Menilai Sastra Dengan Sastra


sumber : Google Image


Bismillahirrahmanirrahim...
Sastra adalah sebuah representasi kondisi sosial-budaya masyarakat di mana karya sastra itu lahir. Hal ini menjadi landasan kuat mengapa sebuah karya sastra menarik untuk diteliti bahkan dikritisi. Hanya saja untuk meneliti dan mengkritisi sebuah objek diperlukan pendekatan dan paradigma yang kompatibel dengan objek yang hendak diteliti. Mengkaji permasalahan Matematika harus menggunakan pendekatan matematika. Pun permasalahan dalam ilmu sosial humaniora, harus disikapi dengan pendekatan sosial-humaniora pula. Maka tatkala ingin meneliti dan mengkaji sebuah karya sastra, pendekatan, dan paradigma sastra lah yang harus jadi pijakan awal.
Karya sastra adalah karya yang mengandalkan bahasa sebagai media penghubung satu-satunya dengan masyarakat. Entah bahasa tulis maupun bahasa lisan. Hal ini menyebabkan masyarakat, sebagai pemilik bahasa, bebas memberi penilaian terhadap karya sastra karena ia telah menjadi milik publik. Tanpa memperhatikan apakah metode penilaian yang mereka gunakan sudah tepat atau justru salah kaprah.
Paling tidak begitu kesan yang saya dapatkan dari beberapa pembaca “awam” sastra. Mereka yang membaca karya sastrawan Jepang sekaliber Haruki Murakami bisa jadi tersentak saat mendapati banyak petikan cerita dalam novel tersebut diisi dengan hal-hal berbau mesum. “Ini novel atau cerita dewasa sih” gerutu seorang pembaca berhijab sembari berisitigfar lalu melempar novel Murakami.
Beberapa hari lalu saya meluangkan waktu dan uang untuk membeli novel “Cantik Itu Luka” karya Eka Kurniawan. Seorang penulis yang dinobatkan sebagai penerus Pramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya banjir pujian yang tak datang dari sembarang orang melainkan dari tokoh-tokoh pegiat sastra yang tak diragukan lagi kapasitasnya.
Beberapa minggu sebelumnya pun saya membungkus satu novel dari Toga Mas dengan judul “The Girl on The Train”. Sebuah Novel thriller karya Paula Hawkins. Penulis yang mulai mencuri perhatian pemerhati sastra dunia. Bahkan novel tersebut telah diterbitkan dalam 60 bahasa berbeda.
Apa yang saya temukan dari kedua novel berkualitas tersebut, Sodara-sodara? Kegamblangan penggambaran realitas sosial dalam wujud kisah demi kisah yang seakan nyata dan kita ikut terlibat di dalamnya. Karya sastra yang baik tak hanya mampu menghibur tapi juga memberi pemahaman baru tanpa mendoktrin pembaca untuk memahami hal-hal tertentu di dalamnya.
Untuk novelnya Eka Kurniawan belum saya selesaikan. Kalau punyanya Paula Hawkins alhamdulillah sudah. Dalam novelnya Eka menggambarkan suasana sosial masyarakat zaman kolonial hingga revolusi. Jika anda membaca dan menikmatinya percayalah, “sastra lebih jujur dari sejarah di buku paket”! disitu diceritakan pula tentang prostitusi yang sudah ada jauh sebelum FPI koar-koar membumi-hanguskannya. Bagi mereka yang alergi dengan hal seperti itu pasti menganggap novelnya Eka ini sebagai novel yang tidak baik, menyesatkan, dan membawa pengaruh negatif bagi pembacanya.
Paula hawkins beda lagi, tokoh utama dalam novel tersebut bukan seorang pelacur laiknya novel Eka. Tapi seorang wanita alkoholik. Jika Eka Kurniawan melesapkan filsafat dalam novelnya, Paula Hawkins menyiratkan pendekatan psikologis dalam menuturkan alur kisah dari awal hingga akhir. Bagi mereka yang memandang alkohol dengan jijik pun pasti dengan segera menutup bahkan membuang novel Paula Hawkins itu ke tong sampah.
Mainstream masyarakat Indonesia menggemari karya sastra yang oleh beberapa pihak diistilahkan sebagai “Sastra santun”. Sastra santun ialah karya sastra yang sedapat mungkin menghindarkan diri dari konten-konten berbau pornografi maupun kata-kata tak sopan. Sastra santun juga sering kali anti terhadap rokok, minuman keras, narkoba, dan lain sebagainya dalam rundown ceritanya. Contoh penulis yang menghasilkan karya sastra santun diantaranya Tere Liye, Asma Nadia, Habiburrahman el-Shirazy, dan lain-lain. Sehingga tak heran karya-karya mereka laiknya buku dakwah yang dikemas berbeda.
Lantas apakah ada yang salah dengan karya sastra mainstream atau karya sastra santun? Tidak! sama sekali tidak! Karya sastra tak pernah salah, ia selalu indah, dan karya sastra selalu punya selera masing-masing. Baik selera penulis maupun selera mereka yang membaca. Maka bagi anda yang suka membaca karya sastra mainstream-konvensional, silahkan baca dan nikmati dinamikanya. Juga bagi Anda yang fanatik dengan karya sastra santun silahkan baca dan share quote-quote di dalamnya dengan akun sosial media anda. Tidak ada yang menyalahkan.
Hanya saja, jangan pernah menilai, men-judge suatu karya sastra tidak baik, sesat, atau bahkan buruk hanya karena ia tak sesuai dengan selera Anda. Yang harus dipahami bersama adalah selera muncul dari paradigma yang dimiliki masing-masing orang. Maka, dalam menilai suatu karya sastra, please jangan nilai dengan paradigma Anda yang subyektif itu. Tapi nilailah dari perspektif sastra pula.
Tidak ada karya sastra yang bermaksud menjerumuskan, menyesatkan, atau malah menghancurkan seseorang. Karya sastra lahir sebagai representasi kehidupan sosial-budaya masyarakat dimana karya sastra itu muncul. Maka, ketika anda menghujat sebuah karya sastra, itu artinya Anda menghujat realitas sosial, menghujat fenomena budaya yang ada.
Menilai karya sastra ending-nya bukanlah baik buruk, positif negatif. Tapi lebih dari itu. Kehidupan bukan hanya hitam-putih. Tapi ada merah, hijau, kuning, biru, dan beragam warna lainnya. Maka menilai karya sastra akan berujung pada pengetahuan dan pemahaman budaya yang lebih baik dan arif dari sebelumnya. Yang tentunya diharapkan terimplementasi dalam kehidupan sosial-masyarkat.
Orang yang menjiwai karya sastra tak akan menghujat mereka yang rajin minum alkohol. Tak kan merendahkan mereka yang menjajakan-maaf-selangkangan setiap malam demi sesuap makanan. Mereka, yang menjiwai sastra, akan melihat kehidupan sebagai sebuah kesatuan yang unik, yang bertautan satu dengan lainnya. Dan perlahan mencoba memperbaiki deviasi-deviasi dari kehidupan sosial yang ideal dengan pendekatan yang humanis. Tidak anarkis. Karya sastra adalah alternatif memahami realitas dengan lebih mendalam dan blak-blakan.
Salam sastra!!
IsyKarima!!! Hiduplah dengan Mulia!!!

Jogjakarta, 15 September 2016
21:56 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

Postingan Populer