qurban
![]() |
sumber : google image |
Bismillahirrahmanirrahim...
Idul Adha 1437 H sudah
berlalu. Namun semaraknya masih terasa. Ribuan sapi dan kambing meregang nyawa
di tangan para jagal. Takbir pun menggema 3 hari berturut-turut pasca sholat
id. Dan idul adha, bagi para mahasiswa rantauan, adalah berkah tersendiri. Mainstream
mahasiswa rantau adalah omnivora yang jarang makan daging. Maka jangan heran,
idul adha oleh mereka dijadikan momentum peningkatan gizi guna menunjang ikhtiar
peningkatan prestasi akademik.
Tahadduts binni’mah tahun ini ada rejeki makan daging kurban.
Harapan kami, semoga kami tidak hanya jadi penikmat daging kurban tapi juga
pemberi kurban dengan izin Allah SWT.
Kurban adalah sebuah
ritus dalam Islam yang selalu ditunaikan setiap tahun, berbarengan dengan
prosesi haji di tanah suci sana. Kurban adalah ibadah yang disyariatkan guna
mengenang pengorbanan nabiyullah Ibrahim as dan putranya Ismail as. Kisah
mereka berdua teramat masyhur dalam kitab suci. Menilik lebih jauh lagi, kurban
seyogyanya telah dilakukan sejak zaman nabi Adam as. Kedua anaknya, Qabil dan
Habil berkurban untuk menentukan siapa yang berhak menikahi wanita yang
sama-sama mereka cintai.
Kurban berasal dari
bahasa Arab yang berarti “dekat”. Ulama menjelaskan bahwa tujuan kurban pun
sejalan dengan makna etimologinya, yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Sebagaimana Nabi Ibrahim dan Ismail yang berkurban untuk semakin
mendekatkan diri kepada-Nya.
Bukan adu gengsi, pamer
harta, atau pun cari muka yang menjadi semangat berkurban. Ia merupakan ritual
suci yang kaya akan nilai-nilai filosofis. Kurban tak hanya mengajarkan sadaqah
dan berbagi kepada sesama. Namun kurban menjadi momentum berbaurnya umat Islam
dalam harmoni kebersamaan.
Maka, kurban tidak hanya
mendekatkan manusia dalam ranah transendental semata, tapi juga mendekatkan
sesama makhluk. Lihat saja fenomena yang terjadi dalam suasana kurban,
kebersamaan tercipta dimana-mana. Saat proses penyembelihan hewan kurban
berlangsung ada banyak masyarakat menyaksikan langsung. Pun kala pembagian
hewan kurban, kebersamaan terus saja menemani. Begitu juga saat daging kurban
itu mulai dieksekusi menjadi beraneka makanan.
Paling tidak ini yang
saya rasakan di malam pasca penyembelihan hewan kurban. Kami berkumpul di kos
teman, berbaur dengan warga sekitar, membuat tungku, membakar arang, memotong
daging, menusuk-nusukkannya agar berbentuk sate kemudian diakhiri dengan
membakarnya. Eh nggak ding, mengakhiri dengan memakannya secara berjama’ah.
Nikmat yang terbesar dan paling berkesan bagi perantau adalah makan enak,
gratis, dan berjama’ah.
Bayangkan seandainya
momentum kurban ini tidak ada, mungkin kami tak kan punya alibi untuk berkumpul
dan makan bersama. Pun masyarakat tak kan punya alasan kuat untuk berdiri
mengelilingi sapi malang yang siap dijemput malaikat. Sungguh tepat sekali makna
etimologi kurban dengan esensi dan filosofinya. Mendekatkan kita pada Tuhan dan
mendekatkan sesama makhluk Tuhan. Hanya saja kurban tak bisa mendekatkan kita
dengan mantan. Apalagi mantan yang sudah jadi miliknya orang. #UhukUhuk.
Ngomong-ngomong idul
adha, kemarin saya sholat idul adha di masjid UIN Sunan Kalijaga. Persis
seperti tahun lalu, bahkan saya mengenakan baju yang tahun lalu juga saya
kenakan. Cuma topinya saja yang berbeda. Saat itu yang menjadi khatib sholat id
adalah Ir. Romahurmuzy M.T. Ketua Umum DPP PPP.
Dalam khutbahnya
Romahurmuzy menyerukan keseimbangan antara kesalehan spiritual dan kesalehan
sosial. Hal ini sangat tepat dijadikan isu mengingat semangat kurban pun
menyasar kesalehan spritual dan sosial secara bersamaan. Politisi muda tersebut
menyerukan bahwa kesalehan spritual saja tidak akan sempurna tanpa kesalehan
sosial. Begitu pun sebaliknya.
Mendengar hal ini saya
teringat salah satu ajaran Cak Nun tentang urgensi kesalehan sosial. Beliau
berkata di saat ada orang yang membutuhkan pertolongan disitulah Tuhan berada,
di saat ada orang yang kelaparan disitulah ada Tuhan, Tuhan tidak hanya ada di
masjid. Pun tidak hanya berdiam dalam mushaf al-Qur’an. Tapi Tuhan ada
dimana-mana. Maka kebaikan pun harus selalu kita upayakan dimanapun kita
berada.
Kesalehan sosial bermakna
selalu berupaya berbuat baik kepada sesama manusia. Tak peduli apa ras, warna
kulit, marga, bahasa, dan agamanya. Selama ia manusia ia berhak diperlakukan
dengan sebaik-baiknya. Momentum kurban pun dapat dianalogikan sebagai
pengorbanan atas perasaan egosentris dalam hidup. mengenyampingkan sentimen
pribadi yang tak obyektif dan lebih mengutamakan kepentingan sosial yang lebih
luas.
Maka, melalui momentum
kurban ini semoga mereka yang ekstrim dalam beragama berkenan mengorbankan
keegoisan yang berlandaskan pemahaman sebelah mata terhadap realitas yang
begitu luas. Jangan lagi ada sentimensi antar golongan maupun antar agama. Ingat
pesan Candra Malik, jika agama adalah kebenaran, maka janganlah engkau
menyalah-nyalahkan.
Pada akhirnya, kita
berdoa dan berharap semoga Allah mengaruniakan umur yang panjang nan berkah
untuk bisa bersua lagi dengan idul adha-idul adha di tahun-tahun berikutnya.
Juga berharap semoga Dia berkenan melapangkan rizki, agar kita juga bisa
berkurban dan menyelami lebih dalam lagi esensi kurban itu sendiri. Dan yang
pasti, semoga Allah bersedia menelusupkan esensi dan filosofi ibadah kurban
dalam diri kita hingga termanifestasi dalam bingkai kesalehan spiritual dan
kesalehan sosial. Semoga saja. Aammiinn.
IsyKarima!!! Hiduplah
dengan mulia!!!
Jogjakarta,
14 September 2016
21:19 WIB
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar